|
“Soliditas TNI
makin baik namun personel dan peralatan, baik kualitas maupun kuantitas, belum
memadai”
TUNTUTAN
profesionalitas militer, telah mendorong soliditas Tentara Nasional Indonesia
(TNI), baik pada tingkat nasional maupun internasional. Upaya itu untuk
mencerminkan karakter kokoh, kuat, berwibawa, serta disegani kawan dan lawan.
Ada beberapa alasan mendasari hal itu. Pertama; perubahan peran TNI yang
berdampak pada arti penting profesionalisme. Kedua; pengembangan
keprofesionalan sebagai subsistem dari sistem pembinaan kemampuan secara
keseluruhan.
Ketiga;
pengembangan profesionalisme merupakan inti pembangunan SDM internal dan bagian
integral dari pengembangan SDM nasional. Keempat; prajurit mempunyai tanggung
jawab mewujudkan rasa aman dan perlindungan bagi tiap warga negara, baik di
dalam maupun di luar negeri.
Kelima;
tuntutan sangat tinggi profesionalisme karena menyangkut hidup mati prajurit
dalam pertempuran. Keenam; soliditas sangat mendukung penentuan kriteria
kemampuan. Profesionalisme dan soliditas perlu mendapatkan perhatian khusus.
Hal itu mengingat martabat dan kemampuan TNI akan ditentukan oleh hasil
pencapaian tugas (achievement) dan peran (role)
yang bisa dilakukan.
Samuel
P Huntington dalam buku The Soldier and
the State menulis bahwa profesionalisme militer mensyaratkan tiga hal.
Pertama; keahlian (expertise) dalam
bidang tertentu yang diperoleh melalui pendidikan, serta dikembangkan melalui
pengalaman dan pengamalan.
Kedua;
tanggung jawab (responsibility)
menggunakan keahlian guna kepentingan masyarakat. Ketiga; kebersamaan (corporateness) yang dapat dimengerti
sebagai perasaan mengenai kesatuan organik. Hal itu searas dengan Sir John
Winthrop Hackett lewat buku The
Profession of Arms yang menyebut toh keprofesionalan adalah integritas
moral.
Pada
awal era reformasi, mengemuka ketidakpuasan masyarakat terhadap dominasi
militer. Mereka menyoroti dan memojokkan posisi TNI, termasuk menghujat secara
tidak proporsional dan mengungkit luka lama. Mereka menganggap TNI pendukung
Orde Baru yang dinilai gagal membangun negara.
Namun
di lain pihak TNI kemudian menyadari posisinya dan bertekad melaksanakan
konsolidasi dan reformasi internal. Untuk meningkatkan keahlian dan
mengembangkan demokrasi, secara bertahap TNI mengurangi jumlah kursi pada
lembaga legislatif, dan meninggalkan bidang eksekutif.
Namun
ada persoalan lain, yakni kekompakan individu sebagai cerminan soliditas,
berkesan semu, terbukti dengan kemencuatan persoalan internal. Rasa kebersamaan
dan tanggung jawab sampai tingkat bawah pun masih menjadi persoalan, terlihat
dari beberapa kasus desersi prajurit, penjabaran esprit de corps yang kurang tepat.
Dari
segi tanggung jawab, terlihat indikasi permasalahan prajurit merasa gamang
bertindak di lapangan karena kurangnya landasan hukum dalam bertindak. Realitas
itu membuat para pelaksana di lapangan menjadi korban situasi, padahal ia harus
bertanggung jawab atas nama pelaksanaan tugas. Acap tidak terlihat tanggung
jawab pada tingkat atas, yang seharusnya menjadi tameng bagi pelaksanaan tugas
prajurit di lapangan.
Disiplin
prajurit dipengaruhi oleh lingkungan. Di sisi lain, kesejahteraan mereka
masih kurang layak, dibanding tugas dan kondisi sosial lingkungan, yang
kemudian membuat prajurit mencari tambahan di luar jam dinas dalam upaya
menghidupi keluarga. Semua itu akan memengaruhi kinerja.
Belum Memadai
Soliditas
TNI sebenarnya makin baik namun personel dan peralatan, baik kualitas maupun
kuantitas, belum memadai dibanding luas wilayah yang harus dipertahankan.
Secara eksternal ada beberapa faktor yang berpengaruh. Pertama; globalisasi yang
mengakibatkan pergeseran nilai. Kondisi itu mengubah pandangan masyarakat
terhadap sistem, konsepsi paradigma dan aplikasi, termasuk sistem pemerintahan
yang dianut.
Kedua;
pada tiap negara, hubungan sipil dengan militer berkembang sesuai dengan proses
dan historis bangsa. Ketiga; masyarakat madani menuntut kesetaraan dan kesamaan
hak sesama warga negara. Keempat; peralatan yang dimiliki TNI bisa dikatakan
ketinggalan zaman dan hal itu memengaruhi profesionalisme.
Kelima;
dukungan dana. Untuk mewujudkan prajurit profesional butuh dukungan dana yang
memadai. Keminiman anggaran sulit mewujudkan sosok prajurit profesional.
Keenam; kebijakan politik nasional yang terus berubah-ubah dan tidak jelas
menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan fungsi TNI.
Terkait
dengan pembenahan secara internal, ada beberapa hal yang bisa menjadi
perenungan berkait peringatan HUT Ke-68 TNI pada hari ini. Pertama; ketaatan
terhadap jati diri. Kedua; kesejahteraan prajurit. Ketiga; kesamaan pemahaman
dan persepsi terhadap peran. Keempat; penegakan hukum, dikaitkan dengan
pemahaman disiplin yang menimbulkan rasa tanggung jawab dan integritas moral
yang tinggi.
Penting
pula memahami harapan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso
bahwa TNI bisa menjadi prajurit militan berlandaskan tiga hal, yakni memiliki
keunggulan moral; pantang menyerah dan rela
berkorban; serta senantiasa bersama dengan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar