Minggu, 06 Oktober 2013

Masih Adakah Jurnalistik Damai?

Masih Adakah Jurnalistik Damai?
Eduard Depari  ;  Pengamat Komunikasi dan Media Massa,
Dosen Universitas Multimedia Nusantara dan Universitas Pelita Harapan
SUARA KARYA, 05 Oktober 2013


Jurnalistik damai (peace jurnalism) merupakan dambaan masyarakat banyak, mengingat hingar-bingar pemberitaan di media massa yang seharusnya mampu mencerdaskan kehidupan bermasyarakat malah menimbulkan pelbagai keresahan di tengah masyarakat.

Konsep jurnalistik yang di dukung oleh pelbagai organisasi media internasional, bahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyadari peran strategis media dalam membangun saling pengertian antar-manusia. Terlalu banyak peristiwa, isu maupun masalah yang menarik perhatian manusia, tidak mungkin diketahui manusia tanpa kemudahan yang diberikan oleh media massa.

Sebagai individu yang memiliki hak untuk mengetahui (the right to know), media massa merupakan fora untuk memenuhi rasa ingin tahu tersebut. Mass media diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk memberikan informasi sekaligus menyalurkan informasi mengenai hal-hal yang ingin diketahui, agar diketahui dan perlu diketahui oleh masyarakat.

Kepercayaan publik pada media massa, tentu harus diimbangi oleh kejujuran media massa untuk tidak memanipulasi dan menyesatkan masyarakat melalui informasi yang disajikan. Di sisi lain, media massa dituntut juga untuk menyampaikan fakta dengan cara-cara yang tidak provokatif, membingkai bahkan menimbulkan rasa pesimistis, panik, dan rasa takut yang berlebihan.

Wartawan Profesional

Dalam jurnalistik damai diharapkan agar informasi yang disampaikan media massa hendaknya dapat menyejukkan, tidak menimbulkan rasa benci berlebihan pada pihak tertentu, bahkan tidak meningkatkan rasa permusuhan pada pihak lain.

Dalam kancah media internasional, kita melihat liputan BBC dan televisi Uni Eropa yang dipandang sebagai model peran yang mendekati idealisme jurnalistik damai. Bahkan stasiun TV Al Jazeera yang tadinya dilahirkan untuk menyaingi CNN yang dirasa terlalu "bias" terhadap Islam, mulai dipandang sebagai lebih kredibel daripada CNN, bahkan lebih mendekati konsep jurnalistik damai dalam peliputannya.

Jurnalistik damai hanya dapat diterapkan dengan baik apabila dilakukan pertama-tama oleh wartawan yang paham betul akan tanggung jawab sosialnya sebagai profesional. Wartawan tersebut harus menyadari bahwa tanggung jawab utamanya adalah pada masyarakat, pada profesi dan baru pada medium tempat ia bekerja.

Wartawan tersebut menyadari bahwa ia memperoleh kebebasan berekspresi di media, karena kepercayaan masyarakat. Jika ia sadar, bahwa kebebasan tersebut bukan cek kosong (blank cheque), maka ia akan mengisinya dengan informasi yang mencerdaskan kehidupan bermasyarakat.
Bagi media, informasi memang merupakan komoditas. Jika demikian halnya, bukankah komoditas yang "dijual" harus memiliki kualitas yang baik?

Jika melihat jurnalistik damai dan penerapannya di Tanah Air, memang harus diakui, cukup banyak masalah yang memprihatinkan. Liputan mengenai konflik sosial lebih banyak diwarnai pembenaran pihak yang cenderung memaksakan pendapat. Belum terlalu diarahkan pada informasi mengenai mengapa perbedaan pendapat perlu dihargai dan mengapa pemaksaan pendapat bertentangan dengan hakikat demokrasi. Bukankah jurnalistik damai berfungsi juga untuk membangun sikap kritis masyarakat?
Dalam liputan kasus korupsi, misalnya, masih cukup banyak ruang yang diberikan oleh media massa yang memberi kesan seolah korupsi merupakan masalah hukum semata, bukan masalah etika, apalagi moral.

Dalam liputan kasus yang membawa nama selebritis atau figur publik, mereka yang menjadi korban perbuatan mereka, bahkan sampai berujung kematian, tidak mendapat liputan sebanding. Namun, apa yang disampaikan dan dilaporkan tentang selebritis ataupun figur publik memperoleh ruang dan waktu yang berlebihan.

Jika melihat liputan kasus terorisme, ada kesan bahwa media tertentu tanpa disadari memberi kesan bahwa aparat keamanan melakukan tindakan berlebihan, sementara realitas bahwa perbuatan teror menimbulkan keresahan bagi pebisnis, kecurigaan di tengah masyarakat dan ketidakpercayaan bagi negara cenderung diabaikan.

Laporan Investigasi?

Beberapa media dengan sengaja mempahlawankan pecundang tanpa memperhatikan kredibilitas mereka sebagai sumber informasi. Contohnya, ketika seorang eksekutif keuangan perusahaan Asian Agri Vincentius Sutanto membobol uang perusahaan sebesar 3.1 juta dolar AS ke dalam rekening pribadinya dan ditangkap polisi, orang tersebut dinobatkan sebagai pahlawan oleh reporter media yang kemudian melakukan jurnalistik investigasi atas informasi mengenai dugaan penyimpangan pajak yang dilaporkan oleh pejabat keuangan tersebut.

Sampai saat ini pun penyelesaian kasus pajak yang menimpa Asian Agri pun belum tuntas karena masih banyak kabar seputar berapa pajak terutang yang harus dibayar, mana rinciannya mengapa dianggap melanggar undang-undang, serta apa alasannya belum dilakukan pengadilan pajak.


Tanpa kejelasan semacam ini, pebisnis akan senantiasa waswas, karena kepastian hukum berada di tangan liputan media. Jelas, jurnalistik semacam ini jauh dari konsep jurnalistik damai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar