Minggu, 13 Oktober 2013

Revolusi Belum Selesai

Revolusi Belum Selesai
Bre Redana  Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 13 Oktober 2013


Menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, tanggal 10-17 Oktober, seniman Djokopekik dari Yogyakarta konsisten menampilkan sarkasme kerakyatannya melalui lukisan-lukisannya yang terkenal, antara lain celeng. Tema kali ini: ”Zaman Edan Kesurupan”.

Kurang perlu membabar lukisan Djokopekik satu per satu. Kalangan seni rupa sudah mengenalnya, baik dari segi tema, yakni tema kerakyatan, sampai nilai jual lukisannya, yang miliaran. Kalau Anda masih ingin mencari-cari, bisa baca pengantar kuratorialnya, oleh dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta, M Dwi Marianto. Selain tulisan Dwi Marianto, dalam buku yang diterbitkan seiring pameran ini ada tulisan dari para cerdik pandai lain, yaitu Sindhunata, M Agus Burhan, dan Baskara T Wardaya. Kalau Anda apresiator seni, datang dan lihat sendiri. Kalau kolektor, suka dan punya duit, beli. Kali ini Djokopekik menampilkan sekitar 30 karya.
Yang tak kalah penting untuk dilukiskan di sini—dan perlu diketahui banyak orang di zaman ini—Djokopekik adalah satu bagian yang pernah hendak dicoret dari risalah bangsa ini. Lahir di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 1938, ia adalah seniman Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta pada tahun 1960-an. Haluan realisme sosialis sanggar ini dan afiliasinya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang sering diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia alias PKI, membawa hidup Djokopekik pada titik nadir begitu peristiwa G30S meletus tahun 1965.
Ia dipenjara dari tahun 1965 sampai 1972. Dalam pembukaan pameran, duduk di bangku pendek, ia menceritakan pengalamannya ditaruh di ruang sempit, gelap. Siang hari, dari pukul 10.00-16.00, disuruh jongkok, dijemur di bawah matahari, tidak boleh melihat ke atas.
”Sehari-harian diinjak-injak dan digebuki RPKAD,” katanya.
Jiwanya yang berontak tidak bisa menerima perlakuan itu, mengkristal dalam umpatan yang hanya disebut dalam hati: celeng. Itulah hal ihwal lahirnya lukisan-lukisan celeng Djokopekik, yang sebagian ditampilkan dalam pameran.
Di penjara, seperti diceritakannya, suatu saat ia disuruh keluar dari ruangannya yang sempit dan gelap. Ia dipanggil oleh yang ia sebut ”komandan CPM”. Senangnya luar biasa ia dipanggil keluar oleh ”komandan CPM”. Apalagi dia ditanya, apakah mau melukis. Djokopekik meluapkan kerinduannya berkarya. Dia bilang tidak ingin melukis, tetapi mematung.
”Saking senangnya melihat udara luar, seperti ingin saya kremus matahari. Kemudian saya menciptakan patung itu,” kata Djokopekik menunjuk karya patung yang dipajang di pintu Galeri Nasional. ”Judulnya Memanah Matahari”.
Resopim
Malam pembukaan pameran itu mampu menggambarkan seluruh konteks kesenimanan Djokopekik, serta apa yang pernah terjadi dalam ranah politik dan kebudayaan di Indonesia. Pemikir penting Goenawan Mohamad memberikan orasi. Dia mengajak orang untuk menilai sendiri sejarah. Sebagai seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan pada tahun 1960-an, Goenawan merasa Djokopekik sebagai ”sanak kadang sendiri”. Hadir malam itu termasuk Ketua Sanggar Bumi Tarung Amrus Natalsya.
Selain orasi Goenawan, ada paduan suara ibu-ibu, yang satu di antaranya pernah dijebloskan ke penjara. Ia tampil bersama ibu-ibu korban lainnya. Paduan suara ini membawakan lagu yang niscaya hanya diketahui oleh generasi waktu itu, yakni ”Resopim”. Resopim adalah ajaran Bung Karno, singkatan dari Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional. Sangat merdu paduan suara ibu-ibu itu membawakan lagu ”Resopim”. ”Resopim, Resopim…” para ibu ini menyanyi dengan bersemangat.
Realisme sosialis Djokopekik zonder kompromi. Tidak ke-Indo-indo-an. Malam itu ditampilkan tari barong. Sebagaimana kesenian rakyat semacam jatilan, dukun memberikan sesaji. Beberapa penari kesurupan.
Pembawa acara Butet Kartaredjasa memanggil Djokopekik ketika dukun tidak bisa menyembuhkan pemain yang kesurupan. Djokopekik mendekati penari yang kesurupan sembari membuka dompet, menyodorkan uang Rp 100.000. Kontan si kesurupan sembuh, bangun dan tertawa cengengesan. Yang lain segera ikut kesurupan.
”Sudah. Jatah sudah habis,” Butet mengingatkan.
Gereget dan guyon kerakyatan inilah yang hilang dari lingkungan sehari-hari kita sekarang. Semua berubah menjadi formal, termasuk formalisme kekuasaan, yang esensinya ternyata gombal.
Benar kata Djokopekik malam itu: revolusi belum selesai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar