|
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) memberikan quick response atas
tertangkap dan tersangkanya Akil Mochtar dalam dugaan suap terkait dengan
penyelesaian sengketa pemilu kada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah,
dan Kabupaten Lebak, Banten. Dalam waktu singkat, ia bukan saja melakukan jumpa
pers dengan menyatakan keprihatinan terhadap prahara di Mahkamah Konstitusi
(MK) seraya memberikan apresiasi dan dukungan terhadap KPK (3/10), melainkan
juga langsung bertemu dengan sejumlah ketua lembaga negara-minus MK (5/10).
Seusai pertemuan itu, SBY langsung mengumumkan kebijakan yang akan diambilnya,
yakni berupa dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) tentang pengawasan, persyaratan, aturan, dan seleksi hakim MK.
Langkah cepat dan perhatian khusus SBY itu memang wajar
dilakukan. Soalnya kasus MK itu merupakan reality
show tentang hancur-ambruknya moralitas benteng terakhir lembaga bentukan
reformasi pengawal konstitusi-sebagai penjaga fondasi, bingkai, dan panduan
kita dalam bernegara.
Kelemahan fundamental
Kendati demikian, reaksi cepat Presiden SBY itu sebenar nya
sekaligus mempertontonkan kelemahan fundamental dalam mengelola negara di era
reformasi. Juga buah dari kelambanan dalam menyikapi berbagai fenomena
kebobrokan yang terjadi di berbagai lini dan level pemerintahan selama 9 (sembilan)
tahun jadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Mengapa?
Pertama, kasus yang menimpa Akil Mochtar itu, jika jujur mau
diakui, sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perilaku korup melalui MK.
Desas-desus, isuisu, dan atau berbagai informasi miring tentang adanya
oknum-oknum hakim konstitusi yang mengobral atau mengorbankan keadilan melalui
cara-cara transaksional sudah menjadi bahan cerita yang berseliweran dalam
setiap terjadi sengketa pemilu kada. Pengamat hukum tata negara dan sekaligus
`pengacara bersih', Refly Harun, misalnya, sekitar tiga tahun lalu sudah
mencoba memberi sinyal atas fenomena itu.
Namun, atas semua fenomena itu, seolah-olah Presiden SBY tak
mau peduli. Pihak parpol yang dipimpinnya, termasuk koalisinya, yang menguasai
proses pengambilan kebijakan di DPR RI (parlemen) terus saja dibiarkan memilih
figur-figur politisi (yang kemudian diklaim sebagai `negarawan di MK'),
termasuk di dalamnya memperpanjang jabatan Akil Mochtar. Bahkan, ketika ada
hakim konstitusi yang berakhir masa jabatannya, justru SBY memilih hakim
penggantinya del ngan cara-cara yang jauh tidak n transparan sehingga menuai
kritik dan penolakan dari para aktivis LSM. Alih-alih mau mundur selangkah,
terhadap semua kritikan itu SBY terkesan sangat mengabaikan.
Kedua, kasus suap terhadap Akil Mochtar sebenarnya bagian
tak terpisahkan dari kerusakan sistematis dan masif di berbagai daerah di
Indonesia. Para calon (pasangan) kepala daerah yang bertarung sudah sangat
terbuka seluruh proses politiknya sarat transaksional. Semua orang tahu bahwa
yang berperan penting dalam menyuburkan kondisi buruk seperti itu ialah oknum-oknum
partai politik (parpol), mulai dari pimpinan di tingkat nasional sampai dengan
di daerah-daerah. Dalam konteks ini, parpol pada realitasnya tidak menjadi
tempat untuk menempa, memproses, dan melahirkan orang-orang baik (apalagi
negarawan), melainkan `wadah percontohan' perilaku buruk dan korup yang terus
direproduksi dan menjadi rantai kejahatan berkelanjutan.
Masyarakat pun kemudian ikut terbawa arus kerusakan moral
politik dari para politikus itu. Rakyat bukan saja kemudian terbiasa disuguhi
dan meminta uang imbal suara kepada politisi atau pejabat, tetapi juga pada
tingkat tertentu rela menciptakan keresahan dan atau keretakan sosial di antara
sesama anggota keluarga sekalipun, hanya karena terhasut oleh intrik politisi
suatu fanatisme temporer akibat dari jual beli suara. Maka yang hadir sebagai
pejabat pun ialah mereka yang memang berwatak korup, atau setidaknya seperti
pedagang saja; menjadikan jabatannya sebagai lahan mencari uang, dan harus
memperoleh untung dari pengorbanannya selama proses-proses politik berlangsung
termasuk di dalamnya, termasuk menyuap hakim Akil Mochtar itu.
Lalu apakah Presiden SBY tidak
tahu fakta-fakta perilaku buruk oknum politisi seperti itu, yang bukan mustahil
juga masih bersarang di dalam parpol yang dipimpinnya termasuk jajaran
koalisinya? Apakah juga dia tak tahu tentang adanya bangunan dinasti baru
kekuasaan di tingkat daerah, bahwa para kepala daerah, keluarga, dan kroninya
menimbun harta berlimpah termasuk seperti hari-hari ini dipertontonkan oleh
adik kandung Gubernur Banten itu?
Retorika kencang
Jika Presiden SBY menjawab
`tidak tahu' tentang kondisi dan kecenderungan seperti itu, sungguh sangat
memprihatinkan lagi. Soalnya sebagai presiden, SBY sebenarnya memiliki
instrumen yang sangat lengkap untuk mendeteksi dan sekaligus melakukan
perbaikan di negeri ini. Ia punya jajaran kejaksaan di seluruh Indonesia, juga
punya jajaran kepolisian, punya intelijen, punya aparat. Mustahil jika ia tak
tahu dan baru sekarang seperti terkaget-kaget dengan kasus yang menimpa kader
Partai Golkar itu.
Ketiga, fakta perilaku buruk yang terjadi terhadap Akil
Mochtar itu sebenarnya merupakan produk budaya warisan dari para pejabat dan
pemimpin di era reformasi ini yang hanya beretorika, tanpa contoh kerja nyata upaya
melakukan perbaikan.
Presiden SBY pun kemudian masuk lingkaran pimpinan yang
larut dalam budaya pencitraan, seraya `menjaga rasa' sesama kolega (apalagi
dalam barisan koalisi) dengan tidak mau terlalu mempersoalkan lebih jauh perilaku
dan budaya korup ketika mereka diberi kewenangan. Intinya, terjadinya pembiaran
terhadap para pejabat politik kendati sebenarnya bisa dengan mudah diganti,
diberi sanksi, atau sejenisnya. Maka tidak mengherankan jika beberapa anggota
kabinet SBY sekarang ini yang sudah terindikasi korupsi tetap saja dibiarkan
untuk menduduki jabatan itu. Atas nama `belum terbukti atau masih dalam proses hukum',
mereka yang sebenarnya sudah korup itu tetap saja aman menduduki jabatan seraya
terus mengumpulkan harta untuk diri, keluarga, dan termasuk di dalamnya untuk
`berbagi dengan oknum penegak hukum terkait'. Toh, semua itu bisa aman-aman
saja sepanjang tak tertangkap basah seperti Akil Mochtar.
Sikap pembiaran oleh pemimpin seperti itulah, tampaknya,
menjadikan bangsa ini terus berada dalam rantai kejahatan para (oknum)
penyelenggara negara. Entah sampai kapan, Presiden SBY sendiri niscaya tak bisa
memastikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar