|
Menggelar pameran tunggal di Galeri
Nasional Indonesia, Jakarta, tanggal 10-17 Oktober, seniman Djokopekik dari
Yogyakarta konsisten menampilkan sarkasme kerakyatannya melalui
lukisan-lukisannya yang terkenal, antara lain celeng. Tema kali ini: ”Zaman
Edan Kesurupan”.
Kurang perlu membabar lukisan
Djokopekik satu per satu. Kalangan seni rupa sudah mengenalnya, baik dari segi
tema, yakni tema kerakyatan, sampai nilai jual lukisannya, yang miliaran. Kalau
Anda masih ingin mencari-cari, bisa baca pengantar kuratorialnya, oleh dosen Institut
Seni Indonesia Yogyakarta, M Dwi Marianto. Selain tulisan Dwi Marianto, dalam
buku yang diterbitkan seiring pameran ini ada tulisan dari para cerdik pandai
lain, yaitu Sindhunata, M Agus Burhan, dan Baskara T Wardaya. Kalau Anda
apresiator seni, datang dan lihat sendiri. Kalau kolektor, suka dan punya duit,
beli. Kali ini Djokopekik menampilkan sekitar 30 karya.
Yang tak kalah penting untuk
dilukiskan di sini—dan perlu diketahui banyak orang di zaman ini—Djokopekik
adalah satu bagian yang pernah hendak dicoret dari risalah bangsa ini. Lahir di
Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 1938, ia adalah seniman Sanggar Bumi Tarung
di Yogyakarta pada tahun 1960-an. Haluan realisme sosialis sanggar ini dan
afiliasinya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang sering diasosiasikan
dengan Partai Komunis Indonesia alias PKI, membawa hidup Djokopekik pada titik
nadir begitu peristiwa G30S meletus tahun 1965.
Ia dipenjara dari tahun 1965
sampai 1972. Dalam pembukaan pameran, duduk di bangku pendek, ia menceritakan pengalamannya
ditaruh di ruang sempit, gelap. Siang hari, dari pukul 10.00-16.00, disuruh
jongkok, dijemur di bawah matahari, tidak boleh melihat ke atas.
”Sehari-harian diinjak-injak dan
digebuki RPKAD,” katanya.
Jiwanya yang berontak tidak bisa
menerima perlakuan itu, mengkristal dalam umpatan yang hanya disebut dalam
hati: celeng. Itulah hal ihwal lahirnya lukisan-lukisan celeng Djokopekik, yang
sebagian ditampilkan dalam pameran.
Di penjara, seperti
diceritakannya, suatu saat ia disuruh keluar dari ruangannya yang sempit dan
gelap. Ia dipanggil oleh yang ia sebut ”komandan CPM”. Senangnya luar biasa ia
dipanggil keluar oleh ”komandan CPM”. Apalagi dia ditanya, apakah mau melukis.
Djokopekik meluapkan kerinduannya berkarya. Dia bilang tidak ingin melukis, tetapi
mematung.
”Saking senangnya melihat udara
luar, seperti ingin saya kremus matahari. Kemudian saya menciptakan
patung itu,” kata Djokopekik menunjuk karya patung yang dipajang di pintu
Galeri Nasional. ”Judulnya Memanah Matahari”.
Resopim
Malam pembukaan pameran itu
mampu menggambarkan seluruh konteks kesenimanan Djokopekik, serta apa yang
pernah terjadi dalam ranah politik dan kebudayaan di Indonesia. Pemikir penting
Goenawan Mohamad memberikan orasi. Dia mengajak orang untuk menilai sendiri
sejarah. Sebagai seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan pada tahun 1960-an,
Goenawan merasa Djokopekik sebagai ”sanak kadang sendiri”. Hadir malam itu
termasuk Ketua Sanggar Bumi Tarung Amrus Natalsya.
Selain orasi Goenawan, ada
paduan suara ibu-ibu, yang satu di antaranya pernah dijebloskan ke penjara. Ia
tampil bersama ibu-ibu korban lainnya. Paduan suara ini membawakan lagu yang
niscaya hanya diketahui oleh generasi waktu itu, yakni ”Resopim”. Resopim
adalah ajaran Bung Karno, singkatan dari Revolusi, Sosialisme, Pimpinan
Nasional. Sangat merdu paduan suara ibu-ibu itu membawakan lagu ”Resopim”.
”Resopim, Resopim…” para ibu ini menyanyi dengan bersemangat.
Realisme sosialis Djokopekik
zonder kompromi. Tidak ke-Indo-indo-an. Malam itu ditampilkan tari barong. Sebagaimana
kesenian rakyat semacam jatilan, dukun memberikan sesaji. Beberapa penari
kesurupan.
Pembawa acara Butet Kartaredjasa
memanggil Djokopekik ketika dukun tidak bisa menyembuhkan pemain yang
kesurupan. Djokopekik mendekati penari yang kesurupan sembari membuka dompet,
menyodorkan uang Rp 100.000. Kontan si kesurupan sembuh, bangun dan tertawa
cengengesan. Yang lain segera ikut kesurupan.
”Sudah. Jatah sudah habis,”
Butet mengingatkan.
Gereget dan guyon kerakyatan
inilah yang hilang dari lingkungan sehari-hari kita sekarang. Semua berubah
menjadi formal, termasuk formalisme kekuasaan, yang esensinya ternyata gombal.
Benar kata Djokopekik malam itu:
revolusi belum selesai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar