Kamis, 10 Oktober 2013

Prahara MK dan Pembiaran Pemimpin

Prahara MK dan Pembiaran Pemimpin
Laode Ida  Wakil Ketua DPD RI
MEDIA INDONESIA, 09 Oktober 2013


PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan quick response atas tertangkap dan tersangkanya Akil Mochtar dalam dugaan suap terkait dengan penyelesaian sengketa pemilu kada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten. Dalam waktu singkat, ia bukan saja melakukan jumpa pers dengan menyatakan keprihatinan terhadap prahara di Mahkamah Konstitusi (MK) seraya memberikan apresiasi dan dukungan terhadap KPK (3/10), melainkan juga langsung bertemu dengan sejumlah ketua lembaga negara­-minus MK (5/10). Seusai pertemuan itu, SBY langsung mengumumkan kebijakan yang akan diambilnya, yakni berupa dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pengawasan, persyaratan, aturan, dan seleksi hakim MK.

Langkah cepat dan perhatian khusus SBY itu memang wajar dilakukan. Soalnya kasus MK itu merupakan reality show tentang hancur-ambruknya moralitas benteng terakhir lembaga bentukan reformasi pengawal konstitusi­-sebagai penjaga fondasi, bingkai, dan panduan kita dalam bernegara.

Kelemahan fundamental

Kendati demikian, reaksi cepat Presiden SBY itu sebenar nya sekaligus mempertontonkan kelemahan fundamental dalam mengelola negara di era reformasi. Juga buah dari kelambanan dalam menyikapi berbagai fenomena kebobrokan yang terjadi di berbagai lini dan level pemerintahan selama 9 (sembilan) tahun jadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Mengapa?

Pertama, kasus yang menimpa Akil Mochtar itu, jika jujur mau diakui, sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perilaku korup melalui MK. Desas-desus, isuisu, dan atau berbagai informasi miring tentang adanya oknum-oknum hakim konstitusi yang mengobral atau mengorbankan keadilan melalui cara-cara transaksional sudah menjadi bahan cerita yang berseliweran dalam setiap terjadi sengketa pemilu kada. Pengamat hukum tata negara dan sekaligus `pengacara bersih', Refly Harun, misalnya, sekitar tiga tahun lalu sudah mencoba memberi sinyal atas fenomena itu.

Namun, atas semua fenomena itu, seolah-olah Presiden SBY tak mau peduli. Pihak parpol yang dipimpinnya, termasuk koalisinya, yang menguasai proses pengambilan kebijakan di DPR RI (parlemen) terus saja dibiarkan memilih figur-figur politisi (yang kemudian diklaim sebagai `negarawan di MK'), termasuk di dalamnya memperpanjang jabatan Akil Mochtar. Bahkan, ketika ada hakim konstitusi yang berakhir masa jabatannya, justru SBY memilih hakim penggantinya del ngan cara-cara yang jauh tidak n transparan sehingga menuai kritik dan penolakan dari para aktivis LSM. Alih-alih mau mundur selangkah, terhadap semua kritikan itu SBY terkesan sangat mengabaikan.

Kedua, kasus suap terhadap Akil Mochtar sebenarnya bagian tak terpisahkan dari kerusakan sistematis dan masif di berbagai daerah di Indonesia. Para calon (pasangan) kepala daerah yang bertarung sudah sangat terbuka seluruh proses politiknya sarat transaksional. Semua orang tahu bahwa yang berperan penting dalam menyuburkan kondisi buruk seperti itu ialah oknum-oknum partai politik (parpol), mulai dari pimpinan di tingkat nasional sampai dengan di daerah-daerah. Dalam konteks ini, parpol pada realitasnya tidak menjadi tempat untuk menempa, memproses, dan melahirkan orang-orang baik (apalagi negarawan), melainkan `wadah percontohan' perilaku buruk dan korup yang terus direproduksi dan menjadi rantai kejahatan berkelanjutan.

Masyarakat pun kemudian ikut terbawa arus kerusakan moral politik dari para politikus itu. Rakyat bukan saja kemudian terbiasa disuguhi dan meminta uang imbal suara kepada politisi atau pejabat, tetapi juga pada tingkat tertentu rela menciptakan keresahan dan atau keretakan sosial di antara sesama anggota keluarga sekalipun, hanya karena terhasut oleh intrik politisi suatu fanatisme temporer akibat dari jual beli suara. Maka yang hadir sebagai pejabat pun ialah mereka yang memang berwatak korup, atau setidaknya seperti pedagang saja; menjadikan jabatannya sebagai lahan mencari uang, dan harus memperoleh untung dari pengorbanannya selama proses-proses politik berlangsung termasuk di dalamnya, termasuk menyuap hakim Akil Mochtar itu.

Lalu apakah Presiden SBY tidak tahu fakta-fakta perilaku buruk oknum politisi seperti itu, yang bukan mustahil juga masih bersarang di dalam parpol yang dipimpinnya termasuk jajaran koalisinya? Apakah juga dia tak tahu tentang adanya bangunan dinasti baru kekuasaan di tingkat daerah, bahwa para kepala daerah, keluarga, dan kroninya menimbun harta berlimpah termasuk seperti hari-hari ini dipertontonkan oleh adik kandung Gubernur Banten itu?

Retorika kencang

Jika Presiden SBY menjawab `tidak tahu' tentang kondisi dan kecenderungan seperti itu, sungguh sangat memprihatinkan lagi. Soalnya sebagai presiden, SBY sebenarnya memiliki instrumen yang sangat lengkap untuk mendeteksi dan sekaligus melakukan perbaikan di negeri ini. Ia punya jajaran kejaksaan di seluruh Indonesia, juga punya jajaran kepolisian, punya intelijen, punya aparat. Mustahil jika ia tak tahu dan baru sekarang seperti terkaget-kaget dengan kasus yang menimpa kader Partai Golkar itu.

Ketiga, fakta perilaku buruk yang terjadi terhadap Akil Mochtar itu sebenarnya merupakan produk budaya warisan dari para pejabat dan pemimpin di era reformasi ini yang hanya beretorika, tanpa contoh kerja nyata upaya melakukan perbaikan.

Presiden SBY pun kemudian masuk lingkaran pimpinan yang larut dalam budaya pencitraan, seraya `menjaga rasa' sesama kolega (apalagi dalam barisan koalisi) dengan tidak mau terlalu mempersoalkan lebih jauh perilaku dan budaya korup ketika mereka diberi kewenangan. Intinya, terjadinya pembiaran terhadap para pejabat politik kendati sebenarnya bisa dengan mudah diganti, diberi sanksi, atau sejenisnya. Maka tidak mengherankan jika beberapa anggota kabinet SBY sekarang ini yang sudah terindikasi korupsi tetap saja dibiarkan untuk menduduki jabatan itu. Atas nama `belum terbukti atau masih dalam proses hukum', mereka yang sebenarnya sudah korup itu tetap saja aman menduduki jabatan seraya terus mengumpulkan harta untuk diri, keluarga, dan termasuk di dalamnya untuk `berbagi dengan oknum penegak hukum terkait'. Toh, semua itu bisa aman-aman saja sepanjang tak tertangkap basah seperti Akil Mochtar.

Sikap pembiaran oleh pemimpin seperti itulah, tampaknya, menjadikan bangsa ini terus berada dalam rantai kejahatan para (oknum) penyelenggara negara. Entah sampai kapan, Presiden SBY sendiri niscaya tak bisa memastikannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar