|
DALAM satu waktu Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations (PBB/UN) mengajak
masyarakat dunia untuk mencurahkan pikiran dan perhatian dalam menyelesaikan
masalah rumah dan permukiman rakyat di sekitar kita. UN menetapkan Senin
pertama Oktober sebagai Hari Habitat dunia, dan tahun ini secara nasional
diperingati pada 7 Oktober lalu. Tema untuk 2013 adalah Urban mobility, tetapi Indonesia membawa tema tadi ke tataran riil,
yaitu city for all atau kota bagi
semua dengan mobilitas yang baik. Apakah kota yang telah dianugerahi Wahana
Tata Nugraha oleh Presiden menjadi kota yang punya mobilitas yang baik juga?
Tantangan berikut adalah apakah semua warga, termasuk wong cilik, sudah diayomi oleh kotanya? Tantangan ini harus dijawab
oleh pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas.
Pada beberapa dasawarsa lalu atau 1970-an, pembangunan di
banyak kota di Indonesia mengubah kota dalam tiga dimensi, yakni lebar, panjang
dan tinggi.
Dalam proses ini ada kota yang mengubah secara radikal,
bongkar dan bangun kembali. Ada kota yang membangun bagian baru yang menjauhi
dan meninggalkan kota lama sehingga kota menjadi tidak efisien.
Ada pula yang melindungi bagian kota lama karena dinilai
sebagai pusaka bangsa dan membangun di pinggiran bagian luar kota lama se
hingga menyatu dan kompak.
Pada bagian lama kota, selalu ada kampung yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari kota lama. Kota seperti ini terus menjaga sifat
kota bagi semua tanpa ada yang terlempar dari upaya pembangunan.
Menjelang akhir 1960-an, pada saat yang sama, Jakarta dan
Surabaya memperbaiki kampung yang ada dengan dua standar berbeda. Jakarta
memilih standar menyongsong masa depan sebagai kota modern antara lain
membangun jalan mobil yang baik. Dalam waktu singkat, kampung menjadi baik, dan
segera berubah lagi menjadi perumahan menengah atas yang lebih baik. Namun
warga kampung terperas ke pinggiran makin jauh dari tempat semula.
Sementara itu, Surabaya memilih kampung diperbaiki dengan
standarnya sendiri agar terus menjaga kekhasannya. Pasalnya, di sana tersimpan
sejarah dan budaya kota, bukan di perumahan baru. Di setiap sudut Surabaya ada
kampung dalam kondisi yang terus membaik.
Ekonomi kampung yang semula hanya cukup untuk hidup (subsistence), berubah menjadi ekonomi
pasar seperti kampung yang tiap minggu mengekspor satu kontainer tas beragam
jenis ke berbagai daerah, atau beberapa kampung yang dalam semalam menjual
beragam kue dalam ukuran jutaan rupiah.
Dua pola pembangunan
Sebagai
konsekuensi logis, di Jakarta perlu ribuan bus
untuk mengangkut warga ke tujuan dalam waktu yang cukup lama. Di Surabaya ada
6.000 bemo dan hanya 800 bus kota. Namun, di tempat tunggu angkutan (bus shelter) tidak tampak warga menunggu
angkutan umum.
Keadaan ini kebalikan dari yang ada di Jakarta. Jadi ada
dua pola pembangunan yang dilakukan di banyak kota, yang terus berusaha memberi
tempat bagi semua warga, sambil tidak lupa memberi tempat semua modal dengan
risiko wong cilik terperas keluar,
disengaja atau tidak. Pada model pembangunan terakhir ini, mobilitas terganggu
dan tidak semua terlayani seperti yang didambakan.
Memasuki abad XXI dengan tan tangan lebih dari separuh
penduduk mendiami kota, tema pilihan pemerintah semakin menjadi relevan
sekaligus dilematis dalam dua pola pembangunan tersebut. Kota harus bagi semua,
seperti pada jalan raya, tiap orang harus sepakat taat pada aturan yang dibuat,
yaitu masing-masing menempati bagian kiri jalan (lalu-lintas dua arah). Sebab
kalau tidak ditaati, pasti terjadi kecelakaan. Ini sering makan korban
kecelakaan pada pengendara sepeda motor (dan masih terus terjadi).
Kota bagi semua tidak berarti semua begitu saja boleh
semaunya menempati bagian kota, seperti menduduki tepi saluran pembuang air
hujan, atau membangun di tempat penampungan sementara ketika hujan sangat
lebat.
Padahal hal itu bagian yang penting bagi pelayanan semua
warga lainnya. Juga tidak berarti semua boleh membangun rumah di tepi rel
kereta api, sehingga menimbulkan banyak kecelakaan dan korban jiwa.
Membangun kota bagi semua dan mobilitas yang berlangsung
baik tidak dapat diselesaikan hanya pada kota, tetapi perlu memperhatikan
masalah dasar, yaitu persaingan warga dengan modal pendatang.
Di banyak negara hal ini tidak diatasi dengan membatasi
masuknya orang atau modal, tetapi membuka peluang baru bagi modal di tempat
alternatif sehingga orang tidak perlu menyerbu ke kota.
Kementerian Koordinasi Perekonomian menggagas pembangunan
kota kecil (urbanizing small towns)
yang berdimensi permukiman, ekonomi lokal dan perbaikan sumber daya manusia
dalam lingkungan berkelanjutan di 6 (sudah dimulai) dan 10 kota kecil
(persiapan) di seluruh Indonesia. Menko Perekonomian hanya bertindak
koordinatif dengan gagasan holistis.
Kini Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum bertindak
lebih nyata dengan program pembangunan permukiman yang tidak kurang di 80 kota
kecil. Ke depan dua program ini saling bersinergi sebagai jawaban atas
tantangan kota bagi semua dengan mobilitas baik, mandiri, dan berkelanjutan.
Ambil inisiatif
Kota bagi semua tidak dapat dan tidak boleh semata diamati
secara fisik dan saat ini saja, tetapi harus pada sisi mutu yang baik bagi
semua agar siap memasuki era masa depan yang kompetitif.
Di era dasawarsa kedua abad XXI, banyak kota secara
kuantitatif berhasil membangun secara nyata, tetapi dari sisi kualitatif masih
kedodoran. Banyak kota masih bergulat dengan masalah sampah yang belum
terkelola baik. Air minum yang sehat belum menyentuh banyak warga, utamanya
mereka dari lapis bawah.
Di banyak kota baru fasilitas ekonomi tidak menyediakan
perumahan bagi pekerja dan masih banyak lagi masalah mutu kota lainnya.
Beberapa kota mulai mengambil inisiatif menyediakan perumahan sewa yang layak
dan terjangkau dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pusat kegiatan ekonomi.
Program yang tersedia adalah rumah susun sewa yang kompak,
lengkap dengan fasilitas sosial dan umum sebagai kesatuan dukungan dari pusat
(Kementerian PU) dan pemerintah kota.
Dengan cara ini, bukan saja kota menjadi nyata bagi semua,
melainkan dalam keadaan yang layak. Adalah tugas pemerintah menjamin perumahan
sebagai bagian utama kota yang mampu memberikan masa depan yang cerah bagi
penghuninya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar