Minggu, 13 Oktober 2013

Menjawab Tantangan Kota bagi Kita Semua

Menjawab Tantangan Kota bagi Kita Semua
Johan Silas  Guru Besar Arsitektur, Staf Pengajar ITS, Surabaya
MEDIA INDONESIA, 12 Oktober 2013


DALAM satu waktu Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations (PBB/UN) mengajak masyarakat dunia untuk mencurahkan pikiran dan perhatian dalam menyelesaikan masalah rumah dan permukiman rakyat di sekitar kita. UN menetapkan Senin pertama Oktober sebagai Hari Habitat dunia, dan tahun ini secara nasional diperingati pada 7 Oktober lalu. Tema untuk 2013 adalah Urban mobility, tetapi Indonesia membawa tema tadi ke tataran riil, yaitu city for all atau kota bagi semua dengan mobilitas yang baik. Apakah kota yang telah dianugerahi Wahana Tata Nugraha oleh Presiden menjadi kota yang punya mobilitas yang baik juga? Tantangan berikut adalah apakah semua warga, termasuk wong cilik, sudah diayomi oleh kotanya? Tantangan ini harus dijawab oleh pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas.
Pada beberapa dasawarsa lalu atau 1970-an, pembangunan di banyak kota di Indonesia mengubah kota dalam tiga dimensi, yakni lebar, panjang dan tinggi.

Dalam proses ini ada kota yang mengubah secara radikal, bongkar dan bangun kembali. Ada kota yang membangun bagian baru yang menjauhi dan meninggalkan kota lama sehingga kota menjadi tidak efisien.

Ada pula yang melindungi bagian kota lama karena dinilai sebagai pusaka bangsa dan membangun di pinggiran bagian luar kota lama se hingga menyatu dan kompak.

Pada bagian lama kota, selalu ada kampung yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kota lama. Kota seperti ini terus menjaga sifat kota bagi semua tanpa ada yang terlempar dari upaya pembangunan.

Menjelang akhir 1960-an, pada saat yang sama, Jakarta dan Surabaya memperbaiki kampung yang ada dengan dua standar berbeda. Jakarta memilih standar menyongsong masa depan sebagai kota modern antara lain membangun jalan mobil yang baik. Dalam waktu singkat, kampung menjadi baik, dan segera berubah lagi menjadi perumahan menengah atas yang lebih baik. Namun warga kampung terperas ke pinggiran makin jauh dari tempat semula.

Sementara itu, Surabaya memilih kampung diperbaiki dengan standarnya sendiri agar terus menjaga kekhasannya. Pasalnya, di sana tersimpan sejarah dan budaya kota, bukan di perumahan baru. Di setiap sudut Surabaya ada kampung dalam kondisi yang terus membaik.

Ekonomi kampung yang semula hanya cukup untuk hidup (subsistence), berubah menjadi ekonomi pasar seperti kampung yang tiap minggu mengekspor satu kontainer tas beragam jenis ke berbagai daerah, atau beberapa kampung yang dalam semalam menjual beragam kue dalam ukuran jutaan rupiah.

Dua pola pembangunan

Sebagai konsekuensi logis, di Jakarta perlu ribuan bus untuk mengangkut warga ke tujuan dalam waktu yang cukup lama. Di Surabaya ada 6.000 bemo dan hanya 800 bus kota. Namun, di tempat tunggu angkutan (bus shelter) tidak tampak warga menunggu angkutan umum.

Keadaan ini kebalikan dari yang ada di Jakarta. Jadi ada dua pola pembangunan yang dilakukan di banyak kota, yang terus berusaha memberi tempat bagi semua warga, sambil tidak lupa memberi tempat semua modal dengan risiko wong cilik terperas keluar, disengaja atau tidak. Pada model pembangunan terakhir ini, mobilitas terganggu dan tidak semua terlayani seperti yang didambakan.

Memasuki abad XXI dengan tan tangan lebih dari separuh penduduk mendiami kota, tema pilihan pemerintah semakin menjadi relevan sekaligus dilematis dalam dua pola pembangunan tersebut. Kota harus bagi semua, seperti pada jalan raya, tiap orang harus sepakat taat pada aturan yang dibuat, yaitu masing-masing menempati bagian kiri jalan (lalu-lintas dua arah). Sebab kalau tidak ditaati, pasti terjadi kecelakaan. Ini sering makan korban kecelakaan pada pengendara sepeda motor (dan masih terus terjadi).

Kota bagi semua tidak berarti semua begitu saja boleh semaunya menempati bagian kota, seperti menduduki tepi saluran pembuang air hujan, atau membangun di tempat penampungan sementara ketika hujan sangat lebat.

Padahal hal itu bagian yang penting bagi pelayanan semua warga lainnya. Juga tidak berarti semua boleh membangun rumah di tepi rel kereta api, sehingga menimbulkan banyak kecelakaan dan korban jiwa.
Membangun kota bagi semua dan mobilitas yang berlangsung baik tidak dapat diselesaikan hanya pada kota, tetapi perlu memperhatikan masalah dasar, yaitu persaingan warga dengan modal pendatang.

Di banyak negara hal ini tidak diatasi dengan membatasi masuknya orang atau modal, tetapi membuka peluang baru bagi modal di tempat alternatif sehingga orang tidak perlu menyerbu ke kota.

Kementerian Koordinasi Perekonomian menggagas pembangunan kota kecil (urbanizing small towns) yang berdimensi permukiman, ekonomi lokal dan perbaikan sumber daya manusia dalam lingkungan berkelanjutan di 6 (sudah dimulai) dan 10 kota kecil (persiapan) di seluruh Indonesia. Menko Perekonomian hanya bertindak koordinatif dengan gagasan holistis.

Kini Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum bertindak lebih nyata dengan program pembangunan permukiman yang tidak kurang di 80 kota kecil. Ke depan dua program ini saling bersinergi sebagai jawaban atas tantangan kota bagi semua dengan mobilitas baik, mandiri, dan berkelanjutan.

Ambil inisiatif

Kota bagi semua tidak dapat dan tidak boleh semata diamati secara fisik dan saat ini saja, tetapi harus pada sisi mutu yang baik bagi semua agar siap memasuki era masa depan yang kompetitif.

Di era dasawarsa kedua abad XXI, banyak kota secara kuantitatif berhasil membangun secara nyata, tetapi dari sisi kualitatif masih kedodoran. Banyak kota masih bergulat dengan masalah sampah yang belum terkelola baik. Air minum yang sehat belum menyentuh banyak warga, utamanya mereka dari lapis bawah.

Di banyak kota baru fasilitas ekonomi tidak menyediakan perumahan bagi pekerja dan masih banyak lagi masalah mutu kota lainnya. Beberapa kota mulai mengambil inisiatif menyediakan perumahan sewa yang layak dan terjangkau dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pusat kegiatan ekonomi.

Program yang tersedia adalah rumah susun sewa yang kompak, lengkap dengan fasilitas sosial dan umum sebagai kesatuan dukungan dari pusat (Kementerian PU) dan pemerintah kota.


Dengan cara ini, bukan saja kota menjadi nyata bagi semua, melainkan dalam keadaan yang layak. Adalah tugas pemerintah menjamin perumahan sebagai bagian utama kota yang mampu memberikan masa depan yang cerah bagi penghuninya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar