Senin, 07 Oktober 2013

Perekrutan Hakim Agung yang Amburadul

Perekrutan Hakim Agung yang Amburadul
Benjamin Mangkoedilaga ;  Mantan Hakim Agung
KOMPAS, 07 Oktober 2013


DPR baru saja dalam sidang plenonya mengesahkan hasil pemilihan calon hakim agung, untuk kemudian diajukan penetapannya kepada Presiden.

Banyak berita kontroversi mengenai pemilihan calon-calon hakim agung tersebut. Namun, terlepas dari itu semua, penulis berpendapat bahwa perekrutan para calon hakim agung di Indonesia sepertinya memang amburadul. Paling tidak ini terbaca lewat berita-berita di media massa menjelang dan mengiringi pemilihan calon hakim agung itu.

Dahulu, sebelum DPR dan Komisi Yudisial dilibatkan, karier para hakim di Indonesia ini memang tertata. Mulai dari jenjang hakim tingkat pertama (pengadilan-pengadilan negeri/agama, dan tata usaha negara), jenjang wakil ketua dan ketua, hingga jenjang hakim tinggi. Jika seorang hakim sudah menduduki posisi ketua pengadilan tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, posisi-posisi tersebut pasti merupakan posisi yang tinggal satu langkah untuk mencapai posisi hakim agung.

Unsur pimpinan Mahkamah Agung sudah memantau dalam jangka waktu yang cukup lama prestasi dan kemampuan para hakim sejak dari bawah.

Namun, sekarang kenyataannya lain. Ada hakim yang sudah berturut-turut menduduki posisi ketua pengadilan tinggi Bandung, Surabaya, dan Jakarta gagal dalam uji kelayakan dan kepatutan yang diadakan Komisi Yudisial dan DPR. Malah seorang ketua pengadilan tinggi yang terkenal berintegritas tinggi takut untuk maju mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR dan Komisi Yudisial karena trauma gagal, seperti gagalnya seorang peserta uji kelayakan dan kepatutan di DPR, yang karena rambutnya terurai rapi ditanya berapa kali seminggu berkunjung ke salon!

Banyak hakim tinggi yang lolos ke MA, padahal banyak pula wakil dan ketua pengadilan tinggi yang gagal mencapai MA. Inilah gambaran perekrutan calon hakim agung kita sekarang, pascaeksistensi dan berfungsinya Komisi Yudisial dan DPR dengan uji kelayakan dan kepatutan dalam perekrutan calon hakim MA.

Dua saran

Dahulu, sebelum Komisi Yudisial dan DPR berperan dalam perekrutan hakim agung, Indonesia sudah berhasil melahirkan hakim-hakim agung, seperti Bustanul Arifin, Indroharto Purwoto, Adi Andojo Soetjipto, Bismar Siregar, Asikin Kusumaatmadja, Yahya Harahap, dan Moh Iman! Namun, sekarang? Apakah kemudian itu bisa berwujud dan terbentuk kembali?

Apabila sekarang untuk jabatan hakim agung itu terbuka pula bagi pelamar-pelamar (dengan lamaran tentunya!) yang merasa sudah cukup cakap menjabat sebagai hakim agung, yang menurut Adi Andojo Soetjipto, di jagat raya ini baru di Indonesia jabatan hakim agung bisa dicapai melalui lamaran dan terbuka bagi siapa pun. Juga termasuk bagi mereka yang sebelumnya tidak berprofesi sebagai hakim.

Dari amburadulnya perekrutan hakim agung yang dipaparkan di atas, penulis dan banyak mantan hakim dan hakim aktif lainnya menyarankan agar (1) pangkas kewenangan DPR dari perekrutan hakim agung serta (2) posisikan dan komposisikan Komisi Yudisial sebagaimana mestinya. Dalam kaitan ini, Komisi Yudisial hanya berperan dalam hal tiga M (man, money, and material) seperti halnya di Perancis dan di banyak negara lain.

Penulis menyadari bahwa pendapat ini akan bertentangan dengan arus dan bertentangan dengan pola perundang-undangan yang berlaku. Namun, semua itu penulis kemukakan demi lembaga peradilan dan Mahkamah Agung Indonesia sebagai almamater kami para hakim agung. Kami tetap menginginkan MA sebagai lembaga yang terhormat dan dihormati. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar