Kamis, 10 Oktober 2013

Kinerja Perdagangan Cermin Perlambatan Ekonomi

Kinerja Perdagangan Cermin Perlambatan Ekonomi
Anthony Budiawan  Rektor Kwik Kian Gie School of Business
MEDIA INDONESIA, 09 Oktober 2013


KINERJA neraca perdagangan Agustus 2013 mengalami peningkatan dengan mencatat surplus US$132 juta. Meskipun surplus tersebut sangat kecil, cukup melegakan karena neraca perdagangan pada Juli 2013 mengalami defisit US$2,3 miliar, yang merupakan defisit bulanan terbesar selama ini.

Namun demikian, pencapaian surplus perdagangan Agustus 2013 tersebut harus diberi catatan khusus karena sangat mengkhawatirkan, dan bahkan mengindikasikan adanya permasalahan baru dalam perekonomian kita ke depan. Catatan pertama, surplus perdagangan pada Agustus 2013 tersebut diperoleh bukan karena peningkatan kinerja ekspor, melainkan lebih disebabkan penurunan impor yang sangat besar, yaitu turun dari US$17,42 miliar pada Juli 2013 menjadi US$13,03 miliar pada Agustus 2013, atau turun US$4,39 miliar (25,20%) jika dibandingkan dengan impor Juli 2013.

Adapun kinerja ekspor pada Agustus 2013 masih tetap mengalami penurunan yang juga cukup besar, yaitu dari US$15,09 miliar pada Juli 2013 menjadi US$13,16 miliar pada Agustus 2013, atau turun US$1,93 U miliar (12,77%) jika dibandingkan d dengan ekspor bulan sebelumnya.

Dari data di atas dapat dilihat sangat jelas bahwa peningkatan kinerja neraca perdagangan dari defisit US$2,3 miliar pada Juli 2013 menjadi surplus US$132 juta pada Agustus 2013 disebabkan impor turun sangat tajam, impor turun US$4,39 miliar versus ekspor turun US$1,93 miliar. Penurunan impor dan ekspor ini akan berdampak sangat negatif pada pertumbuhan ekonomi.

Kontribusi penurunan

Catatan kedua, penurunan ekspor sebesar US$1,93 miliar tersebut terbantu oleh peningkatan ekspor migas yang naik sebesar US$491 juta pada Agustus 2013, yaitu dari US$2,28 miliar pada Juli 2013 menjadi US$2,77 miliar pada Agustus 2013. Adapun ekspor nonmigas pada Agustus 2013 justru turun jauh lebih besar dari total ekspor, yaitu turun US$2,42 miliar (turun 18,88%) jika dibandingkan dengan ekspor nonmigas pada Juli 2013.

Kontribusi penurunan ekspor nonmigas ini mencapai 125,47% dari total penurunan ekspor. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan karena penurunan ekspor nonmigas mencerminkan penurunan pertumbuhan industri yang dapat berakibat pada percepatan deindustrialisasi dan pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Catatan ketiga, penurunan impor sebesar US$4,39 miliar tersebut di atas dipicu: (1) penurunan impor bahan baku/penolong (yang pada hakikatnya untuk keperluan produksi industri manufaktur) sebesar US$3,05 miliar, (2) penurunan impor barang modal (untuk keperluan investasi) sebesar US$896 juta.
Kontribusi penurunan impor bahan baku/penolong mencapai 69,38% dari total penurunan impor, sedangkan penurunan barang modal mencapai 20,43%.

Penurunan impor kedua jenis barang penggunaan ini (bahan baku/penolong dan barang modal) jelas akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tertekan; produksi (dan konsumsi) akan turun, dan investasi akan turun. Karena kedua faktor (konsumsi dan investasi) ini merupakan penyumbang terbesar penyerapan pertumbuhan ekonomi kita, penurunan konsumsi dan investasi akan berdampak sangat besar pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penurunan produksi dapat menyebabkan suplai berkurang sehingga dapat berakibat pada kenaikan harga, atau inflasi, apabila demand tetap tinggi. Bahaya laten inflasi ini harus diwaspadai karena dapat menjadi titik awal krisis ekonomi.

Kesimpulan

Kombinasi dari penurunan ekspor nonmigas dan penurunan impor bahan baku/ penolong (baca: penurunan produksi) dan penurunan impor barang modal (baca: penurunan Investasi) akan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, peningkatan kinerja neraca perdagangan Agustus 2013 yang mencatat surplus US$132 juta (dari defisit US$2,3 miliar pada bulan sebelumnya) mempunyai sifat destruktif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan kinerja neraca perdagangan ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi akan melambat, dan bahkan dapat menjadi titik awal krisis ekonomi, terutama apabila kebijakan tapering (perlambatan) quantitative easing (QE) (apabila jadi diterapkan The Fed (Bank Sentral AS) dalam waktu dekat ini) berdampak pada pemerosotan nilai rupiah.

Oleh karena itu, data ekonomi pada periode-periode mendatang menjadi sangat penting untuk dicermati. Khususnya pertemuan Bank Sentral AS pada 18 Oktober ini, dan pertumbuhan ekonomi triwulan III yang akan dipublikasi BPS pada awal bulan depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar