Sabtu, 05 Oktober 2013

Profesionalisme dan Soliditas TNI

Profesionalisme dan Soliditas TNI
Ahmad Rifa’i  ;  Kapenrem 073/­Maku­tarama
SUARA MERDEKA, 05 Oktober 2013


Soliditas TNI makin baik namun personel dan peralatan, baik kualitas maupun kuantitas, belum memadai”

TUNTUTAN profesionalitas militer, telah mendorong soliditas Tentara Nasional Indonesia (TNI), baik pada tingkat nasional maupun internasional. Upaya itu untuk mencerminkan karakter kokoh, kuat, berwibawa, serta disegani kawan dan lawan. Ada beberapa alasan mendasari hal itu. Pertama; perubahan peran TNI yang berdampak pada arti penting profesionalisme. Kedua; pengembangan keprofesionalan sebagai subsistem dari sistem pembinaan kemampuan secara keseluruhan.

Ketiga; pengembangan profesionalisme merupakan inti pembangunan SDM internal dan bagian integral dari pengembangan SDM nasional. Keempat; prajurit mempunyai tanggung jawab mewujudkan rasa aman dan perlindungan bagi tiap warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kelima; tuntutan sangat tinggi profesionalisme karena menyangkut hidup mati prajurit dalam pertempuran. Keenam; soliditas sangat mendukung penentuan kriteria kemampuan. Profesionalisme dan soliditas perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal itu mengingat martabat dan kemampuan TNI akan ditentukan oleh hasil pencapaian tugas (achievement) dan peran (role) yang bisa dilakukan.

Samuel P Huntington dalam buku The Soldier and the State menulis bahwa profesionalisme militer mensyaratkan tiga hal. Pertama; keahlian (expertise) dalam bidang tertentu yang diperoleh melalui pendidikan, serta dikembangkan melalui pengalaman dan pengamalan.

Kedua; tanggung jawab (responsibility) menggunakan keahlian guna kepentingan masyarakat. Ketiga; kebersamaan (corporateness) yang dapat dimengerti sebagai perasaan mengenai kesatuan organik. Hal itu searas dengan Sir John Winthrop Hackett lewat buku The Profession of Arms yang menyebut toh keprofesionalan adalah integritas moral.

Pada awal era reformasi, mengemuka ketidak­puasan masyarakat terhadap dominasi militer. Mereka menyoroti dan memojokkan posisi TNI, termasuk menghujat secara tidak proporsional dan mengungkit luka lama. Mereka menganggap TNI pendukung Orde Baru yang dinilai gagal membangun negara.

Namun di lain pihak TNI kemudian menyadari posisinya dan bertekad melaksanakan konsolidasi dan reformasi internal. Untuk meningkatkan keahlian dan mengembangkan demokrasi, secara bertahap TNI mengurangi jumlah kursi pada lembaga legislatif, dan meninggalkan bidang eksekutif.

Namun ada persoalan lain, yakni kekompakan individu sebagai cerminan soliditas, berkesan semu, terbukti dengan kemencuatan persoalan internal. Rasa kebersamaan dan tanggung jawab sampai tingkat bawah pun masih menjadi persoalan, terlihat dari beberapa kasus desersi prajurit, penjabaran  esprit de corps yang kurang tepat.

Dari segi tanggung jawab, terlihat indikasi permasalahan prajurit merasa gamang bertindak di lapangan karena kurangnya landasan hukum dalam bertindak. Realitas itu membuat para pelaksana di lapangan menjadi korban situasi, padahal ia harus bertanggung jawab atas nama pelaksanaan tugas. Acap tidak terlihat tanggung jawab pada tingkat atas, yang seharusnya menjadi tameng bagi pelaksanaan tugas prajurit di lapangan.

Disiplin prajurit dipengaruhi oleh  lingkungan. Di sisi lain, kesejahteraan mereka masih kurang layak, dibanding tugas dan kondisi sosial lingkungan, yang kemudian membuat prajurit mencari tambahan di luar jam dinas dalam upaya menghidupi keluarga. Semua itu akan memengaruhi kinerja.

Belum Memadai

Soliditas TNI sebenarnya makin baik namun personel dan peralatan, baik kualitas maupun kuantitas, belum memadai dibanding luas wilayah yang harus di­per­tahankan. Secara eksternal ada beberapa faktor yang berpengaruh. Pertama; globalisasi yang mengakibatkan pergeseran nilai. Kondisi itu mengubah pandangan masyarakat terhadap sistem, konsepsi paradigma dan aplikasi, termasuk sistem pemerintahan yang dianut.

Kedua; pada tiap negara, hubungan sipil dengan militer berkembang sesuai dengan proses dan historis bangsa. Ketiga; masyarakat madani menuntut kesetaraan dan kesamaan hak sesama warga negara. Keempat; peralatan yang dimiliki TNI bisa dikatakan ketinggalan zaman dan hal itu memengaruhi profesionalisme.

Kelima; dukungan dana. Untuk mewujudkan prajurit profesional butuh dukungan dana yang memadai. Keminiman anggaran sulit mewujudkan sosok prajurit profesional. Keenam; kebijakan politik nasional yang terus berubah-ubah dan tidak jelas menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan fungsi TNI.

Terkait dengan pembenahan secara internal, ada beberapa hal yang bisa menjadi perenungan berkait peringatan HUT Ke-68 TNI pada hari ini. Pertama; ketaatan terhadap jati diri. Kedua; kesejahteraan prajurit. Ketiga; kesamaan pemahaman dan persepsi terhadap peran. Keempat; penegakan hukum, dikaitkan dengan pemahaman disiplin yang menimbulkan rasa tanggung jawab dan integritas moral yang tinggi.

Penting pula memahami  harapan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso bahwa TNI bisa menjadi prajurit militan berlandaskan tiga hal, yakni memiliki keunggulan moral; pantang menyerah dan rela berkorban; serta senantiasa bersama dengan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar