|
DPR
baru saja dalam sidang plenonya mengesahkan hasil pemilihan calon hakim agung,
untuk kemudian diajukan penetapannya kepada Presiden.
Banyak berita kontroversi mengenai pemilihan calon-calon
hakim agung tersebut. Namun, terlepas dari itu semua, penulis berpendapat bahwa
perekrutan para calon hakim agung di Indonesia sepertinya memang amburadul.
Paling tidak ini terbaca lewat berita-berita di media massa menjelang dan
mengiringi pemilihan calon hakim agung itu.
Dahulu, sebelum DPR dan Komisi Yudisial dilibatkan, karier
para hakim di Indonesia ini memang tertata. Mulai dari jenjang hakim tingkat
pertama (pengadilan-pengadilan negeri/agama, dan tata usaha negara), jenjang
wakil ketua dan ketua, hingga jenjang hakim tinggi. Jika seorang hakim sudah
menduduki posisi ketua pengadilan tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan
Makassar, posisi-posisi tersebut pasti merupakan posisi yang tinggal satu
langkah untuk mencapai posisi hakim agung.
Unsur pimpinan Mahkamah Agung sudah memantau dalam jangka
waktu yang cukup lama prestasi dan kemampuan para hakim sejak dari bawah.
Namun, sekarang kenyataannya lain. Ada hakim yang sudah
berturut-turut menduduki posisi ketua pengadilan tinggi Bandung, Surabaya, dan
Jakarta gagal dalam uji kelayakan dan kepatutan yang diadakan Komisi Yudisial
dan DPR. Malah seorang ketua pengadilan tinggi yang terkenal berintegritas
tinggi takut untuk maju mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR dan Komisi
Yudisial karena trauma gagal, seperti gagalnya seorang peserta uji kelayakan dan
kepatutan di DPR, yang karena rambutnya terurai rapi ditanya berapa kali
seminggu berkunjung ke salon!
Banyak hakim tinggi yang lolos ke MA, padahal banyak pula
wakil dan ketua pengadilan tinggi yang gagal mencapai MA. Inilah gambaran
perekrutan calon hakim agung kita sekarang, pascaeksistensi dan berfungsinya
Komisi Yudisial dan DPR dengan uji kelayakan dan kepatutan dalam perekrutan
calon hakim MA.
Dua
saran
Dahulu, sebelum Komisi Yudisial dan DPR berperan dalam
perekrutan hakim agung, Indonesia sudah berhasil melahirkan hakim-hakim agung,
seperti Bustanul Arifin, Indroharto Purwoto, Adi Andojo Soetjipto, Bismar
Siregar, Asikin Kusumaatmadja, Yahya Harahap, dan Moh Iman! Namun, sekarang?
Apakah kemudian itu bisa berwujud dan terbentuk kembali?
Apabila sekarang untuk jabatan hakim agung itu terbuka pula
bagi pelamar-pelamar (dengan lamaran tentunya!) yang merasa sudah cukup cakap
menjabat sebagai hakim agung, yang menurut Adi Andojo Soetjipto, di jagat raya
ini baru di Indonesia jabatan hakim agung bisa dicapai melalui lamaran dan
terbuka bagi siapa pun. Juga termasuk bagi mereka yang sebelumnya tidak
berprofesi sebagai hakim.
Dari amburadulnya perekrutan hakim agung yang dipaparkan di
atas, penulis dan banyak mantan hakim dan hakim aktif lainnya menyarankan agar
(1) pangkas kewenangan DPR dari perekrutan hakim agung serta (2) posisikan dan
komposisikan Komisi Yudisial sebagaimana mestinya. Dalam kaitan ini, Komisi
Yudisial hanya berperan dalam hal tiga M (man, money, and material) seperti
halnya di Perancis dan di banyak negara lain.
Penulis menyadari bahwa pendapat ini akan bertentangan
dengan arus dan bertentangan dengan pola perundang-undangan yang berlaku.
Namun, semua itu penulis kemukakan demi lembaga peradilan dan Mahkamah Agung
Indonesia sebagai almamater kami para hakim agung. Kami tetap menginginkan MA
sebagai lembaga yang terhormat dan dihormati. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar