|
Di negeri ini, banyak 'orang gila'
yang sulit diketahui jumlahnya. Ini mengingat gaya atau penampilannya
mengesankan, namun tidak dikira kalau sosok yang baik hati, tampak alim, dan
menyenangkan dalam pergaulan itu ternyata berperilaku 'gila'. Kepintarannya
justru sebatas sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan korup dan
mempermainkan hukum dan kekuasaan. Hukum yang melarang perbuatan korup, justru
dilangkahi dan dieliminasikannya.
Manusia Indonesia yang
terperangkap kejahatan bercorak istimewa (exstra ordinary crime)
pun semakin besar daripada menjadi agen pembebas dan pemakmuran rakyat. Era
reformasi yang seharusnya diisi perilaku bercorak 'persembahan untuk rakyat'
secara maksimal, justru dijadikan praktik suap bernilai miliaran rupiah.
Bagaimana rakyat bisa mendapatkan dan menikmati hak-hak asasi terbaiknya, kalau
koruptor terus mengistimewakan kriminalitasnya?
Meski terpaksa banyak elite yang
antri diseret dalam proses hukum hingga boleh jadi pengadilan dan tahanan akan
disesaki tersangka/terdakwa korupsi, tetapi hukum harus tetap diimplementasikan
dan diberdayakan untuk menjaring koruptor. Siapa pun dan apa pun yang
menghalangi politik penjeratan koruptor harus dilawan. Seperti kata adagium
'meski langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan'.
Di negeri ini sudah terlalu sering
kita saksikan akrobat kalangan elite yang menyesakkan dada masyarakat.
Masyarakat dibuat kecewa dan prihatin oleh ucapan, sikap dan sepak terjangnya
yang tidak mencerminkan sebagai elite berintegritas. Apa yang ditunjukkan lewat
kata-kata maupun perbuatan, seperti bukan berasal dari elemen elite terdidik,
tetapi layaknya komunitas tak berpendidikan atau sekumpulan preman.
Jabatan strategis yang
disandangnya sebagai 'manusia terpilih' atau punggawa negara, ternyata tidak
mencerminkan predikat terhormatnya. Mereka hanya tampak terhormat karena
mengenakan jas, naik mobil dinas, dan bergaji besar, sementara dari sisi
perilakunya, mereka kalah jauh terhormatnya dibandingkan orang miskin yang
tidak kenal lelah mencarikan biaya sekolah anak-anaknya.
Mereka sudah dipercaya menjadi
pilar negara yang sangat diandalkan mampu memberikan perubahan besar terhadap
kehidupan bangsa. Sayangnya, mereka lebih tergiur menyukai praktik
kriminalisasi profesinya. Kadar intelektualitasnya, yang semestinya gampang
digunakan untuk menghitung tingkat kerugian makro praktik korupsi, ternyata
dikalahkan oleh semangat ambisius mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. 'Hak
rakyat' sudah disingkirkan jauh-jauh dari nuraninya.
Rakyat pun akhirnya hanya menemui
harapan kosong. Janji negara (pemerintah) yang dipercayakan lewat 'punggawa
berdasinya' untuk mempercepat pemerataan kesejahteraan atau memerdekakan
ketidakberdayaan, terkalahkan oleh hegemoni para strukturalis bermental
kolonialis yang bisa berjubah inflasi, penghematan, deviden, dan berbagai
'jubah' lain yang tidak mudah dicerna rakyat.
Ulah koruptif yang dilakukan oleh
seorang pemimpin strategis atau intelektualis, seperti dinyatakan L Wochaves,
dapat berdampak makro dan menjadi ancaman serius terhadap kehidupan masyarakat
dan bangsa. Bukan hanya tidak sedikit hak-hak privilitas dan fundamental
masyarakat yang bisa hancur di tangan pemimpin yang berwatak predatoristik,
tetapi masa depannya juga serba tidak pasti. Mereka ini kesulitan mendapatkan
hak kesejahteraan akibat sepak terjang pemimpinnya yang menempatkan dirinya
sebagai pemburu serakah dan 'perampok' yang tak mengenal titik nadir.
Rasanya orang miskin di negeri ini
tak akan punya kesempatan hidup sejahtera lepas dari kesulitan akibat
'lingkaran setan' ketidakberdayaan atau cengkeraman keterpurukan dan
ketidakmanusiawian sosok pemimpinnya yang sibuk melakukan berbagai bentuk
rekayasa kekuasaan (jabatan) yang menguntungkan diri dan kroni-kroninya.
Itulah, siapa pun yang diduga menyelewengkan
uang negara, wajib dijerat dan dijatuhi sanksi hukuman yang berkadar
menjerakan, bukan yang meringankan dan menyenangkan. Mereka tidak boleh
didiamkan dan memiliki imunitas hukum agar korupsi tidak menjadi jawara
berkedaulatan selamanya. Mereka bisa jadi jawara tidak lepas dari dukungan
aparat penegak hukum yang bersimbiosis mutualisme dengannya. Tanpa keterlibatan
oknum aparat yang memberikan 'ruang berkelit' atau berbarter kepentingan,
barisan koruptor tidak akan jumawa dan jadi jawara. (Misranto, 2012)
Untuk membuktikan bahwa aparat
penegak hukum sungguh-sungguh mengobobsesikan terwujudnya negeri yang kuat,
maka setiap gerakan penegakannya haruslah terbuka untuk diawasi oleh
lembaga-lembaga strategis di masyarakat. Karena, pengawasan ini merupakan wujud
kebulatan tekad dan sikap tegas untuk menempatkan koruptor sebagai musuh
bersama (common enemy).
Pelajaran besar tetap membekas
dalam kasus di berbagai lembaga strategis seperti perbankkan (Century), SSK
Migas, DPR, kepolisian, dan terakhir MK, bahwa di negeri yang sarat dan 'kuat'
korupsinya ini, tidak boleh mengenal istilah kata lengah dan sekedarnya dalam
melakukan pengawasan. Koruptor bisa muncul di mana dan kapan saja, serta
menimpa siapa pun.
Albert Enstein pernah mengingatkan
bahwa dunia ini menjadi semakin tidak nyaman untuk didiami bukan akibat pelaku
kejahatannya saja, tetapi akibat sikap kita sendiri yang mendiamkan (memberi
toleransi) terhadap sepak terjang para penjahat. Pesan ini tak bisa dianggap
ringan karena setiap opsi yang dijatuhkan masyarakat adalah brongkos pada efek.
Kadar efek negatif, besar kecilnya ditentukan oleh kadar pilihan yang
ditentukan. Ketika pilihan yang dijatuhkan adalah lebih banyak dan sering
mendiamkan elitisme atau atasan bermain-main sendiri dengan para pemilik
perusahaan multinasional, maka jangan disalahkan jika suatu saat, mencuat lagi
pelaku korupsi yang jauh lebih menghebohkan dibandingkan dengan yang terjadi
sebelumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar