|
Do you
solemnly swear or affirm that you will tell the truth, the whole truth, and
nothing but the truth, so help you God?
Pernah
dengar pertanyaan ini ketika menonton film-film Hollywood? Tak hanya di film,
di seluruh dunia, dengan teks yang tidak persis sama, kalimat ini ditanyakan
kepada saksi dalam persidangan yang diharuskan menyatakan sumpah sebelum
bersaksi.
Kebenaran,
seluruh kebenaran, dan tiada yang lain selain kebenaran. Mengapa kebenaran
penting dalam peradilan dan pencarian keadilan? Mereka yang bersumpah palsu, memberi
keterangan palsu, menolak memberi kesaksian, atau menghalang-halangi peradilan,
bahkan dapat dikenakan sanksi pidana.
Perlu
diingat, bagi sebagian orang, tidak semua kebenaran membahagiakan. Ada
kebenaran yang pahit dan menyakitkan sehingga menurut sebagian orang yang
“berkepentingan” lebih baik kebenaran itu dikubur dalam-dalam atau disangkal.
Sahabat
laki-laki saya pernah terkejut ketika anaknya yang berusia tujuh tahun
menanyakan, apakah benar ia meninggalkan dan bercerai dengan ibunya (mantan istri
sahabat saya) enam tahun lalu karena mengejar perempuan lain.
Sepengetahuan
saya dan teman lain, jelas bahwa alasan yang terungkap dalam perceraian sahabat
saya adalah karena adanya pihak ketiga alias “pria idaman lain” atau PIL. Dalam
sidang perceraian, yang juga tertulis dalam dokumen perceraian, disertai bukti
lain, alasan ini pun diakui langsung oleh si pemilik PIL.
Sebelumnya tak pernah tebersit di benak sahabat saya, mantan istrinya akan mengatakan hal di luar kebenaran yang terang-benderang ini pada anak. Hebatnya, sang anak yang kritis ini tak hanya bertanya mencari kebenaran pada sang ayah, ia juga berani menyampaikan pertanyaan klarifikasi serupa pada para paman dan bibinya.
Sebelumnya tak pernah tebersit di benak sahabat saya, mantan istrinya akan mengatakan hal di luar kebenaran yang terang-benderang ini pada anak. Hebatnya, sang anak yang kritis ini tak hanya bertanya mencari kebenaran pada sang ayah, ia juga berani menyampaikan pertanyaan klarifikasi serupa pada para paman dan bibinya.
Kejadian
ini sungguh menarik hati saya. Pertama, ada yang berupaya membelokkan sebuah
peristiwa yang ternyata adalah peristiwa teramat penting bagi pihak lainnya
(korban yang dirugikan). Kedua, ada yang “mempertanyakan” kebenaran sepihak
yang dikemukakan satu pihak.
Beruntunglah
sahabat saya menyimpan seluruh bukti-bukti dengan baik. Jika waktunya kelak,
sejalan dengan usia anak, ia bertekad menyatakan kebenaran dan meluruskan
sejarahnya.
Bagi
saya, sang anak sungguh luar biasa. Ia tidak serta-merta menerima “kebenaran”
yang disampaikan satu pihak (ibunya), tetapi mempertanyakan “kebenaran”
tersebut. Ia tak menerima mentah-mentah. Sebaliknya, ia menggugatnya hingga
menemukan kebenaran sesungguhnya.
Waktu
memang bergerak. Mereka yang berkepentingan bisa saja tidak berupaya membuat
suatu peristiwa sejarah dilupakan, tetapi malah membelokkannya demi kepentingan
sepihak. Kebenaran mungkin diselimuti wacana atau fitnah. Penguasa yang
berkepentingan boleh saja mengampanyekan A atau B, melancarkan jurus X atau Y.
Setidaknya
inilah yang terjadi pada tragedi G30SPKI atau Gestapu. Hingga kini, rezim
penguasa belum mengungkap kebenaran fakta kekerasan massal ratusan ribu orang,
khususnya perempuan-perempuan anggota Gerwani yang diklaim sebagai komunis,
kejam, binal, dan tak bermoral. Pelanggaran hak asasi manusia 1965 masih
mengambang sebagai “kebenaran” sepihak versi rezim penguasa.
Seruan
rekonsiliasi nasional dikumandangkan. Padahal, tidaklah mungkin ada
rekonsiliasi tanpa pemaparan kebenaran.
Mustahil
ada rekonsiliasi tanpa pengakuan bahwa kejahatan kemanusiaan 1965 itu sungguh
terjadi dan pihak-pihak tertentu jelas harus “dinyatakan dan diakui”
(“menyatakan dan mengakui”) sebagai yang bersalah dan bertanggung jawab.
Barulah dari sini, dengan bekal ini, kita bergerak ke jenjang rekonsiliasi.
Rezim
berkuasa kelihatannya lupa, ia wajib meluruskan kebenaran. Suara korban tetap
akan menjadi suara yang abadi. Ada saja yang menguntai jalinan kesaksian demi
kesaksian, bukti demi bukti. Entah diam-diam atau terang terangan, ada saja
yang tergerak hatinya mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran ini.
Meski
“masa lalu” berlalu, saya yakin upaya melupakan kebenaran hanya sia-sia.
Rekonsiliasi, apa pun packaging-nya,
tidak pernah benar-benar terjadi. Mereka yang salah tetap harus ditindak.
Kebenaran harus dijunjung dan keadilan ditegakkan.
Bagi
mereka yang berkonflik, tidak akan pernah ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan
kebenaran, the truth, the whole truth,
and nothing but the truth. Itu
mengapa, di seluruh dunia, konsepsi dan komisi rekonsiliasi selalu dilekatkan
dengan kebenaran. Ia tidak pernah berdiri sendiri-sendiri. Ia bernama: kebenaran dan rekonsiliasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar