|
TAHUN
depan, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk mencari pemimpin
yang baru. Menjadi teka-teki bersama, di tengah partai politik yang justru
menjadi bagian dari masalah bangsa, akankah bisa dilahirkan seorang pemimpin
yang bisa menyelesaikan masalah?
Harus disadari, pemilu yang akan datang menjadi momentum bagi
bangsa kita untuk berlangsungnya perubahan kepemimpinan. Bukan hanya soal siapa
yang menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi yang jauh lebih penting
adalah bagaimana dalam pemilu yang akan datang menjadi momentum perubahan gaya
pendekatan strategi dan cara dalam menyelesaikan masalah.
Setidaknya ada empat prasyarat yang harus dimiliki seorang
calon pemimpin untuk menjadi katalis perubahan. Pertama, kemampuan mengenali
serta merumuskan masalah dan tantangan bangsa ke depan. Kedua, kemampuan
merumuskan visi Indonesia masa depan dalam beragam aspek. Ketiga, kemampuan
merumuskan strategi dan prioritas kebijakan. Keempat, kemampuan mengapitalisasi
berbagai sumber daya yang tersedia.
Namun, untuk memperoleh hal yang demikian tentu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Yang sering terjadi justru sebaliknya. Publik
seolah mulai terbiasa menelan sejumlah kekecewaan akibat jurang antara janji
dan realisasi para pemimpin mereka.
Masyarakat Indonesia sudah mengalami 15 tahun yang disebut
sebagai reformasi pemilu, mulai dari pilkada langsung hingga pemilu presiden
langsung. Namun, sulit dibantah bahwa pemilu-pemilu yang sudah dilalui teramat
sedikit yang bisa melahirkan pemimpin yang dapat memberikan harapan dan
perubahan. Dalam gambar atau potret yang lebih besar, kita melihat yang disebut
sebagai salah urus negara dan pemerintahan.
Tembok
penghalang
Sulit rasanya berharap akan kembali lahirnya
pemimpin-pemimpin bak Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Tjipto
Mangoenkoesoemo yang memang terpanggil dan terpilih melalui seleksi sejarah.
Mereka bukan pemimpin yang lahir dari polesan konsultan pemilu atau sejenisnya.
Tengok saja yang tengah terjadi saat ini. Ruang publik
dipenuhi berbagai jenis survei, mulai dari lembaga-lembaga survei yang cukup
kredibel sampai dengan lembaga survei antah-berantah. Para kandidat berupaya
dipoles berbeda antara depan kamera dan perilaku sebenarnya. Jadi, aktivitas
tersebut melulu berbicara angka dan publik kemudian seolah dipaksa untuk
mencari pilihan kita di antara orang-orang tertentu yang seolah sudah dianggap
sebagai representasi dari yang bisa kita pilih.
Dengan demikian, tidak heran kemudian banyak pemimpin yang
miskin gagasan. Hal itu karena mereka tidak tumbuh dari ladang persaingan
gagasan, konsep, dan ideologi.
Sudah sangat jarang kita dengar ketiadaan perdebatan secara
publik yang dibayangkan oleh begitu banyak calon pemimpin kita. Kita tidak
mendengar mimpi-mimpi mereka mengenai Indonesia 30 tahun yang akan datang,
mulai dari bidang ekonomi, penegakan hukum dan lain sebagainya.
Sekali lagi, yang kita bisa saksikan sekarang melalui survei
publik melulu soal popularitas, elektabilitas yang kadang-kadang semu. Itu
karena popularitas dan elektabilitas acap kali manipulatif dan bisa direkayasa
dengan uang atau kemampuan finansial.
Pemimpin yang bisa menyelesaikan masalah harus lahir dari
rahim yang sehat dan bersih. Karena mustahil beragam permasalahan bangsa akan
diselesaikan oleh para pemimpin yang sudah mengalami ”cacat bawaan” akibat
sejumlah skandal kecurangan pemilu.
Partai politik patut yang paling utama dipersalahkan akibat
kerusakan sistem dan sulitnya orang baik dan jujur lahir sebagai pemimpin di
negeri ini. Hal ini disadari sebagai konsekuensi logis akibat menguatnya partai
politik dan parlemen pascareformasi. Partai politik dan parlemen hampir menjadi
satu-satunya kanal menjaring beragam lini jabatan publik di Republik ini, mulai
dari lingkungan eksekutif hingga legislatif. Bahkan seorang hakim agung pun di
negara ini dipilih anggota DPR. Bisa dibayangkan yang akan terjadi, seorang
”wakil Tuhan” diseleksi para politisi.
Aturan yang membiarkan partai politik yang tengah mengalami
krisis kepercayaan publik sebagai satu-satunya institusi penentu dalam seleksi
pemimpin barangkali sudah waktunya dikoreksi. Ketika kinerja partai politik
lebih merupakan problem ketimbang solusi, diperlukan keterlibatan institusi di
luar partai politik dalam seleksi kepemimpinan dan pejabat publik.
Skema pemilu kita itu memang sama sekali tidak menjanjikan
munculnya wakil ataupun pemimpin yang kita dambakan. Kondisi ini semakin
diperparah dengan munculnya oligarki di elite partai politik itu sendiri.
Partai politik tidak lagi menjadi ”rumah berdemokrasi” bagi anggotanya, tetapi
sudah dijalankan seperti perusahaan yang memburu keuntungan finansial.
Maka, di tengah rimba belantara demokrasi yang dikendalikan
sepenuhnya oleh partai politik, tentu akan sulit lahir pemimpin-pemimpin baru
yang bisa menyelesaikan permasalahan bangsa. Pemimpin bersih tidak akan lahir
dari kontestasi yang dibangun dengan fondasi kekuatan uang. Orang jujur dan
bersih akan tersingkir, sementara orang ”kotor” akan berkuasa dan membuat
mereka semakin kaya.
Pilihan
alternatif
Bercerita soal partai politik dan para penguasa saat ini
sering kali menghadirkan keputusasaan untuk memperbaiki negeri ini. Namun,
sikap apatis tentu harus dihindari karena sering kali tidak menghasilkan
solusi.
Menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, di tengah waktu
yang semakin singkat menjelang pemilu tahun mendatang, akankah Ibu Pertiwi
masih bisa melahirkan seorang pemimpin yang sesuai dengan harapan publik?
Dengan kompleksnya persoalan yang melanda, tentu akan sulit
untuk menciptakan secara instan para calon pemimpin yang menyelesaikan
sengkarut bangsa. Butuh perbaikan secara total, khususnya dalam internal partai
politik.
Namun, sebagai pilihan alternatif sebagai salah satu sumber
kepemimpinan yang potensial adalah kepala-kepala daerah yang dinilai berhasil
dan memiliki rekam jejak yang baik. Bupati dan wali kota yang berhasil tentu
potensial menjadi gubernur. Begitu pula gubernur yang berhasil bisa memperoleh
kesempatan yang terbuka menjadi seorang presiden. Namun, ada jalan terjal yang
harus dilalui para calon pemimpin yang sudah berhasil di daerahnya
masing-masing untuk tampil di puncak kekuasaan pemerintahan. Rintangan tersebut
sekali lagi justru datang dari internal partai politik mereka sendiri.
Mereka harus mendapat restu sang penguasa partai di tengah
oligarki partai politik yang sudah terbentuk. Jika tidak mendapat restu,
kelahiran pemimpin baru tidak akan pernah terjadi karena mereka berada pada
jalan buntu demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar