|
Dalam penalaran dualistik biner, di
dunia ini hanya ada (orang) yang korupsi dan tidak korupsi. Pada kenyataannya,
ada banyak yang tercecer di antara korupsi dan tidak korupsi, −bahkan
terpanggil untuk memberantas korupsi. Si penegak hukum yang tidak korupsi tapi
kemaruk menerima hasil korupsi, misalnya, bisa aktif mengatur dakwaan agar
terperoleh vonis hukuman ringan atau penataan fasilitas penjara agar si
koruptor nyaman.
Atau tak
korupsi tapi menerima recehan dari si yang korupsi supaya diam tutup mulut. Celakanya, reka suap tutup mulut itu jadi kolusi resmi, yang
membuat besaran dikorupsi Rp 1 miliar hanya dinikmati utuh Rp 600 juta,
sekaligus setelah mengantongi Rp 600 juta si bersangkutan menerima Rp 25
juta-Rp 50 juta dari teman kerja yang berkorupsi pada pos lain.
Pemerataan
hasil korupsi, yang nominalnya tergantung posisi dan jabatan, membuat si
terbukti korupsi dan divonis korupsi hanya bisa disita sebagian kekayaannya −di
bawah nominal kerugian negara.
Ruwet bin
rumit. Bahkan pihak-pihak yang ikut menikmati hasil korupsi hanya mungkin
dijadikan saksi, tak mungkin dipaksa mengembalikan keuntungan berkolusi.
Sulit merampas
receh hasil tutup mulut saat ada korupsi karena UU Pencucian
Uang sebagai alat pembuktian terbalik yang menelusuri asal-usul receh yang diperoleh jika diterapkan akan terlalu mahal. Dianggap saksi memberatkan yang nyaris whistle blower −meski aib menikmati hasil korupsi laku pasifnya itu diserahkan kepada Tuhan.
Uang sebagai alat pembuktian terbalik yang menelusuri asal-usul receh yang diperoleh jika diterapkan akan terlalu mahal. Dianggap saksi memberatkan yang nyaris whistle blower −meski aib menikmati hasil korupsi laku pasifnya itu diserahkan kepada Tuhan.
Mungkin tanpa
religiositas seperti China, baru bisa tegas menghukum mati.
Kondisi itu
yang menyebabkan banyak pihak muak dan cenderung ingin ekstrem menghukum
koruptor.
Tapi
radikalisme itu ditanggapi si koruptor sebagai laku pihak yang tak punya akses
sehingga tak kuasa menikmati hasil korupsi. Bahkan koruptor yang belum terbukti
korupsi berani menuding media yang menyorotinya sebagai pencemaran nama baik.
Mungkin karena
korupsi berdekatan, −bahkan identik, −dengan kekuasaan.
Lantas dengan
apa melawan kekuasaan yang koruptif?
Menulis korupsi
Awal 2013 ada
kawan yang gelisah dan ingin membentuk komunitas untuk menormalkan keadaan
lewat sugesti perlawanan. Semacam pengondisian untuk menolak laku aktif korupsi
atau hanya menikmati hasil korupsi. Komunitas dibentuk tanpa aturan keanggotaan
ketat dan upaya dimanifestasikan dalam ekspresi puisi.
Sederhananya,
anggota komunitas diajak menulis, memublikasikan secara tertulis, dan membaca
puisi bertema antikorupsi. Tendensi ini murni tak berideologi dan tak beragama.
Hanya tema
antikorupsi yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan serta pengalaman
subyektif masing-masing.
Sebagai
organisasi independen, dana yang terbatas diatasi dengan mengajak setiap
penyair pengirim puisi, untuk ikut membiayai penerbitan jika puisinya memenuhi
syarat dan lolos seleksi.
Untuk
publikasi pertama− ada 85 penyair dan 332 puisi dalam buku 476 halaman,−
ditentukan sawerannya Rp 250.000 per orang—meski banyak yang mengirim lebih.
Besaran itu jadi hak atas buku tercetak, yang saat itu biaya cetaknya cuma Rp
25.000 per buku.
Karena itu,
buku Puisi Menolak Korupsi tidak mungkin ditemukan di toko buku mana
pun. Melulu hanya berada di khazanah si penyair yang berkontribusi− bisa
dinegosiasi untuk memilikinya dengan rentangan harga Rp 0 sampai di atas Rp
25.000. Ini sebuah kesepahaman yang unik, sebuah manifestasi untuk
mengekspresikan perjuangan yang konsekuen melawan korupsi.
Pada
praktiknya, pembagian produksi hasil investasi saham penerbitan dilakukan pada
titik tertentu, di mana ada pihak yang mau jadi tempat launching, lalu
diikuti kegiatan baca puisi—meski ada yang tidak bisa datang.
Momen
publikasi lisan ini diikuti banyak kontributor buku atau seniman seni
pertunjukan setempat yang ikut mengekspresikan penolakan pada korupsi. Momen
itu dilengkapi diskusi yang menggelora dan tak seorang pun yang dibayar.
Kegiatan
Ada
kesepakatan tidak terucapkan untuk melawan korupsi, dengan ekspresi penolakan
pada korupsi secara tekstual. Sampai awal Ramadhan, launching− yang
diidentifikasi sebagai roadshow, telah dilakukan di Blitar (18-19/6),
Tegal (1-2/6), dan Banjarbaru, Kalsel (28/6). Selain di Banjarbaru, di mana ada
sumbangan dana Rp 2.725.000 lebih untuk tiket kapal Surabaya-Banjarmasin
pergi-pulang, semua transportasi ditanggung sendiri dengan ditunjang akomodasi
maesenas lokal.
Ada benang
merah kesepakatan: korupsi harus dilawan meski hanya lirih lewat puisi, yang
kegarangannya hanya hadir di panggung pertunjukan. Bahkan, ajakan emansipatorik
ditolak karena kodrat penyair itu berpuisi, mencatat, serta mengingatkan, tidak
pragmatik demo di jalanan, tidak juga dengan berpidato di DPR. Maka, roadshow berikut
berlangsung di Agustus dan seterusnya. Bahkan, kini sudah ada 174 penyair yang
berpartisipasi membiayai penerbitan buku Puisi Menolak Korupsi jilid
II.
Orang sudah
muak. Ada yang mengekspresikannya secara garang, ada yang lirih lewat puisi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar