Minggu, 06 Oktober 2013

Republik Kumpulan Elite Korup

Republik Kumpulan Elite Korup
Mariyadi Faqih ;  Peneliti dan Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUARA KARYA, 05 Oktober 2013


Di negeri ini, banyak 'orang gila' yang sulit diketahui jumlahnya. Ini mengingat gaya atau penampilannya mengesankan, namun tidak dikira kalau sosok yang baik hati, tampak alim, dan menyenangkan dalam pergaulan itu ternyata berperilaku 'gila'. Kepintarannya justru sebatas sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan korup dan mempermainkan hukum dan kekuasaan. Hukum yang melarang perbuatan korup, justru dilangkahi dan dieliminasikannya.

Manusia Indonesia yang terperangkap kejahatan bercorak istimewa (exstra ordinary crime) pun semakin besar daripada menjadi agen pembebas dan pemakmuran rakyat. Era reformasi yang seharusnya diisi perilaku bercorak 'persembahan untuk rakyat' secara maksimal, justru dijadikan praktik suap bernilai miliaran rupiah. Bagaimana rakyat bisa mendapatkan dan menikmati hak-hak asasi terbaiknya, kalau koruptor terus mengistimewakan kriminalitasnya?

Meski terpaksa banyak elite yang antri diseret dalam proses hukum hingga boleh jadi pengadilan dan tahanan akan disesaki tersangka/terdakwa korupsi, tetapi hukum harus tetap diimplementasikan dan diberdayakan untuk menjaring koruptor. Siapa pun dan apa pun yang menghalangi politik penjeratan koruptor harus dilawan. Seperti kata adagium 'meski langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan'.

Di negeri ini sudah terlalu sering kita saksikan akrobat kalangan elite yang menyesakkan dada masyarakat. Masyarakat dibuat kecewa dan prihatin oleh ucapan, sikap dan sepak terjangnya yang tidak mencerminkan sebagai elite berintegritas. Apa yang ditunjukkan lewat kata-kata maupun perbuatan, seperti bukan berasal dari elemen elite terdidik, tetapi layaknya komunitas tak berpendidikan atau sekumpulan preman.

Jabatan strategis yang disandangnya sebagai 'manusia terpilih' atau punggawa negara, ternyata tidak mencerminkan predikat terhormatnya. Mereka hanya tampak terhormat karena mengenakan jas, naik mobil dinas, dan bergaji besar, sementara dari sisi perilakunya, mereka kalah jauh terhormatnya dibandingkan orang miskin yang tidak kenal lelah mencarikan biaya sekolah anak-anaknya.

Mereka sudah dipercaya menjadi pilar negara yang sangat diandalkan mampu memberikan perubahan besar terhadap kehidupan bangsa. Sayangnya, mereka lebih tergiur menyukai praktik kriminalisasi profesinya. Kadar intelektualitasnya, yang semestinya gampang digunakan untuk menghitung tingkat kerugian makro praktik korupsi, ternyata dikalahkan oleh semangat ambisius mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. 'Hak rakyat' sudah disingkirkan jauh-jauh dari nuraninya.

Rakyat pun akhirnya hanya menemui harapan kosong. Janji negara (pemerintah) yang dipercayakan lewat 'punggawa berdasinya' untuk mempercepat pemerataan kesejahteraan atau memerdekakan ketidakberdayaan, terkalahkan oleh hegemoni para strukturalis bermental kolonialis yang bisa berjubah inflasi, penghematan, deviden, dan berbagai 'jubah' lain yang tidak mudah dicerna rakyat.

Ulah koruptif yang dilakukan oleh seorang pemimpin strategis atau intelektualis, seperti dinyatakan L Wochaves, dapat berdampak makro dan menjadi ancaman serius terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa. Bukan hanya tidak sedikit hak-hak privilitas dan fundamental masyarakat yang bisa hancur di tangan pemimpin yang berwatak predatoristik, tetapi masa depannya juga serba tidak pasti. Mereka ini kesulitan mendapatkan hak kesejahteraan akibat sepak terjang pemimpinnya yang menempatkan dirinya sebagai pemburu serakah dan 'perampok' yang tak mengenal titik nadir.

Rasanya orang miskin di negeri ini tak akan punya kesempatan hidup sejahtera lepas dari kesulitan akibat 'lingkaran setan' ketidakberdayaan atau cengkeraman keterpurukan dan ketidakmanusiawian sosok pemimpinnya yang sibuk melakukan berbagai bentuk rekayasa kekuasaan (jabatan) yang menguntungkan diri dan kroni-kroninya.

Itulah, siapa pun yang diduga menyelewengkan uang negara, wajib dijerat dan dijatuhi sanksi hukuman yang berkadar menjerakan, bukan yang meringankan dan menyenangkan. Mereka tidak boleh didiamkan dan memiliki imunitas hukum agar korupsi tidak menjadi jawara berkedaulatan selamanya. Mereka bisa jadi jawara tidak lepas dari dukungan aparat penegak hukum yang bersimbiosis mutualisme dengannya. Tanpa keterlibatan oknum aparat yang memberikan 'ruang berkelit' atau berbarter kepentingan, barisan koruptor tidak akan jumawa dan jadi jawara. (Misranto, 2012)

Untuk membuktikan bahwa aparat penegak hukum sungguh-sungguh mengobobsesikan terwujudnya negeri yang kuat, maka setiap gerakan penegakannya haruslah terbuka untuk diawasi oleh lembaga-lembaga strategis di masyarakat. Karena, pengawasan ini merupakan wujud kebulatan tekad dan sikap tegas untuk menempatkan koruptor sebagai musuh bersama (common enemy).

Pelajaran besar tetap membekas dalam kasus di berbagai lembaga strategis seperti perbankkan (Century), SSK Migas, DPR, kepolisian, dan terakhir MK, bahwa di negeri yang sarat dan 'kuat' korupsinya ini, tidak boleh mengenal istilah kata lengah dan sekedarnya dalam melakukan pengawasan. Koruptor bisa muncul di mana dan kapan saja, serta menimpa siapa pun.


Albert Enstein pernah mengingatkan bahwa dunia ini menjadi semakin tidak nyaman untuk didiami bukan akibat pelaku kejahatannya saja, tetapi akibat sikap kita sendiri yang mendiamkan (memberi toleransi) terhadap sepak terjang para penjahat. Pesan ini tak bisa dianggap ringan karena setiap opsi yang dijatuhkan masyarakat adalah brongkos pada efek. Kadar efek negatif, besar kecilnya ditentukan oleh kadar pilihan yang ditentukan. Ketika pilihan yang dijatuhkan adalah lebih banyak dan sering mendiamkan elitisme atau atasan bermain-main sendiri dengan para pemilik perusahaan multinasional, maka jangan disalahkan jika suatu saat, mencuat lagi pelaku korupsi yang jauh lebih menghebohkan dibandingkan dengan yang terjadi sebelumnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar