Selasa, 15 Oktober 2013

Di Sudut Kerling Bunda Putri

Di Sudut Kerling Bunda Putri
Umbu TW Pariangu  Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT
JAWA POS, 14 Oktober 2013



MANTAN presiden PKS menabuh genderang perang dengan Presiden SBY. Dalam kesaksian di sidang Tipikor (10/10), Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), terdakwa kasus dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi, menyebut Bunda Putri merupakan orang dekat SBY. LHI mengaku percaya dengan keterangan Bunda Putri karena diperkenalkan oleh ketua Majelis Syura PKS sebagai orang dekat PKS dan mengetahui kebijakan-kebijakan penting istana, termasuk reshuffle  kabinet.  

Begitu mendarat dari Brunei, SBY membantah pernyataan LHI dengan mengatakan LHI 1.000 persen bohong dan merasa perlu menghentikan tuduhan LHI agar rakyat tak bingung. Presiden berjanji, dua tiga hari akan mengklarifikasi lagi soal Bunda Putri di hadapan publik (Jawa Pos, 11/10). 

Dalam beberapa waktu ke depan sosok Bunda Putri mungkin akan memanasi kawah pembicaraan -bersama skandal suap Akil Mochtar- di pusaran elite politik maupun publik. Sudut kerling sang Bunda Putri yang misterius jelas membuat blingsatan. Namun, intensitas reaksinya melebihi penyebutan Sengman dalam sidang kasus yang sama. Ridwan Hakim, putra ketua Dewan Syuro PKS, yang bersaksi untuk terdakwa Ahmad Fathanah, menyebut uang Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dibawa Sengman, yang disebutnya "utusan Presiden SBY" (liputan6.com, 29/8). 

Tak heran banyak orang bertanya-tanya, apakah lontaran LHI tersebut benar dan bisa dipertanggungjawabkan, sekadar mencari sensasi atau kiat mengalihkan substansi kasus hukum. Jika benar, hal tersebut tentu rahmat terselubung (blessing in disguise) untuk menguak tabir skandal korupsi maupun indikasi transaksi kebijakan yang kerap menyerempet petinggi/elite-elite partai. Sebaliknya, jika tidak, ia tak lebih dari intrik politik murahan.

Politik Persepsi 

Dalam komunikasi politik, pernyataan LHI, jika memang sekadar sebuah intensi politik, dapat disebut sebagai one way traffic communication dengan membangun persepsi lewat media massa. Harapannya dapat efektif menukar pesan dan tujuan ataupun motif tertentu sehingga publik memperoleh suatu "fakta" yang seakan-akan baru. Politik, bagaimanapun, adalah persepsi, bukan fakta. Dalam politik, perseption is much more important the fact. Perspesi adalah masalah kepercayaan dan legitimasi sosial di hadapan publik. Persepsi yang telanjur buruk akan menodai reputasi. Apa jadinya jika lontaran LHI tersebut membuat SBY berurusan dengan KPK?

Mungkin SBY sangat paham tentang itu sehingga langsung menggelar konferensi pers. Namun, jika merasa difitnah, presiden bisa melaporkan LHI dengan dalil pencemaran nama baik. Pengadilan Tipikor juga harus segera menghadirkan Bunda Putri dalam persidangan kasus dugaan suap kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian tersebut sehingga dapat tersingkap siapa dan bagaimana peran Bunda Putri sesuai bunyi kesaksian Ahmad Fathanah dan LHI untuk mencegah berkembangnya politisasi kasus. Jangan seperti pengungkapan Sengman yang dibiarkan berlalu. 

Pada bagian lain, kegeramannya di atas menunjukkan bahwa presiden belum mampu keluar dari tradisi perilaku yang sering bereaksi terhadap hal-hal yang menyerang dirinya ketimbang terhadap persoalan yang menimpa rakyat, katakanlah soal problem Lapindo, pelanggaran HAM, kedaulatan pangan yang makin terancam oleh mafia kartel atau praktik kekerasan yang makin meningkat belakangan ini, yang menyentuh semua kalangan umur.

Yang tak kalah mengherankan, bagaimana mungkin suatu koalisi tambun yang dibangun pemerintahan dengan basis dukungan 70 persen, tapi soal urusan  reshufflle malah muncul rumor adanya intervensi pengaruh dari figur tertentu. Kita tahu, reshuffle kabinet sering menyerupai kontes, yang tahapannya selalu memakan waktu dan perhatian publik. Mulai tahap kajian terhadap kinerja kementerian yang telah diawasi Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan UKP4, tahap konsultasi politik dengan pimpinan partai-partai politik, pemanggilan menteri yang akan diganti dan pemanggilan menteri yang akan menggantikan sebelum akhirnya SBY mengumumkan reshuffle (policy speech).

Sungguh tak dipercaya jika proses yang demikian dramatis itu disisipi sosok-sosok perantara politik. Dengan lain kata, ini residu model koalisi panser ala SBY yang mau merangkul semua kekuatan politik sehingga potensi terjadinya pragmatisme kepentingan menurut arah mata angin, menjadi terbuka lebar. 

Yang jelas, pertarungan politik saling membuka kartu antarelite menjadi tontotan sirkus politik yang makin menjengkelkan. Apalagi, jika hanya berupa perang kata, saling tuding seraya menyeret-nyeret seseorang, lalu kemudian tenggelam begitu saja tanpa menguak kebenaran substansial. Hanya ribut seperti seng ditabuh. 

Ini sepertinya menguatkan fenomena sosial yang berkembang bahwa kelas sosial dari budaya atas telah menghasilkan beberapa penjahat, dan mereka penjahat yang terdidik. Tampak menonjol aksi dagelan serius (korupsi, silat kata, dan sandiwara)-nya dari hari ke hari. Banyak orang pintar yang menggunakan keterpelajarannya untuk mengakali kedudukan, kekuasaan, dan hukum demi meraih kesuksesan, pangkat, atau polularitas yang abai rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar