Selasa, 15 Oktober 2013

Pendidikan Hukum Masa Depan

Pendidikan Hukum Masa Depan
Iman Prihandono  Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum FH Unair 
JAWA POS, 14 Oktober 2013



Sejak gelombang reformasi bergulir, telah banyak kemajuan di bidang hukum di Indonesia. Wajah hukum Indonesia berubah bila dibandingkan dengan masa 15 tahun silam. Amandemen terhadap UUD 1945, misalnya, telah membawa dampak besar terhadap perkembangan jumlah instrumen hukum dan kelembagaan hukum. 

Instrumen hukum dalam bentuk undang-undang dan peraturan di bawahnya pada umumnya telah disusun untuk mewujudkan berjalannya kehidupan bernegara yang demokratis, pemerintahan pusat dan daerah yang transparan dan akuntabel, serta menjamin kesejahteraan umum. Dengan tujuan yang sama pula, lembaga-lembaga hukum baru, seperti KPK, KY, dan MK dibentuk. 

Sayangnya, wajah baru hukum kita dianggap belum memberikan banyak pengaruh pada perbaikan kinerja birokrasi dan penegakan keadilan. Seharusnya perbaikan hukum dapat menjadi katalis dalam membawa perbaikan pada tingkat ketaatan hukum di masyarakat. Namun, realitas masih menyedihkan. Contohnya, kekerasan yang belum bisa dijinakkan oleh hukum. 

Perbaikan hukum juga belum menyembuhkan kanker bangsa, yaitu korupsi. Kehadiran KPK belum membuat pelaku korupsi jera. Lebih mengkhawatirkan lagi, personel lembaga penegak hukum, hakim, dan anggota legislatif adalah yang termasuk paling disorot menjadi terpidana korupsi.

Ada nada menyalahkan bahwa lembaga pendidikan tinggi hukum turut andil atas kondisi ini. Kampus dianggap kurang mampu menghasilkan praktisi hukum yang berintegritas. Fakultas hukum lebih mengajarkan hukum sebagai komoditas transaksional antara pihak-pihak berkepentingan, baik di ranah publik maupun privat. 

Meskipun cukup beralasan, pendapat di atas tidak juga benar sepenuhnya. Terjadi perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang signifikan pada masyarakat Indonesia. Hal ini menyebabkan tantangan bagi pendidikan tinggi hukum semakin kompleks. Perubahan ini juga melahirkan bidang-bidang hukum baru dan profesi-profesi hukum baru di luar profesi tradisional, seperti hakim, jaksa, atau legislator. 

Hukum Nuklir 

Sebagai bagian dari peringatan 61 tahun pendidikan tinggi hukum di Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) baru-baru ini menyelenggarakan konferensi internasional tentang arah pendidikan hukum masa depan. Dalam salah satu sesi yang saya menjadi fasilitatornya, salah satu pembicara, seorang ahli pendidikan hukum klinis dari AS berpendapat bahwa pendidikan tinggi hukum yang baik adalah yang adaptif, inovatif, dan yang menanamkan nilai-nilai (values) tentang etika profesi. 

Adaptif berarti mampu membaca kebutuhan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Inovatif berarti metode pembelajaran yang berbeda harus diterapkan pada kondisi yang berbeda, perkuliahan tidak harus selalu di dalam kelas, bahkan pengajarnya tidak harus selalu akademisi. Adapun, pemahaman tentang nilai-nilai etika profesi akan membantu mahasiswa memiliki kepekaan dalam memilah yang baik dan buruk, apa pun profesi yang dipilihnya nanti.

Mungkin contoh yang paling relevan untuk menggambarkan aplikasi ketiga unsur pendidikan hukum masa depan di atas adalah ide tentang dimulainya pengajaran tentang hukum nuklir di Indonesia. Banyak pihak mungkin beranggapan bahwa cabang ilmu hukum yang satu ini belum diperlukan di Indonesia. Kita bukan negara pengguna nuklir.

Anggapan ini sebetulnya kurang tepat. Badan Tenaga Atom Nasional, misalnya, sudah berhasil menemukan varietas baru padi dan kedelai yang tahan hama dan berproduksi lebih baik melalui rekayasa genetik dengan teknologi nuklir. Selain itu, letak geografis Indonesia menjadikan negara ini menjadi daerah perlintasan kapal pengangkut limbah nuklir. Perlintasan ini sangat berisiko.

Sampai saat ini belum ada satu pun FH yang mengajarkan hukum nuklir secara mandiri. Untung, FH Unair memiliki alumni yang sejak 1984 terlibat dalam perundingan perjanjian multilateral nuklir. Beliau adalah Triyono Wibowo, mantan wakil Menlu, dan saat ini menjadi Dubes/perwakilan tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi lain di Jenewa, Swiss.

Beberapa kali beliau memberikan kuliah mengenai hukum nuklir di tengah kesibukannya sebagai diplomat senior. Sebagai bentuk penghargaan, Unair menganugerahkan gelar doktor honoris causa dalam bidang ilmu hukum Sabtu (12/10) lalu.

Ini juga bentuk apresiasi lembaga pendidikan tinggi hukum bahwa hukum seharusnya membawa kebaikan, bukannya kerusakan. Pendidikan hukum masa depan terletak di seberapa adaptif, inovatif, dan peka pendidikan hukum kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar