|
IBARAT
menghadapi buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Itulah
situasi yang dihadapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Penyelamatan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang hendak diterbitkan. Setelah penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh
KPK pada Rabu (2/10/13) malam, SBY selaku kepala negara mengajak konsultasi
ketua MPR, ketua DPR, ketua DPD, ketua KY, ketua MA, dan ketua BPK di Istana
Negara Jakarta, pada Sabtu (5/10/13).
Setelah
itu, selain menonaktifkan Akil, SBY mengeluarkan 5 butir penyelamatan MK.
Pertama; guna mengembalikan citra MK di mata rakyat, proses peradilan di
mahkamah itu harus dipastikan tak ada penyimpangan. Kedua; presiden dan para
ketua lembaga negara berharap KPK mempercepat dan menuntaskan proses penyidikan
kasus itu secara konklusif.
Ketiga;
presiden menyiapkan perppu yang segera diajukan ke DPR dan meminta masukan dari
MA. Substansi dalam perppu itu antara lain mengatur seleksi hakim MK ke depan.
Keempat; dalam perppu presiden akan mengembalikan fungsi pengawasan hakim MK ke
KY mengingat lembaga negara setinggi apa pun perlu diawasi guna memastikan
kinerja tetap pada jalurnya. Kelima; perlu audit internal di MK, bahkan audit
eksternal. yang melibatkan lembaga terkait (SM, 5/10/13).
Sesuai
dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, presiden memiliki hak subjektif menerbitkan
perppu dalam ìhal ihwal kegentingan yang memaksaî. Perppu harus disetujui DPR
sebelum diundangkan (Ayat 2), dan bila tidak disetujui maka pemerintah harus
mencabutnya (Ayat 3).
Perppu
termasuk rezim regulasi mendesak (noodverordeningsrecht)
untuk menyelamatkan negara. Pertanyaannya, ìhal ihwal kegentingan yang memaksaî
semacam apa yang dihadapi SBY sehingga ia perlu menerbitkan perppu? Apakah gara-gara
Akil ditangkap KPK? Bukankah tugas Akil sudah diambil alih Wakil Ketua MK
Hamdan Zoelva dan 7 hakim konstitusi lain?
Apakah
ìhal ihwal kegentingan yang memaksa itu tiadanya pengawasan sehingga pengawasan
MK dikembalikan kepada KY? Bukankah kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi
tidak sesuai dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, yang ada dalam putusan MK pada
23 Agustus 2006 itu, yang “final dan mengikat”?
Putusan
bernomor 005/PUU-IV/2006 itu menyatakan bahwa Pasal 1 Ayat (5) UU Nomor 22
Tahun 2004 tentang KY, sepanjang menyangkut frasa “hakim konstitusi”, tidak
berlaku lagi. Di sisi lain, bukankah MK bisa membentuk Majelis Pengawas Etik
sebagai lembaga permanen guna mengawasi hakim konstitusi?
Bila
presiden “menghidupkan” kembali ayat yang sudah jadi “mayat”, ia bisa dituduh
melanggar konstitusi dan bisa dimakzulkan (impeachment).
Beranikah SBY menghadapi risiko itu? Melihat catatan perjalanan politiknya,
penulis yakin dia tak berani.
Bila
Perppu Penyelamatan MK jadi diterbitkan maka menjadi perppu ke-19 yang
diterbitkan SBY. Sepanjang masa pemerintahannya, ia telah menerbitkan 18
perppu; 17 disetujui DPR. Perppu Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) ditolak
DPR pada 18 Desember 2008. Di sisi lain, karena kewenangan KY mengawasi hakim
konstitusi pernah dibatalkan MK, bila ada judicial
review, berdasarkan yurisprudensi, hampir dapat dipastikan MK akan
membatalkan perppu itu.
Seorang
anggota MPR kemudian punya pemikiran untuk mengamendemen UUD 1945 supaya MK
bisa diawasi KY. Bukankah amendemen V nanti bisa membuka kotak pandora yang
menyebabkan pasal-pasal lain juga diamendemen? Konstitusi
bukan atap rumah yang kapan saja bisa ditambal-sulam bila bocor. Bandingkan
dengan AS yang setelah ratusan tahun merdeka baru mengamendemen konstitusi,
sementara kita dalam waktu 4 tahun (1999-2002) sudah 4 kali amendemen.
Respons Gesit
Itulah
dilema yang dihadapi SBY, dan dalam konteks kasus MK responsnya begitu gesit.
Ia tak khawatir dituduh intervensi, sebagaimana ketika terjadi konflik antara
KPK dan Polri. Namun, perppu jadi diterbitkan atau tidak, kita serahkan kepada
SBY. Yang jelas MK memang harus diselamatkan, dengan catatan tak mengganggu
independensinya.
Harus
mencermati betul rencana SBY menerbitkan Perppu Penyelamatan MK karena
muatannya tak boleh mengatur lembaga-lembaga negara yang kewenangannya didapat
dan diatur konstitusi sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat. Selain itu, perppu
juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip konstitusionalisme dan check and balances antarlembaga
pelaksana kedaulatan rakyat.
Langkah
yang sebaiknya dilakukan adalah mendorong KPK segera memproses peradilan Akil
dan secara simultan Majelis Kehormatan Hakim MK bersidang maraton untuk
memutusnya.
Pada
tataran UU, adalah menghapus ketentuan mengenai penyelesaian sengketa pilkada dari
MK yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan, di antaranya UU Nomor 22
Tahun 2007 yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Ingat, sekali dibuka intervensi SBY ke MK, kemungkinan
pemakzulan presiden dan prospek Pemilu dan Pilpres 2014 akan rawan. Jangan
terkecoh oleh berbagai opini bahwa Indonesia dalam keadaan sekarat, dan untuk
itu harus ada Dewa Penyelamat yang tak lain SBY, dengan memanipulasi pertemuan
konsultasi ketua-ketua lembaga negara sebagai forum kedaulatan tertinggi
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar