|
"Keterlenaan
itu bisa awet lebih setengah abad sejak 1960-an sampai sekarang karena akal
budi tak berfungsi"
NEGARA kita masih begini-begini saja karena mayoritas di
antara kita tidak sadar sedang dijajah peradaban ultrakanan yang licik. Ini
terjadi lantaran kita masih terlena oleh omong-kosong konspirasi keculasan.
Jumlah omong-kosong itu berjubel-jubel. Dua contoh, soal mobil murah dan masih
gelapnya soal G30S, adalah bagian lautan fakta kegagalan reformasi yang
diproduksi para manipulator, iblis bertopeng malaikat.
Keterlenaan itu bisa awet lebih setengah abad sejak 1960-an
sampai sekarang karena akal budi tidak berfungsi sehingga meleset memahami
kenyataan. Akal budi adalah hasil pergumulan pikiran yang merasakan dan
perasaan yang berpikir, yang total, dan berproses. Ia bukan entitas instan.
Ketidakberfungsian akal budi terjadi oleh banyak penyebab.
Yang terparah pada era informasi hari-hari ini, terutama karena media yang
memble. Ini melahirkan pendidikan dan budaya yang memble pula. Media,
pendidikan, dan budaya --sebagai entitas-- adalah unsur-unsur yang berkorelasi
dialektis, penyebab dan akibat bisa dibolak-balik.
Mereka tritunggal. Satu sama lain saling isi. Kemanunggalan
tritunggal itu adalah bagian banyak-tunggal (semua unsur peradaban,
sospolekbudhankam termasuk di dalamnya) yang satu sama lain juga berkorelasi
dialektis. Dalam pemahaman itulah, tritunggal media-pendidikan-budaya menjadi
peradaban.
Penting digarisbawahi, peradaban itu ibarat rumah. Ia
mensyaratkan fondasi yang benar dan baik. Di negara kita, fondasi itu telah
rusak sejak 5 Juli 1959 yang melahirkan zaman presiden seumur hidup. Makin
rusak pada zaman pembangunan berbasis gebuk era Orde Baru, dan tidak kunjung
diperbaiki pada zaman reformasi-reformasian. Di sepanjang sejarah tiga zaman
itu, fondasi tersebut tidak pernah hadir secara imperatif sebagai kewajiban
yang harus dipertanggungjawabkan secara terus-menerus oleh segenap warga bangsa
dan terutama pejabat negara, dengan akal budi.
Kinerja dari akal budi yang berfungsi, sebab berproses,
melahirkan produk-produk yang mensyaratkan proses pula. Acapkali panjang. Itu
nyaris tidak terjadi dalam peradaban kita. Yang banyak terjadi adalah
produk-produk instan, anak kandung budaya populer taklukan pasar. Ini bukan
cultural pop budaya picisan masa lalu tetapi jauh lebih rendah.
Ketepatan
Pemanfaatan
Budaya populer taklukan pasar adalah budaya hura-hura, hedonistik, konsumtif, ikut-ikutan, sok tahu,
bodoh tapi sok intelek, norak, menggelikan, dan semua ajektif lain sejenis. Singkat dan gampangnya, yaitu
tadi, budaya yang memble. Kerusakan itu kini muncul ke permukaan makin
terang-benderang. Bergudang-gudang info mirip timbunan sampah tumpang-tindih
dengan berita-berita yang bermakna. Banyak info penting tertutup banyak info
hura-hura tetek-bengek. Itu semua akibat pesta-pora kejayaan arus besar media
ìutaraî membungkam media ”selatan”.
Artinya, dominasi arus media ìutaraî makin menggila dan
media ìselatanî makin keok karena banyak sekali
oknum pihak berwajib penguasa negara terkecoh atau sengaja mengecohkan
diri sehingga strategi manipulasi canggih globalisasi negatif bergulir lancar.
Akibatnya dahsyat. Garda depan tritunggal informasi-pendidikan-hiburan, sebagai
dasar media, nyaris lenyap, digeser 1.001 jenis tampilan media yang penuh sesak
dengan hura-hura selera rendah. Itu semua ditelan mentah-mentah nyaris tanpa
sikap kritis oleh khalayak luas dari ibu kota negara sampai desa-desa
terpencil, menjadi mindset warga bangsa.
Memang teknologi itu netral. Kemajuannya bisa berdampak
positif atau negatif, terpulang pengguna. Negatif, jika pengguna tanpa
pengetahuan cukup tentang filosofi. Itulah yang terjadi di negara kita,
lebih-lebih menyangkut kemajuan media sibernetika dan audiovisual. Nyaris tiap
hidung bisa bermedia ria dan berkomunikasi hari-hari ini, demi media dan
komunikasi itu sendiri, tanpa mampu memanfaatkannya secara tepat.
Semisal media sosial, tujuan yang mestinya mencerdaskan,
malah membuat banyak orang linglung, semisal menjadi ajang pamer: siapa saja
dalam seketika bisa menjadi komentator, penulis, jurnalis, pengamat, pembuat
film, dan menjadi apa saja, atau menyelibritiskan diri, tanpa perlu belajar
serius. Terjadi banjir info-info mubazir. Diproduksi secara instan. Diterima
secara instan. Datang dan pergi secara instan pula.
Di ”utara” banyak perkara sudah selesai, tapi di
”selatan” belum. Bahkan negara kita
justru mengalami kemunduran mengerikan dalam sejumlah perkara. Dalam kasus
seorang lurah yang jelita di Jakarta misalnya, tampak kebinekaan yang sudah
selesai lebih seabad lalu, kini diungkit-ungkit lagi. Diproduksi oleh akal budi
rusak.
Akhirnya, mengingat media, budaya, pendidikan adalah tiga
unsur menyatu yang saling mengisi maka kerusakan dalam media juga terjadi dalam
pendidikan. Ironisnya, itu terjadi saat di negara kita makin banyak universitas
dan banyak orang mempunyai titel, bahkan berderet-deret. Daftar tanda-tanda
kerusakan itu panjang sekali. Semua orang yang akal budinya sungguh-sungguh
masih berfungsi, mempunyai daftar tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar