Minggu, 13 Oktober 2013

Perppu Penyelamatan MK

Perppu Penyelamatan MK
Tjahjo Kumolo  Anggota DPR
SUARA MERDEKA, 12 Oktober 2013


IBARAT menghadapi buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Itulah situasi yang dihadapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Penyelamatan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hendak diterbitkan. Setelah penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK pada Rabu (2/10/13) malam, SBY selaku kepala negara mengajak konsultasi ketua MPR, ketua DPR, ketua DPD, ketua KY, ketua MA, dan ketua BPK di Istana Negara Jakarta, pada Sabtu (5/10/13).

Setelah itu, selain menonaktifkan Akil, SBY mengeluarkan 5 butir penyelamatan MK. Pertama; guna mengembalikan citra MK di mata rakyat, proses peradilan di mahkamah itu harus dipastikan tak ada penyimpangan. Kedua; presiden dan para ketua lembaga negara berharap KPK mempercepat dan menuntaskan proses penyidikan kasus itu secara konklusif.

Ketiga; presiden menyiapkan perppu yang segera diajukan ke DPR dan meminta masukan dari MA. Substansi dalam perppu itu antara lain mengatur seleksi hakim MK ke depan. Keempat; dalam perppu presiden akan mengembalikan fungsi pengawasan hakim MK ke KY mengingat lembaga negara setinggi apa pun perlu diawasi guna memastikan kinerja tetap pada jalurnya. Kelima; perlu audit internal di MK, bahkan audit eksternal. yang melibatkan lembaga terkait (SM, 5/10/13).

Sesuai dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, presiden memiliki hak subjektif menerbitkan perppu dalam ìhal ihwal kegentingan yang memaksaî. Perppu harus disetujui DPR sebelum diundangkan (Ayat 2), dan bila tidak disetujui maka pemerintah harus mencabutnya (Ayat 3).

Perppu termasuk rezim regulasi mendesak (noodverordeningsrecht) untuk menyelamatkan negara. Pertanyaannya, ìhal ihwal kegentingan yang memaksaî semacam apa yang dihadapi SBY sehingga ia perlu menerbitkan perppu? Apakah gara-gara Akil ditangkap KPK? Bukankah tugas Akil sudah diambil alih Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva dan 7 hakim konstitusi lain?

Apakah ìhal ihwal kegentingan yang memaksa itu tiadanya pengawasan sehingga pengawasan MK dikembalikan kepada KY? Bukankah kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi tidak sesuai dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, yang ada dalam putusan MK pada 23 Agustus 2006 itu, yang “final dan mengikat”?

Putusan bernomor 005/PUU-IV/2006 itu menyatakan bahwa Pasal 1 Ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY, sepanjang menyangkut frasa “hakim konstitusi”, tidak berlaku lagi. Di sisi lain, bukankah MK bisa membentuk Majelis Pengawas Etik sebagai lembaga permanen guna mengawasi hakim konstitusi?

Bila presiden “menghidupkan” kembali ayat yang sudah jadi “mayat”, ia bisa dituduh melanggar konstitusi dan bisa dimakzulkan (impeachment). Beranikah SBY menghadapi risiko itu? Melihat catatan perjalanan politiknya, penulis yakin dia tak berani.

Bila Perppu Penyelamatan MK jadi diterbitkan maka menjadi perppu ke-19 yang diterbitkan SBY. Sepanjang masa pemerintahannya, ia telah menerbitkan 18 perppu; 17 disetujui DPR. Perppu Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) ditolak DPR pada 18 Desember 2008. Di sisi lain, karena kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi pernah dibatalkan MK, bila ada judicial review, berdasarkan yurisprudensi, hampir dapat dipastikan MK akan membatalkan perppu itu.

Seorang anggota MPR kemudian punya pemikiran untuk mengamendemen UUD 1945 supaya MK bisa diawasi KY. Bukankah amendemen V nanti bisa membuka kotak pandora yang menyebabkan pasal-pasal lain juga diamendemen? Konstitusi bukan atap rumah yang kapan saja bisa ditambal-sulam bila bocor. Bandingkan dengan AS yang setelah ratusan tahun merdeka baru mengamendemen konstitusi, sementara kita dalam waktu 4 tahun (1999-2002) sudah 4 kali amendemen.

Respons Gesit

Itulah dilema yang dihadapi SBY, dan dalam konteks kasus MK responsnya begitu gesit. Ia tak khawatir dituduh intervensi, sebagaimana ketika terjadi konflik antara KPK dan Polri. Namun, perppu jadi diterbitkan atau tidak, kita serahkan kepada SBY. Yang jelas MK memang harus diselamatkan, dengan catatan tak mengganggu independensinya.

Harus mencermati betul rencana SBY menerbitkan Perppu Penyelamatan MK karena muatannya tak boleh mengatur lembaga-lembaga negara yang kewenangannya didapat dan diatur konstitusi sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat. Selain itu, perppu juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip konstitusionalisme dan check and balances antarlembaga pelaksana kedaulatan rakyat.

Langkah yang sebaiknya dilakukan adalah mendorong KPK segera memproses peradilan Akil dan secara simultan Majelis Kehormatan Hakim MK bersidang maraton untuk memutusnya.

Pada tataran UU, adalah menghapus ketentuan mengenai penyelesaian sengketa pilkada dari MK yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan, di antaranya UU Nomor 22 Tahun 2007 yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ingat, sekali dibuka intervensi SBY ke MK, kemungkinan pemakzulan presiden dan prospek Pemilu dan Pilpres 2014 akan rawan. Jangan terkecoh oleh berbagai opini bahwa Indonesia dalam keadaan sekarat, dan untuk itu harus ada Dewa Penyelamat yang tak lain SBY, dengan memanipulasi pertemuan konsultasi ketua-ketua lembaga negara sebagai forum kedaulatan tertinggi rakyat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar