|
PUTUSAN atas kasus Cebongan telah memasuki babak akhir
sebulan lalu. Ulasan dari berbagai sudut pandang juga telah muncul di media
massa. Ada yang menyoroti lamanya hukuman yang dianggap meminggirkan keraguan
akan imparsialitas pengadilan militer, ada pula yang membahas tindakan heroik
para tentara dalam memerangi premanisme, lengkap dengan ulasan tentang para
pendukungnya yang membawa aneka poster.
Yang terakhir itulah yang
kemudian memunculkan pertanyaan, bisakah sebuah kejahatan dibenarkan oleh
motivasi di baliknya, betapapun luhurnya? Inilah yang tampaknya luput dibahas
lebih lanjut, bahkan sampai hari ini.
Imposisi simbolis
Dalam Teoría de la Comunicación, Epistemología y Análisis de Referencia, 1982,
Martin Serrano menyibak tendensi negatif sejumlah media yang diklaimnya
parsial. Sebuah fakta yang secara substansial terlihat benar-salahnya
ditampilkan secara berbeda karena di baliknya ada maksud terselubung.
Pemberitaan itu bahkan begitu
kuat dan masif sehingga perlahan menghadirkan makna semantis baru yang
mengesankan itulah fakta sebenarnya. Tentu saja ”kebenaran” baru itu hanya
versial (versi kelompok tertentu) dan tidak mewakili realitas sebenarnya.
Meski berarti negatif,
mekanisme ini kerap dihalalkan dalam politik-militer, demikian tulis Armand Mattelart.
Menurut dia dalam Medios de Comunicación
de Masas, La Ideología de la Prensa de Chile, 1970, pergeseran semantis
kerap dilakukan dengan alasan patriotisme: menyelamatkan
negara dari hal yang lebih buruk.
Strategi
semantis juga kerap terjadi dalam lingkup kita. Koruptor yang sudah tertangkap
tangan masih bisa membela diri. Ungkapan presumption
of innocence alias praduga tak bersalah dianggap lumrah, terutama saat
seseorang telah kehilangan argumen untuk membela diri.
Tidak
hanya itu. Dengan cepat orang lain (sengaja) dihubung-hubungkan bukan untuk
memperjelas, melainkan justru untuk mengaburkan masalah. Ungkapan ”tebang
pilih”, misalnya, kerap dilansir agar seseorang atau kelompok tertentu keluar
dari jerat.
Tendensi di atas oleh Marshall
B Rosenberg dilihat lebih jauh. Dalam Nonviolent
Communication, A Language of Life, 2003, ia menyibak akarnya dari bahasa
verbal yang sudah terkondisi di rumah dan kian meluas. Di satu pihak, seseorang
berusaha membenarkan diri. Di lain pihak, orang lain dianggap sebagai penyebab
dari penderitaannya.
Membangun makna
Meminjam Serrano, ada tendensi
yang cukup kuat untuk menempatkan kasus Cebongan sebagai sebuah ekspresi
patriotisme. Kesalahan tentara yang masuk dan menembak tahanan itu dianggap
sebagai bagian dari menciptakan ”rasa aman” warga karena yang dicari dan
ditembaki adalah anggota preman.
Asumsi itu pun perlahan
diarahkan menjadi sebuah makna semantis baru,− sengaja ataupun tidak, − dalam
pemberitaan media. Ungkapan Serda Ucok bahwa setelah menjalani hukuman ia
akan tetap memberantas premanisme yang dikutip aneka media mengarah pada
penciptaan makna semantis baru.
Makna baru ini dalam arti
tertentu perlu diterima. Siapa pun tidak akan menerima aksi premanisme. Yang
disayangkan, pemberantasan premanisme dan aksi brutal tentara ditempatkan dalam
kesatuan hubungan kausal yang jika diteruskan menjadi ekspresi pemaksaan
simbolik.
Sekilas makna semantis baru ini
bisa saja diterima. Namun, tanpa disadari, makna baru itu bisa juga
sekaligus memberikan pembelajaran keliru. Masyarakat bisa berkesimpulan,
kekerasan yang dilakukan demi memberantas kekerasan bisa dianggap patriotis.
Padahal, dalam kenyataannya,
masih banyak fakta yang tidak diungkap. Misalnya, mengapa dan bagaimana
keberadaan Serka Santoso di Hugo’s Cafe hingga akhirnya menjadi korban. Karena
itu, kita sebagai orang yang terpapar informasi media tidak boleh terlalu cepat
mengaitkan peristiwa kekerasan di Cebongan dengan pemberantasan premanisme.
Dalam perspektif ini, yang
paling dinanti kini adalah perwujudan jiwa kesatria prajurit. Jiwa korsa yang
begitu diagungkan selama ini tentu bukan sekadar solidaritas membela korps,
melainkan juga secara gentleman mengakui kekeliruan (kalau ada).
Pengakuan ini dalam bahasa
Robert Kiyosaki dianggap sebagai tuntutan dasar. Saat menulis when people are
lame, they love to blame, ia tegaskan bahwa mengakui kepincangan
demi membiarkan kebenaran tersibak adalah langkah bijak. Di sana, kita tidak
akan kehilangan energi dengan saling mempersalahkan, tetapi secara kesatria
mengambil tanggung jawab demi nilai yang lebih tinggi dan luhur.
Dengan demikian, strategi
semantis yang mestinya diutamakan. Bukan lagi mempertahankan salah satu bagian
dari kebenaran hanya demi menjaga nama baik, tetapi melihat lebih jauh dan
menempatkan agenda reformasi nasional di atas segalanya. Jika pilihan moral ini
kita utamakan, kita sudah selangkah di depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar