Minggu, 13 Oktober 2013

Rekonstruksi Semantis

Rekonstruksi Semantis
Robert Bala  Diploma Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian
pada Universidad Complutense de Madrid, Spanyol
KOMPAS, 12 Oktober 2013


PUTUSAN atas kasus Cebongan telah memasuki babak akhir sebulan lalu. Ulasan dari berbagai sudut pandang juga telah muncul di media massa. Ada yang menyoroti lamanya hukuman yang dianggap meminggirkan keraguan akan imparsialitas pengadilan militer, ada pula yang membahas tindakan heroik para tentara dalam memerangi premanisme, lengkap dengan ulasan tentang para pendukungnya yang membawa aneka poster.
Yang terakhir itulah yang kemudian memunculkan pertanyaan, bisakah sebuah kejahatan dibenarkan oleh motivasi di baliknya, betapapun luhurnya? Inilah yang tampaknya luput dibahas lebih lanjut, bahkan sampai hari ini.
Imposisi simbolis
Dalam Teoría de la Comunicación, Epistemología y Análisis de Referencia, 1982, Martin Serrano menyibak tendensi negatif sejumlah media yang diklaimnya parsial. Sebuah fakta yang secara substansial terlihat benar-salahnya ditampilkan secara berbeda karena di baliknya ada maksud terselubung.
Pemberitaan itu bahkan begitu kuat dan masif sehingga perlahan menghadirkan makna semantis baru yang mengesankan itulah fakta sebenarnya. Tentu saja ”kebenaran” baru itu hanya versial (versi kelompok tertentu) dan tidak mewakili realitas sebenarnya.
Meski berarti negatif, mekanisme ini kerap dihalalkan dalam politik-militer, demikian tulis Armand Mattelart. Menurut dia dalam Medios de Comunicación de Masas, La Ideología de la Prensa de Chile, 1970, pergeseran semantis kerap dilakukan dengan alasan patriotisme: menyelamatkan negara dari hal yang lebih buruk.
Strategi semantis juga kerap terjadi dalam lingkup kita. Koruptor yang sudah tertangkap tangan masih bisa membela diri. Ungkapan presumption of innocence alias praduga tak bersalah dianggap lumrah, terutama saat seseorang telah kehilangan argumen untuk membela diri.
Tidak hanya itu. Dengan cepat orang lain (sengaja) dihubung-hubungkan bukan untuk memperjelas, melainkan justru untuk mengaburkan masalah. Ungkapan ”tebang pilih”, misalnya, kerap dilansir agar seseorang atau kelompok tertentu keluar dari jerat.
Tendensi di atas oleh Marshall B Rosenberg dilihat lebih jauh. Dalam Nonviolent Communication, A Language of Life, 2003, ia menyibak akarnya dari bahasa verbal yang sudah terkondisi di rumah dan kian meluas. Di satu pihak, seseorang berusaha membenarkan diri. Di lain pihak, orang lain dianggap sebagai penyebab dari penderitaannya.
Membangun makna
Meminjam Serrano, ada tendensi yang cukup kuat untuk menempatkan kasus Cebongan sebagai sebuah ekspresi patriotisme. Kesalahan tentara yang masuk dan menembak tahanan itu dianggap sebagai bagian dari menciptakan ”rasa aman” warga karena yang dicari dan ditembaki adalah anggota preman.
Asumsi itu pun perlahan diarahkan menjadi sebuah makna semantis baru,− sengaja ataupun tidak, − dalam pemberitaan media. Ungkapan Serda Ucok bahwa setelah menjalani hukuman ia akan tetap memberantas premanisme yang dikutip aneka media mengarah pada penciptaan makna semantis baru.
Makna baru ini dalam arti tertentu perlu diterima. Siapa pun tidak akan menerima aksi premanisme. Yang disayangkan, pemberantasan premanisme dan aksi brutal tentara ditempatkan dalam kesatuan hubungan kausal yang jika diteruskan menjadi ekspresi pemaksaan simbolik.
Sekilas makna semantis baru ini bisa saja diterima. Namun, tanpa disadari, makna baru itu bisa juga sekaligus memberikan pembelajaran keliru. Masyarakat bisa berkesimpulan, kekerasan yang dilakukan demi memberantas kekerasan bisa dianggap patriotis.
Padahal, dalam kenyataannya, masih banyak fakta yang tidak diungkap. Misalnya, mengapa dan bagaimana keberadaan Serka Santoso di Hugo’s Cafe hingga akhirnya menjadi korban. Karena itu, kita sebagai orang yang terpapar informasi media tidak boleh terlalu cepat mengaitkan peristiwa kekerasan di Cebongan dengan pemberantasan premanisme.
Dalam perspektif ini, yang paling dinanti kini adalah perwujudan jiwa kesatria prajurit. Jiwa korsa yang begitu diagungkan selama ini tentu bukan sekadar solidaritas membela korps, melainkan juga secara gentleman mengakui kekeliruan (kalau ada).
Pengakuan ini dalam bahasa Robert Kiyosaki dianggap sebagai tuntutan dasar. Saat menulis when people are lame, they love to blame, ia tegaskan bahwa mengakui kepincangan demi membiarkan kebenaran tersibak adalah langkah bijak. Di sana, kita tidak akan kehilangan energi dengan saling mempersalahkan, tetapi secara kesatria mengambil tanggung jawab demi nilai yang lebih tinggi dan luhur.
Dengan demikian, strategi semantis yang mestinya diutamakan. Bukan lagi mempertahankan salah satu bagian dari kebenaran hanya demi menjaga nama baik, tetapi melihat lebih jauh dan menempatkan agenda reformasi nasional di atas segalanya. Jika pilihan moral ini kita utamakan, kita sudah selangkah di depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar