|
Pemberitaan seputar kesepakatan
antara Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, dan Kongres AS dari Partai
Republik untuk memperpanjang tenggat waktu batas atas utang AS selama 6 pekan
ke depan laksana meniupkan angin segar atas kelamnya situasi di Paman Sam.
Padahal, pengumuman penutupan pemerintahan AS sempat menyergap pasar menyusul
keputusan penolakan anggaran tahun 2014 dalam rapat parlemen beberapa waktu
silam. Kondisi itu berlangsung bersamaan dengan “terciumnya” konflik panas dua partai
terkait kebuntuan kesepakatan keduanya yang tak pelak memicu kerentanan keadaan
AS. Kubu Republik keberatan Obama menambah pagu utang.
Sementara itu, kalau tidak disetujui penambahan utang, AS tidak dapat membayar bunga utang dan cicilan pokok (default). Di satu sisi, dari masalah di AS, pelaku pasar memperoleh gambaran perkiraan kondisi pasar global menjelang akhir tahun. Nuansa aversion juga kembali mengental dan mengakibatkan kuatnya sentimen negatif beredar di pasar regional maupun global. Bahkan, kesuraman pun seakan telah menanti pada ujung tahun 2013. Di sisi lain, sinyal berlanjutnya perlambatan ekonomi global juga masih terlihat jelas. Ini mengisyaratkan beratnya beban masalah yang harus ditanggung bukan hanya oleh AS, tapi juga negaranegara lain. Mau tidak mau, pemulihan perekonomian global berpeluang terancam di tengah kepungan beragam persoalan yang menderanya. Tak terelakkan, pemangkasan perkiraan pertumbuhan ekonomi ke depan oleh lembaga-lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), pun ikut memperparah serbuan aura negatif di benak partisipan pasar. Harusnya ini bisa menjadi sinyal kewaspadaan buat negara-negara lain.
Disayangkan Banyak pihak menyayangkan kekisruhan Obama dan kubu Republik karena selaku salah satu negara termaju, masalah yang menerpa AS tentu akan berdampak pada ekonomi global. Imbasnya, sudah pasti sampai juga ke ekonomi terkecil sekalipun, termasuk Indonesia. Inilah yang menjadi ketakutan utama, khususnya negara-negara berkembang. Dari diskursus yang ramai dibicarakan pelaku pasar global, utang yang membelit AS disinyalemen sebagai salah satu penyebab utamanya. Utang AS kini lebih dari 16 triliun dollar AS atau setara dengan 160 ribu triliun rupiah. Jumlah utang AS terus bertambah dari waktu ke waktu.
Angka tersebut jika disandingkan dengan produk domestik bruto AS, wajarlah jika tekanannya sudah sedemikian berat membebani perekonomian Paman Sam yang masih dirundung banyak persoalan. Beberapa waktu lalu, Obama sudah sempat merumahkan sekitar 700 ribu pekerja pemerintahan. “Cuti” mereka terancam tanpa bayar karena tidak adanya garansi pembayaran gaji kembali tatkala kebuntuan berakhir. Kekhawatiran pasar kian terpicu mengingat shutdown itu merupakan yang pertama sejak 17 tahun terakhir. Memang Obama berulang kali berupaya menenangkan warganya yang mulai menunjukkan tanda-tanda kepanikan. Walau dinilai berhasil, situasi ini dianggap hanyalah temporer.
Kegelisahan yang muncul di antaranya karena kecemasan masyarakat, “perumahan” sebagian besar pegawai departemen energi, separuh pekerja departemen kesehatan dan layanan publik. Di luar itu, banyak juga pegawai dari sektor fasilitas milik pemerintah lainnya, seperti museum, kebun binatang, dan taman-taman nasional yang dirumahkan. Harapannya, perpanjangan waktu yang diperoleh Obama memberi hasil positif bagi pemerintahan dan ekonomi AS. Namun begitu, perlu disadari bahwa ancaman kegagalan bayar (default) belum bisa dikatakan hilang sama sekali. “Perang” Obama dan kubu Republik juga telah membuat berang masyarakat AS. Dari jajak pendapat, sebagian besar masyarakat AS mulai memperlihatkan kekesalan pada republikan.
Problem bertambah karena sektor ketenagakerjaan belum sepenuhnya pulih. Ini tercermin dari angka pengangguran yang masih berada di level 7,4 persen (per Juli 2013). Sementara itu, target yang ingin dicapai adalah 5 persen. Tidak sedikit pihak yang memperkirakan bahwa untuk meraih sasaran ideal unemployment rate, AS membutuhkan waktu hingga beberapa tahun ke depan. Ini mengingat ancaman persoalan yang bertubi-tubi mengadang perbaikan ekonomi, tambah lagi problem di pasar global. Sementara itu, rencana pergantian pimpinan tertinggi Bank Sentral AS karena sebagai Ben Bernanke segera pensiun pada awal tahun depan juga berpeluang menjadi pusat perhatian investor.
Peran penting gubernur ke-14 Fed itu diangggap penting dalam penentuan kebijakan moneter yang tangguh bagi AS. Maka, tidak mengherankan bila perubahan jajaran pemimpin Bank Sentral AS bakal menjadi perhatian dunia. Apalagi, The Fed tidak hanya dianggap sebagai bank sentralnya sebuah negara, tetapi juga sebagai penentu arah kebijakan buat bank sentral negara-negara lain. Kebijakan moneter yang diambil Federal Reserve ditengarai berpengaruh besar bagi bank-bank lain di dunia, termasuk easing monetary policy yang tercermin dari berlangsungnya suku bunga acuan rendah Fed di level 0,25 persen hingga awal tahun 2014 nanti.
Bergulirnya permasalahan yang menerpa AS, selaku negara dengan perekonomian terbesar di dunia, tentu akan memengaruhi negara lain melalui perdagangan internasional. Eratnya hubungan ekspor-impor antara AS dan negara-negara lain pun memunculkan potensi terkenanya imbas situasi buruk negeri adidaya tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti masyarakat harus pesimistis terhadap kondisi ke depan. Sebab di balik itu semua, negara tercinta, Indonesia, masih memiliki ketahanan yang cukup kuat guna menghadapi dampak negatif situasi AS. Namun, pemerintah harus tetap waspada, tidak boleh meremehkan. Indonesia harus mencermati setiap peristiwa dari luar negeri karena tak dapat diprediksi secara pasti. Begitu pula dengan pengaruhnya. Maka, langkah terbaik pemerintah harus mengantisipasi lebih awal demi mencegah kerugian besar yang berpotensi membahayakan perekonomian nasional. ●
Sementara itu, kalau tidak disetujui penambahan utang, AS tidak dapat membayar bunga utang dan cicilan pokok (default). Di satu sisi, dari masalah di AS, pelaku pasar memperoleh gambaran perkiraan kondisi pasar global menjelang akhir tahun. Nuansa aversion juga kembali mengental dan mengakibatkan kuatnya sentimen negatif beredar di pasar regional maupun global. Bahkan, kesuraman pun seakan telah menanti pada ujung tahun 2013. Di sisi lain, sinyal berlanjutnya perlambatan ekonomi global juga masih terlihat jelas. Ini mengisyaratkan beratnya beban masalah yang harus ditanggung bukan hanya oleh AS, tapi juga negaranegara lain. Mau tidak mau, pemulihan perekonomian global berpeluang terancam di tengah kepungan beragam persoalan yang menderanya. Tak terelakkan, pemangkasan perkiraan pertumbuhan ekonomi ke depan oleh lembaga-lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), pun ikut memperparah serbuan aura negatif di benak partisipan pasar. Harusnya ini bisa menjadi sinyal kewaspadaan buat negara-negara lain.
Disayangkan Banyak pihak menyayangkan kekisruhan Obama dan kubu Republik karena selaku salah satu negara termaju, masalah yang menerpa AS tentu akan berdampak pada ekonomi global. Imbasnya, sudah pasti sampai juga ke ekonomi terkecil sekalipun, termasuk Indonesia. Inilah yang menjadi ketakutan utama, khususnya negara-negara berkembang. Dari diskursus yang ramai dibicarakan pelaku pasar global, utang yang membelit AS disinyalemen sebagai salah satu penyebab utamanya. Utang AS kini lebih dari 16 triliun dollar AS atau setara dengan 160 ribu triliun rupiah. Jumlah utang AS terus bertambah dari waktu ke waktu.
Angka tersebut jika disandingkan dengan produk domestik bruto AS, wajarlah jika tekanannya sudah sedemikian berat membebani perekonomian Paman Sam yang masih dirundung banyak persoalan. Beberapa waktu lalu, Obama sudah sempat merumahkan sekitar 700 ribu pekerja pemerintahan. “Cuti” mereka terancam tanpa bayar karena tidak adanya garansi pembayaran gaji kembali tatkala kebuntuan berakhir. Kekhawatiran pasar kian terpicu mengingat shutdown itu merupakan yang pertama sejak 17 tahun terakhir. Memang Obama berulang kali berupaya menenangkan warganya yang mulai menunjukkan tanda-tanda kepanikan. Walau dinilai berhasil, situasi ini dianggap hanyalah temporer.
Kegelisahan yang muncul di antaranya karena kecemasan masyarakat, “perumahan” sebagian besar pegawai departemen energi, separuh pekerja departemen kesehatan dan layanan publik. Di luar itu, banyak juga pegawai dari sektor fasilitas milik pemerintah lainnya, seperti museum, kebun binatang, dan taman-taman nasional yang dirumahkan. Harapannya, perpanjangan waktu yang diperoleh Obama memberi hasil positif bagi pemerintahan dan ekonomi AS. Namun begitu, perlu disadari bahwa ancaman kegagalan bayar (default) belum bisa dikatakan hilang sama sekali. “Perang” Obama dan kubu Republik juga telah membuat berang masyarakat AS. Dari jajak pendapat, sebagian besar masyarakat AS mulai memperlihatkan kekesalan pada republikan.
Problem bertambah karena sektor ketenagakerjaan belum sepenuhnya pulih. Ini tercermin dari angka pengangguran yang masih berada di level 7,4 persen (per Juli 2013). Sementara itu, target yang ingin dicapai adalah 5 persen. Tidak sedikit pihak yang memperkirakan bahwa untuk meraih sasaran ideal unemployment rate, AS membutuhkan waktu hingga beberapa tahun ke depan. Ini mengingat ancaman persoalan yang bertubi-tubi mengadang perbaikan ekonomi, tambah lagi problem di pasar global. Sementara itu, rencana pergantian pimpinan tertinggi Bank Sentral AS karena sebagai Ben Bernanke segera pensiun pada awal tahun depan juga berpeluang menjadi pusat perhatian investor.
Peran penting gubernur ke-14 Fed itu diangggap penting dalam penentuan kebijakan moneter yang tangguh bagi AS. Maka, tidak mengherankan bila perubahan jajaran pemimpin Bank Sentral AS bakal menjadi perhatian dunia. Apalagi, The Fed tidak hanya dianggap sebagai bank sentralnya sebuah negara, tetapi juga sebagai penentu arah kebijakan buat bank sentral negara-negara lain. Kebijakan moneter yang diambil Federal Reserve ditengarai berpengaruh besar bagi bank-bank lain di dunia, termasuk easing monetary policy yang tercermin dari berlangsungnya suku bunga acuan rendah Fed di level 0,25 persen hingga awal tahun 2014 nanti.
Bergulirnya permasalahan yang menerpa AS, selaku negara dengan perekonomian terbesar di dunia, tentu akan memengaruhi negara lain melalui perdagangan internasional. Eratnya hubungan ekspor-impor antara AS dan negara-negara lain pun memunculkan potensi terkenanya imbas situasi buruk negeri adidaya tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti masyarakat harus pesimistis terhadap kondisi ke depan. Sebab di balik itu semua, negara tercinta, Indonesia, masih memiliki ketahanan yang cukup kuat guna menghadapi dampak negatif situasi AS. Namun, pemerintah harus tetap waspada, tidak boleh meremehkan. Indonesia harus mencermati setiap peristiwa dari luar negeri karena tak dapat diprediksi secara pasti. Begitu pula dengan pengaruhnya. Maka, langkah terbaik pemerintah harus mengantisipasi lebih awal demi mencegah kerugian besar yang berpotensi membahayakan perekonomian nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar