Jumat, 11 Oktober 2013

Akal Budi yang Makin Rusak

Akal Budi yang Makin Rusak
L Murbandono HS Peminat Peradaban, Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 10 Oktober 2013


"Keterlenaan itu bisa awet lebih setengah abad sejak 1960-an sampai sekarang karena akal budi tak berfungsi"

NEGARA kita masih begini-begini saja karena mayoritas di antara kita tidak sadar sedang dijajah peradaban ultrakanan yang licik. Ini terjadi lantaran kita masih terlena oleh omong-kosong konspirasi keculasan. Jumlah omong-kosong itu berjubel-jubel. Dua contoh, soal mobil murah dan masih gelapnya soal G30S, adalah bagian lautan fakta kegagalan reformasi yang diproduksi para manipulator, iblis bertopeng malaikat.

Keterlenaan itu bisa awet lebih setengah abad sejak 1960-an sampai sekarang karena akal budi tidak berfungsi sehingga meleset memahami kenyataan. Akal budi adalah hasil pergumulan pikiran yang merasakan dan perasaan yang berpikir, yang total, dan berproses. Ia bukan entitas instan.

Ketidakberfungsian akal budi terjadi oleh banyak penyebab. Yang terparah pada era informasi hari-hari ini, terutama karena media yang memble. Ini melahirkan pendidikan dan budaya yang memble pula. Media, pendidikan, dan budaya --sebagai entitas-- adalah unsur-unsur yang berkorelasi dialektis, penyebab dan akibat bisa dibolak-balik.

Mereka tritunggal. Satu sama lain saling isi. Kemanunggalan tritunggal itu adalah bagian banyak-tunggal (semua unsur peradaban, sospolekbudhankam termasuk di dalamnya) yang satu sama lain juga berkorelasi dialektis. Dalam pemahaman itulah, tritunggal media-pendidikan-budaya menjadi peradaban.

Penting digarisbawahi, peradaban itu ibarat rumah. Ia mensyaratkan fondasi yang benar dan baik. Di negara kita, fondasi itu telah rusak sejak 5 Juli 1959 yang melahirkan zaman presiden seumur hidup. Makin rusak pada zaman pembangunan berbasis gebuk era Orde Baru, dan tidak kunjung diperbaiki pada zaman reformasi-reformasian. Di sepanjang sejarah tiga zaman itu, fondasi tersebut tidak pernah hadir secara imperatif sebagai kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan secara terus-menerus oleh segenap warga bangsa dan terutama pejabat negara, dengan akal budi.

Kinerja dari akal budi yang berfungsi, sebab berproses, melahirkan produk-produk yang mensyaratkan proses pula. Acapkali panjang. Itu nyaris tidak terjadi dalam peradaban kita. Yang banyak terjadi adalah produk-produk instan, anak kandung budaya populer taklukan pasar. Ini bukan cultural pop budaya picisan masa lalu tetapi jauh lebih rendah.

Ketepatan Pemanfaatan

Budaya populer taklukan pasar adalah budaya hura-hura,  hedonistik, konsumtif, ikut-ikutan, sok tahu, bodoh tapi sok intelek, norak, menggelikan, dan semua ajektif  lain sejenis. Singkat dan gampangnya, yaitu tadi, budaya yang memble. Kerusakan itu kini muncul ke permukaan makin terang-benderang. Bergudang-gudang info mirip timbunan sampah tumpang-tindih dengan berita-berita yang bermakna. Banyak info penting tertutup banyak info hura-hura tetek-bengek. Itu semua akibat pesta-pora kejayaan arus besar media ìutaraî membungkam media ”selatan”.

Artinya, dominasi arus media ìutaraî makin menggila dan media ìselatanî makin keok karena banyak sekali  oknum pihak berwajib penguasa negara terkecoh atau sengaja mengecohkan diri sehingga strategi manipulasi canggih globalisasi negatif bergulir lancar. Akibatnya dahsyat. Garda depan tritunggal informasi-pendidikan-hiburan, sebagai dasar media, nyaris lenyap, digeser 1.001 jenis tampilan media yang penuh sesak dengan hura-hura selera rendah. Itu semua ditelan mentah-mentah nyaris tanpa sikap kritis oleh khalayak luas dari ibu kota negara sampai desa-desa terpencil, menjadi mindset warga bangsa.

Memang teknologi itu netral. Kemajuannya bisa berdampak positif atau negatif, terpulang pengguna. Negatif, jika pengguna tanpa pengetahuan cukup tentang filosofi. Itulah yang terjadi di negara kita, lebih-lebih menyangkut kemajuan media sibernetika dan audiovisual. Nyaris tiap hidung bisa bermedia ria dan berkomunikasi hari-hari ini, demi media dan komunikasi itu sendiri, tanpa mampu memanfaatkannya secara tepat.

Semisal media sosial, tujuan yang mestinya mencerdaskan, malah membuat banyak orang linglung, semisal menjadi ajang pamer: siapa saja dalam seketika bisa menjadi komentator, penulis, jurnalis, pengamat, pembuat film, dan menjadi apa saja, atau menyelibritiskan diri, tanpa perlu belajar serius. Terjadi banjir info-info mubazir. Diproduksi secara instan. Diterima secara instan. Datang dan pergi secara instan pula.

Di ”utara” banyak perkara sudah selesai, tapi di ”selatan”  belum. Bahkan negara kita justru mengalami kemunduran mengerikan dalam sejumlah perkara. Dalam kasus seorang lurah yang jelita di Jakarta misalnya, tampak kebinekaan yang sudah selesai lebih seabad lalu, kini diungkit-ungkit lagi. Diproduksi oleh akal budi rusak.

Akhirnya, mengingat media, budaya, pendidikan adalah tiga unsur menyatu yang saling mengisi maka kerusakan dalam media juga terjadi dalam pendidikan. Ironisnya, itu terjadi saat di negara kita makin banyak universitas dan banyak orang mempunyai titel, bahkan berderet-deret. Daftar tanda-tanda kerusakan itu panjang sekali. Semua orang yang akal budinya sungguh-sungguh masih berfungsi, mempunyai daftar tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar