|
Di dalam pergaulan kaum intelektual
modern, “haram” hukumnya memplagiat sebab plagiator sama saja atau boleh
dikatakan adalah maling. Kaum cerdik pandai harus menjunjung tinggi kejujuran
intelektual.
Periode 2012 hingga pertengahan 2013,
lebih dari 100 dosen setingkat lektor, lektor kepala, dan guru besar tertangkap
melakukan plagiarisme (penjiplakan). Akibatnya, dua dosen dipecat dan empat
lainnya diturunkan jabatannya. Selain itu, sekitar 400 perguruan tinggi swasta
(PTS) diketahui memalsukan data dan dokumen.
Menurut Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemendikbud), Supriyadi Rustad, plagiarisme oleh para pengajar perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dilakukan saat membuat makalah, buku, dan jurnal ilmiah, sebagai bagian dari syarat kenaikan jabatan fungsional (Koran Jakarta, 2/10/2013). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiarisme diartikan pengambilan karangan (pendapat) orang lain dan menjadikannya seolaholah karangan (pendapat) sendiri.
Secara sederhana, plagiat dapat dikatakan sebagai pencurian gagasan, kata, kalimat, atau hasil penelitian orang lain dan menyajikannya seolah- olah sebagai karya sendiri. Mencantumkan pendapat, ide, sebagian atau bahkan seluruhnya dari karya orang lain itu pekerjaan mudah. Mengutip pendapat dari makalah, majalah ilmiah, jurnal, atau buku, amatlah gampang karena penulis, sumber, dan penerbitnya jelas. Mengapa yang mudah ini kadang ada yang melanggarnya? Alasan klasik adalah "malas".
Tidak mau konsisten dan konsekuen sudah menjadi bagian dari masyarakat ilmiah. Atau karena sekarang zaman instan, ada saja bagian dari komunitas akademik ilmiah atau kaum cendekiawan, yang senang menggunakan jalan dadakan. Padahal, harga diri dan wibawa cendekiawan tidak ditentukan klaim: inilah pendapatku! Menghormati dan menghargai karya orang lain, justru menjadi jalan ampuh menegakkan wibawa keintelektualan. Di alam teknologi informasi dan komunikasi yang serba canggih, karya tulis seseorang bisa dipantau setiap saat oleh publik hanya dengan meng-googling nama dan kata kunci. Pada dekade 1980-an, marak istilah pelacuran intelektual.
Salah satu bentuknya mencuri karya orang lain. Dalam karya tulis ilmiah, informasi atau karya orang lain yang dirujuk tidak hanya muncul dalam bentuk kalimat biasa, tetapi juga rumus matematika, angka-angka yang dituangkan dalam tabel-tabel, gambar atau foto-foto. Untuk menghindari hal itu, pengutip gagasan orang lain harus menyebutkan sumber dan kontributornya. Apabila hal itu tidak dilakukan, penulis dapat dicap memplagiat. Menurut Koentjaraningrat (1986), praktik plagiarisme merupakan manifestasi "mentalitas menerabas" dalam arti ingin cepat tenar dengan cara cepat.
Sekarang, amat mudah menemukan pendidik yang memiliki ijazah dengan cara cepat. Banyak mahasiswa atau dosen sekalipun bisa memesan skripsi atau bahkan disertasi karena ada penyedia “jasa” tersebut. Di kampus-kampus dan sekolah-sekolah, juga banyak pelanggaran secara terbuka. Ada ujian yang terkesan sandiwara.
Ada nilai hasil ujian yang diperoleh dengan membeli. Bahkan ada guru yang menggunakan posisinya untuk mendapat keuntungan finansial melalui les privat atau sejenisnya. Peneliti bisnis dari Jerman, Thomas Brandt, sebagaimana dikutip Alois A Nugroho, pernah menyatakan di Indonesia telah terjadi “inflasi ijazah” (1997:211). Tulisan di sertifikat, diploma, atau ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan pribadi pemegang.
Ungkapan Ditjen Dikti Kemendikbud dan berbagai fakta menunjukkan bahwa negeri ini sedang darurat plagiarisme. Mengutip ramalan “zaman edan” Ranggawarsita, ada krisis moral dan keteladanan. Perilaku buruk justru dipertontonkan secara masif oleh mereka yang disebut panutan dan kaum bertoga. Plagiarisme sangat erat kaitannya dengan masalah moral dan etika. Di dalam pergaulan kaum intelektual modern, "haram" hukumnya memplagiat sebab plagiator sama saja atau boleh dikatakan adalah maling. Kaum cerdik pandai harus menjunjung tinggi kejujuran intelektual.
Perang
Kondisi darurat plagiarisme jangan dianggap remeh. Perang terhadap praktik plagiarisme harus diupayakan. Semua pihak yang terlibat perlu mengakui secara jujur praktik tersebut. Selanjutnya, menata tempat-tempat yang menjadi sumber plagiarisme dan mencari pemecahannya secara sistemik dengan kontrol ketat berjenjang. Seluruh dokumen karya para dosen untuk kenaikan pangkat yang sekarang menumpuk di Kemdikbud perlu dinilai kembali. Setiap hasil karya ilmiah mahasiswa dan dosen harus dipublikasikan di kalangan internal dan umum agar diketahui jika terjadi plagiat.
Terkait ini, peran media massa sebagai pengontrol sangat diperlukan. Media massa merupakan sarana edukasi yang paling cocok untuk menyentuh masyarakat di tingkat grassroot. Ketika fungsi kontrol media massa terhadap plagiarisme melemah, kebohongan publik bisa terjadi. Beri sanksi tegas bagi plagiator. Selama ini penjiplakan karya ilmiah cenderung ditutup-tutupi, berlangsung terus tanpa sanksi. Kondisi ini mendorong kian merebaknya penjiplakan dan akan menjadi budaya buruk pendidikan nasional.
Padahal, menjiplak karya ilmiah merupakan pelanggaran kode etik utama seorang ilmuwan. Plagiarisme erat kaitannya dengan instrumen hukum yang mengatur hak cipta dalam UU Nomor 19 Tahun 2002. Tentunya, UU ini bisa dijabarkan melalui peraturan akademik baik di tingkat fakultas maupun universitas. Pemerintah harus memperketat proses persetujuan status guru besar (profesor) di perguruan tinggi. Salah satunya dengan mengembangkan peer group bidang keilmuan yang spesifik untuk mengawasi karya ilmiah sebagai syarat memperoleh status guru besar, sebelum diajukan ke tim penilai.
Selain itu, pemerintah dan pimpinan kampus bersinergi membangun spirit akademik di dalam lingkungannya. Tradisi ilmiah atau menulis karya ilmiah perlu dibanguan di kalangan civitas akademik. Implementasi pendidikan berkarakter makin mendesak. Para peserta didik sedini mungkin dibekali pendidikan karakter, budi pekerti, dan humaniora, agar tujuan memanusiakan manusia tercapai. Kelak, diberharapkan lahir manusia Indonesia yang jujur dalam meniti karier. ●
Menurut Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemendikbud), Supriyadi Rustad, plagiarisme oleh para pengajar perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dilakukan saat membuat makalah, buku, dan jurnal ilmiah, sebagai bagian dari syarat kenaikan jabatan fungsional (Koran Jakarta, 2/10/2013). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiarisme diartikan pengambilan karangan (pendapat) orang lain dan menjadikannya seolaholah karangan (pendapat) sendiri.
Secara sederhana, plagiat dapat dikatakan sebagai pencurian gagasan, kata, kalimat, atau hasil penelitian orang lain dan menyajikannya seolah- olah sebagai karya sendiri. Mencantumkan pendapat, ide, sebagian atau bahkan seluruhnya dari karya orang lain itu pekerjaan mudah. Mengutip pendapat dari makalah, majalah ilmiah, jurnal, atau buku, amatlah gampang karena penulis, sumber, dan penerbitnya jelas. Mengapa yang mudah ini kadang ada yang melanggarnya? Alasan klasik adalah "malas".
Tidak mau konsisten dan konsekuen sudah menjadi bagian dari masyarakat ilmiah. Atau karena sekarang zaman instan, ada saja bagian dari komunitas akademik ilmiah atau kaum cendekiawan, yang senang menggunakan jalan dadakan. Padahal, harga diri dan wibawa cendekiawan tidak ditentukan klaim: inilah pendapatku! Menghormati dan menghargai karya orang lain, justru menjadi jalan ampuh menegakkan wibawa keintelektualan. Di alam teknologi informasi dan komunikasi yang serba canggih, karya tulis seseorang bisa dipantau setiap saat oleh publik hanya dengan meng-googling nama dan kata kunci. Pada dekade 1980-an, marak istilah pelacuran intelektual.
Salah satu bentuknya mencuri karya orang lain. Dalam karya tulis ilmiah, informasi atau karya orang lain yang dirujuk tidak hanya muncul dalam bentuk kalimat biasa, tetapi juga rumus matematika, angka-angka yang dituangkan dalam tabel-tabel, gambar atau foto-foto. Untuk menghindari hal itu, pengutip gagasan orang lain harus menyebutkan sumber dan kontributornya. Apabila hal itu tidak dilakukan, penulis dapat dicap memplagiat. Menurut Koentjaraningrat (1986), praktik plagiarisme merupakan manifestasi "mentalitas menerabas" dalam arti ingin cepat tenar dengan cara cepat.
Sekarang, amat mudah menemukan pendidik yang memiliki ijazah dengan cara cepat. Banyak mahasiswa atau dosen sekalipun bisa memesan skripsi atau bahkan disertasi karena ada penyedia “jasa” tersebut. Di kampus-kampus dan sekolah-sekolah, juga banyak pelanggaran secara terbuka. Ada ujian yang terkesan sandiwara.
Ada nilai hasil ujian yang diperoleh dengan membeli. Bahkan ada guru yang menggunakan posisinya untuk mendapat keuntungan finansial melalui les privat atau sejenisnya. Peneliti bisnis dari Jerman, Thomas Brandt, sebagaimana dikutip Alois A Nugroho, pernah menyatakan di Indonesia telah terjadi “inflasi ijazah” (1997:211). Tulisan di sertifikat, diploma, atau ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan pribadi pemegang.
Ungkapan Ditjen Dikti Kemendikbud dan berbagai fakta menunjukkan bahwa negeri ini sedang darurat plagiarisme. Mengutip ramalan “zaman edan” Ranggawarsita, ada krisis moral dan keteladanan. Perilaku buruk justru dipertontonkan secara masif oleh mereka yang disebut panutan dan kaum bertoga. Plagiarisme sangat erat kaitannya dengan masalah moral dan etika. Di dalam pergaulan kaum intelektual modern, "haram" hukumnya memplagiat sebab plagiator sama saja atau boleh dikatakan adalah maling. Kaum cerdik pandai harus menjunjung tinggi kejujuran intelektual.
Perang
Kondisi darurat plagiarisme jangan dianggap remeh. Perang terhadap praktik plagiarisme harus diupayakan. Semua pihak yang terlibat perlu mengakui secara jujur praktik tersebut. Selanjutnya, menata tempat-tempat yang menjadi sumber plagiarisme dan mencari pemecahannya secara sistemik dengan kontrol ketat berjenjang. Seluruh dokumen karya para dosen untuk kenaikan pangkat yang sekarang menumpuk di Kemdikbud perlu dinilai kembali. Setiap hasil karya ilmiah mahasiswa dan dosen harus dipublikasikan di kalangan internal dan umum agar diketahui jika terjadi plagiat.
Terkait ini, peran media massa sebagai pengontrol sangat diperlukan. Media massa merupakan sarana edukasi yang paling cocok untuk menyentuh masyarakat di tingkat grassroot. Ketika fungsi kontrol media massa terhadap plagiarisme melemah, kebohongan publik bisa terjadi. Beri sanksi tegas bagi plagiator. Selama ini penjiplakan karya ilmiah cenderung ditutup-tutupi, berlangsung terus tanpa sanksi. Kondisi ini mendorong kian merebaknya penjiplakan dan akan menjadi budaya buruk pendidikan nasional.
Padahal, menjiplak karya ilmiah merupakan pelanggaran kode etik utama seorang ilmuwan. Plagiarisme erat kaitannya dengan instrumen hukum yang mengatur hak cipta dalam UU Nomor 19 Tahun 2002. Tentunya, UU ini bisa dijabarkan melalui peraturan akademik baik di tingkat fakultas maupun universitas. Pemerintah harus memperketat proses persetujuan status guru besar (profesor) di perguruan tinggi. Salah satunya dengan mengembangkan peer group bidang keilmuan yang spesifik untuk mengawasi karya ilmiah sebagai syarat memperoleh status guru besar, sebelum diajukan ke tim penilai.
Selain itu, pemerintah dan pimpinan kampus bersinergi membangun spirit akademik di dalam lingkungannya. Tradisi ilmiah atau menulis karya ilmiah perlu dibanguan di kalangan civitas akademik. Implementasi pendidikan berkarakter makin mendesak. Para peserta didik sedini mungkin dibekali pendidikan karakter, budi pekerti, dan humaniora, agar tujuan memanusiakan manusia tercapai. Kelak, diberharapkan lahir manusia Indonesia yang jujur dalam meniti karier. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar