|
KITA tak bisa mengelak dari
satu fakta bahwa titik balik perubahan yang paling besar pada Reformasi 1998
adalah terbebasnya kita dari zaman represi— ketika kita tak bisa mengatakan apa
pun— memasuki zaman bebas berbicara. Sedemikian bebas: demokrasi menjadi
semacam episentrum.
Sebagai
episentrum, demokrasi membuat kita melakukan hal positif, tetapi juga
melantaskan hal negatif. Demokrasi jadi penegasan untuk kebenaran sekaligus
alibi, tempat bersembunyi.
Demokrasi
adalah sistem pemerintahan berbasis rakyat. Fakta teoretis ini tak selamanya
berjalan sesuai dengan praktiknya. Kuasa rakyat tak pernah dapat bermakna
sesuai dengan yang diharapkan sistem itu sendiri. Ia selalu berada dalam
bayang-bayang pemilik kuasa institusi negara dan terpolitisasi.
Dalam kasus
Indonesia saat ini, satu-satunya yang tersisa pada rakyat adalah bahasa.
Pelaksanaan demokrasi yang melenceng masih menyediakan ruang luas kepada rakyat
berbicara, berserikat. Di sinilah titik ideologi demokrasi dalam hidup
bernegara itu. Yang diidealkan di dalam demokrasi itu adalah bahasa.
Pengidealan
bahasa dalam demokrasi adalah pembebasan bahasa sebagai sistem, langue,
menjadi ekspresi keseharian, parole, yang memberi ruang ujaran individu
secara luar biasa. Ujaran- ujaran itu lalu saling terhubungkan dan menjadi
suatu wacana.
Kita tahu
kemudian, wacana yang berkembang dangkal, pada lapisan luar belaka. Demokrasi
menjadi sihir: menarik semua orang berbicara, berserikat. Di sini demokrasi
menemukan titik lincahnya sebab mampu melegitimasi segala yang bebas
seolah-olah bermakna positif.
Tiga faktor
Ada tiga faktor
yang membuat demokrasi kita bergulir cepat. Pertama, seperti dikatakan Mohammad
Hatta, ketika keluar dari represi yang demikian kuat, seseorang atau sekelompok
masyarakat akan melesat mencapai kebebasan itu, bahkan sampai pada titik liar.
Kita sedang menyaksikannya hari-hari ini.
Kedua, naluri
purba kita adalah berbicara. Semua manusia modern turunan tradisi lisan, tetapi
keterlambatan sejarah membuat kita melenggang perlahan- lahan, hanya
berputar-putar dalam tradisi leluhur itu. Kita sulit masuk ke ruang reflektif
dunia membaca dan menulis dalam pengertian modern. Cara membaca dan menulis
kita masih ”lisan”.
Situasi itu
gayung bersambut dengan demokrasi yang memberi keleluasaan berbicara. Jika
tradisi berbicara di masa lalu masih berhadapan dengan tabu tertentu, demokrasi
justru menggugurkan tabu itu. Kita memasuki situasi tuturan yang overdosis,
hiperoralitas,
Ketiga,
kemajuan teknologi informasi ternyata melebarkan ruang bagi berkembangnya
hiperoralitas. Jika radio dan TV menandai munculnya masyarakat lisan tingkat
kedua, kini kita berada pada kelisanan tingkat ketiga yang dimotivasi teknologi
komputer. Dalam masyarakat lisan tingkat kedua, khalayak cenderung pasif
mendengar atau menonton perbincangan di radio atau TV. Dalam masyarakat lisan
tingkat ketiga, khalayak terlibat aktif dan total berbincang.
Kelisanan
tingkat ketiga menandai berpindahnya secara masif situs masyarakat di kota-kota
besar: dari situs socious ke situs virtual. Terjadi bedol desa dari
masyarakat yang menetap di suatu ruang-waktu statis (sosiologis) yang cenderung
bertahan lama ke ruang-waktu dinamis yang liar dan amat sementara, hanya
dibatasi log in dan log out komputer.
Karena bersifat
sangat sementara, manusia virtual bergerak dalam kebercepatan, ketergesa-
gesaan. Dunia dalam kapasitas bytes itu kewalahan, tak mampu menata
segala soal yang dibawa para imigran sosiologis itu. Terjadilah berbagai
ketegangan, keliaran, dan kekacauan dalam segala ihwal hidup. Tak lagi kita
mampu membedakan mana yang terjadi di ruang sosiologis, mana yang hanya terjadi
di ruang virtual; mana berita, mana cerita; mana fakta, mana fiksi; dan mana
realitas, mana citra.
Dengan komputer
jejaring, terbentuklah masyarakat netokrat yang sementara, bahkan sporadis.
Masyarakat ini sangat reaktif sebab merupakan kumpulan individu yang reaktif meski
berpendidikan tinggi.
Masyarakat
netokrat dengan segala karakternya pada dasarnya adalah masyarakat bahasa. Di
dalam masyarakat bahasa, segala soal pindah menjadi perbincangan. Dalam
beberapa segi, ini positif sebab di sana terjadi diskusi, debat, dan uji
gagasan. Namun, dalam banyak hal sering karena- nya terjadi keriuhan yang
mengganggu tatanan di luar dirinya.
Di situlah
terjadi paradoks kebebasan berbahasa (demokrasi): semakin segala soal
dijelas-jelas- kan dalam bahasa, semakin ia jadi tersembunyi. Kini kita sedang
berada dalam kematian bahasa, yaitu bahasa yang terus-menerus diucapkan, tetapi
tidak memberi pesan substantif dalam hidup.
Pemimpin kreatif
Di Indonesia
penghuni masyarakat netokrat tak sebanyak penghuni masyarakat sosiologis,
tetapi sifatnya yang dinamis dan liar telah membuat mereka berdaya jelajah luar
biasa. Persoalan sekecil apa pun di dalam realitas sosiologis akan menggurita
ketika terdeteksi masyarakat netokrat. Ini lantas menggoyahkan atap kenegaraan
dan kebangsaan kita yang fondasinya sendiri memang rapuh.
Penyelesaian
masalah kenegaraan dan kebangsaan hari ini tak bisa mengabaikan fenomena
masyarakat netokrat itu. Masyarakat netokrat bisa menjadi ranah di mana
persoalan kebangsaan harus mulai dikelola dan diselesai- kan. Ranah kekacauan
wacana bisa jadi titik berangkat. Penyelesaiannya harus dimulai dengan kembali
menghidupkan bahasa.
Sejauh ini hal
itu diabaikan. Politisi, pejabat, dan kepala negara tak menyikapi fenomena itu
sebagai poin penting yang berpengaruh ke dalam keberlangsungan pembangunan
negara bangsa.
Di dalam teori
kreativitas, bahasa menduduki posisi amat penting. Bahasa adalah sumbu
kreativitas, dan kreativitas selalu berkorelasi dengan pemahaman mendalam
terhadap pengalaman masa lalu. Orang kreatif tidak pernah mengabaikan sejarah.
Dapat dipahami mengapa Soekarno menitipkan sejarah sebagai bagian penting yang
harus selalu diingat (jas merah).
Pemimpin negeri
ini di masa depan mestinya memiliki kecerdasan kreatif. Dengan kecerdasan itu,
ia akan mampu mengatakan hal yang berkaitan dengan realitas secara tepat,
menjelaskannya dengan mendalam, dan menerjemahkan dalam bahasa khalayak, bukan
bahasa dirinya sebagai Sang Penguasa.
Di dalam
kecerdasan kreatif yang berbasis pada bahasa, semua itu dijelmakan dalam bentuk
penciptaan metafora hidup, idiom baru yang segar, yang dengan itu khalayak
terinspirasi sekaligus terpesona. Dimasukkan ke dalam gaya kepemimpinan,
metafora baru yang dimaksud adalah gaya kepemimpinan yang elegan, tidak
kompromis tetapi berdaya lincah yang tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar