|
Pada akhir bulan lalu, sebuah konferensi internasional yang
diselenggarakan bersama antara beberapa perguruan tinggi di Indonesia, digelar
selama tiga hari di Surabaya dengan sukses. Selain Universitas 17 Agustus 1945
(Untag) Surabaya, konferensi juga diprakarsai Universitas Khon Kaen Thailand
dan Yayasan Damandiri serta pemerintah daerah Surabaya. Sekitar 400 peserta
termasuk para tokoh dari berbagai negara hadir dalam konferensi itu, antara
lain dari Afrika Selatan serta beberapa negara di Afrika, Asia, Australia dan
Selandia Baru. Para tokoh peserta asing membawakan makalah yang sangat berharga
dan menantang.
Persoalan praktis di lapangan telah disajikan secara ilmiah
dilandasi dengan ilmu pengetahuan pemerintahan yang mutakhir dan diuji dengan
cermat melalui metodologi penelitian yang rumit oleh para guru besar yang
membebaskan diri dari bias partai atau bias politik apa pun. Para ahli
pemerintahan, dosen dan guru besar dari Indonesia pun tidak mau ketinggalan
ikut memanfaatkan forum yang sangat menguntungkan tersebut.
Sangat disayangkan, para bupati dan walikota dari Indonesia
yang setiap lima tahun ikut ambil bagian, khususnya untuk membahas sistem
demokrasi yang sedang marak, banyak yang tidak hadir. Begitu juga para anggota
DPR atau DPRD yang banyak bermain politik praktis hampir tidak diwakili dalam
konferensi internasional ini.
Pihak panitia sendiri, konon,
sudah menyebarluaskan informasi penyelenggaraan
konferensi internasional ini melalui internet secara luas. Tetapi, anehnya,
sementara peserta luar negeri melimpah, peserta dari tanah air sendiri justru
tergolong minim. Tampaknya sistem informasi internet belum menjamin kesertaan
yang tinggi dari kalangan eksekutif dan legislatif yang sibuk dengan sidang
yang tidak ada putusnya.
Prof Dr drg Hj Ida Ayu Brahmasari, Dipl, DHE, MPA, Rektor
Untag Surabaya, biarpun sangat charming sebagai host pertemuan itu tidak habis
pikir kenapa para praktikus yang suaranya lantang tidak punya minat pada
konferensi internasional tentang The Role
of Local Government on Blue Economy, yang temanya sedang hangat di dunia.
Diduga pembicaraan tentang blue economy
belum sampai ke meja DPR atau DPRD, padahal di beberapa negara maju lainnya
telah merambah kepada upaya penyempurnaan pendekatan ekonomi hijau (green economy). Mereka menahan kemajuan
negara berkembang ke arah blue economy yang lebih akrab dengan lingkungan
sekitar, sumber daya dan kearifan lokal yang dinamis atau dikembangkan secara
bertahap tanpa meninggalkan sisa.
Persoalan dunia dengan sistem yang berbeda-beda membuat
pemerintahan lokal seperti di Australia mempunyai pula daerah terpencil yang
tidak maju dan harus dikembangkan secara cepat untuk mencegah disintegrasi
bangsanya atau minimal untuk mencegah gejolak yang membuat bangsa yang maju itu
mendapat cercaan dunia sebagai bangsa yang tidak adil. Metode yang
diterapkannya mirip dan dapat menjadi perbandingan dari upaya untuk
mengembangkan daerah-daerah tertinggal dengan upaya pengentasan kemiskinan
melalui upaya pemberdayaan secara besar-besaran.
Upaya pemeliharaan daerah tertinggal, daerah terpencil
dengan menjadikannya 'proyek tahunan' dengan anggaran melimpah sudah tidak
cocok lagi dan akan menjadi bahan kritik dan dugaan korupsi yang merugikan
negara tanpa ada hasilnya untuk masyarakat di daerah tertinggal. Kaum
intelektual dari daerah itu, biarpun sedikit jumlahnya, mulai sadar bahwa manipulasi
terhadap milik rakyat dirasakan sudah tidak cocok lagi dengan hati nurani
keterbukaan yang merugikan anak bangsanya.
Para ahli merasa kagum bahwa observasi terhadap peran local
government di Indonesia yang meningkat dari sekitar pelaksana kebijakan dan
program yang dirancang oleh pemerintah pusat menjadi pemrakarsa inovasi dan
kreativitas lokal sungguh suatu tantangan yang tidak kecil. Budaya menunggu
perintah dan petunjuk teknis menjadi budaya kreatif inovatif yang sanggup
menggali segala sesuatu yang masih terpendam di suatu daerah sungguh memerlukan
budaya gerakan secara dinamis. Gerakan ini yang kadang menjadi lamban karena
aturan keterbukaan, akuntabilitas yang kaku dan tidak merangsang gerakan
dinamis menjadikan kemajuan budaya dinamis itu relatif lamban dan hanya
dilakukan secara berani oleh pejabat yang memang bisa mengembangkan diri secara
terbuka dengan inovasi cemerlang yang menguntungkan rakyat banyak dan menambah
pendapatan daerah dengan baik.
Kemampuan pemerintah daerah mengembangkan inovasi dalam
pembangunan bidang sosial ekonomi, seperti pengembangan posdaya sebagai forum
tingkat desa menarik banyak minat peserta luar negeri. Posdaya ini dinilai
pantas disebarluaskan sebagai alternatif keterbukaan dalam pengembangan inovasi
dengan penggunaan teknologi dan sumber daya alam maupun sumber daya lokal yang
sangat cocok dengan pengembangan ekonomi biru di daerah pedesaan oleh orang
desa dan dengan bahan baku yang melimpah di desanya.
Pikiran-pikiran untuk kembali ke laut dan mengembangkan
kearifan lokal dan penggunaan sumber daya di daerah pantai memberi harapan
tinggi bagi pengembangan ekonomi biru masa depan. Untuk itu, diperlukan
dukungan yang memadai untuk kearifan dan kemampuan menggunakan teknologi
sederhana di daerah pedesaan. Dalam hal ini, rasa persatuan dan semangat
kebersamaan yang tulus untuk melestarikan terumbu karang dan lingkungan pantai
yang ramah di pantai, amat penting. Bahwasanya pantai perlu dikelola secara
harmonis dengan senantiasa memperhatikan keseimbangan antara kekayaan laut,
manusia, dan lingkungannya agar saling menguntungkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar