Rabu, 16 Oktober 2013

Pemda dan Ekonomi Biru

Pemda dan Ekonomi Biru
Haryono Suyono  Ketua Yayasan Damandiri
SUARA KARYA, 14 Oktober 2013


Pada akhir bulan lalu, sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan bersama antara beberapa perguruan tinggi di Indonesia, digelar selama tiga hari di Surabaya dengan sukses. Selain Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, konferensi juga diprakarsai Universitas Khon Kaen Thailand dan Yayasan Damandiri serta pemerintah daerah Surabaya. Sekitar 400 peserta termasuk para tokoh dari berbagai negara hadir dalam konferensi itu, antara lain dari Afrika Selatan serta beberapa negara di Afrika, Asia, Australia dan Selandia Baru. Para tokoh peserta asing membawakan makalah yang sangat berharga dan menantang.

Persoalan praktis di lapangan telah disajikan secara ilmiah dilandasi dengan ilmu pengetahuan pemerintahan yang mutakhir dan diuji dengan cermat melalui metodologi penelitian yang rumit oleh para guru besar yang membebaskan diri dari bias partai atau bias politik apa pun. Para ahli pemerintahan, dosen dan guru besar dari Indonesia pun tidak mau ketinggalan ikut memanfaatkan forum yang sangat menguntungkan tersebut.

Sangat disayangkan, para bupati dan walikota dari Indonesia yang setiap lima tahun ikut ambil bagian, khususnya untuk membahas sistem demokrasi yang sedang marak, banyak yang tidak hadir. Begitu juga para anggota DPR atau DPRD yang banyak bermain politik praktis hampir tidak diwakili dalam konferensi internasional ini.

Pihak panitia sendiri, konon, sudah menyebarluaskan informasi penyelenggaraan konferensi internasional ini melalui internet secara luas. Tetapi, anehnya, sementara peserta luar negeri melimpah, peserta dari tanah air sendiri justru tergolong minim. Tampaknya sistem informasi internet belum menjamin kesertaan yang tinggi dari kalangan eksekutif dan legislatif yang sibuk dengan sidang yang tidak ada putusnya.

Prof Dr drg Hj Ida Ayu Brahmasari, Dipl, DHE, MPA, Rektor Untag Surabaya, biarpun sangat charming sebagai host pertemuan itu tidak habis pikir kenapa para praktikus yang suaranya lantang tidak punya minat pada konferensi internasional tentang The Role of Local Government on Blue Economy, yang temanya sedang hangat di dunia. Diduga pembicaraan tentang blue economy belum sampai ke meja DPR atau DPRD, padahal di beberapa negara maju lainnya telah merambah kepada upaya penyempurnaan pendekatan ekonomi hijau (green economy). Mereka menahan kemajuan negara berkembang ke arah blue economy yang lebih akrab dengan lingkungan sekitar, sumber daya dan kearifan lokal yang dinamis atau dikembangkan secara bertahap tanpa meninggalkan sisa.

Persoalan dunia dengan sistem yang berbeda-beda membuat pemerintahan lokal seperti di Australia mempunyai pula daerah terpencil yang tidak maju dan harus dikembangkan secara cepat untuk mencegah disintegrasi bangsanya atau minimal untuk mencegah gejolak yang membuat bangsa yang maju itu mendapat cercaan dunia sebagai bangsa yang tidak adil. Metode yang diterapkannya mirip dan dapat menjadi perbandingan dari upaya untuk mengembangkan daerah-daerah tertinggal dengan upaya pengentasan kemiskinan melalui upaya pemberdayaan secara besar-besaran.

Upaya pemeliharaan daerah tertinggal, daerah terpencil dengan menjadikannya 'proyek tahunan' dengan anggaran melimpah sudah tidak cocok lagi dan akan menjadi bahan kritik dan dugaan korupsi yang merugikan negara tanpa ada hasilnya untuk masyarakat di daerah tertinggal. Kaum intelektual dari daerah itu, biarpun sedikit jumlahnya, mulai sadar bahwa manipulasi terhadap milik rakyat dirasakan sudah tidak cocok lagi dengan hati nurani keterbukaan yang merugikan anak bangsanya.

Para ahli merasa kagum bahwa observasi terhadap peran local government di Indonesia yang meningkat dari sekitar pelaksana kebijakan dan program yang dirancang oleh pemerintah pusat menjadi pemrakarsa inovasi dan kreativitas lokal sungguh suatu tantangan yang tidak kecil. Budaya menunggu perintah dan petunjuk teknis menjadi budaya kreatif inovatif yang sanggup menggali segala sesuatu yang masih terpendam di suatu daerah sungguh memerlukan budaya gerakan secara dinamis. Gerakan ini yang kadang menjadi lamban karena aturan keterbukaan, akuntabilitas yang kaku dan tidak merangsang gerakan dinamis menjadikan kemajuan budaya dinamis itu relatif lamban dan hanya dilakukan secara berani oleh pejabat yang memang bisa mengembangkan diri secara terbuka dengan inovasi cemerlang yang menguntungkan rakyat banyak dan menambah pendapatan daerah dengan baik.

Kemampuan pemerintah daerah mengembangkan inovasi dalam pembangunan bidang sosial ekonomi, seperti pengembangan posdaya sebagai forum tingkat desa menarik banyak minat peserta luar negeri. Posdaya ini dinilai pantas disebarluaskan sebagai alternatif keterbukaan dalam pengembangan inovasi dengan penggunaan teknologi dan sumber daya alam maupun sumber daya lokal yang sangat cocok dengan pengembangan ekonomi biru di daerah pedesaan oleh orang desa dan dengan bahan baku yang melimpah di desanya.


Pikiran-pikiran untuk kembali ke laut dan mengembangkan kearifan lokal dan penggunaan sumber daya di daerah pantai memberi harapan tinggi bagi pengembangan ekonomi biru masa depan. Untuk itu, diperlukan dukungan yang memadai untuk kearifan dan kemampuan menggunakan teknologi sederhana di daerah pedesaan. Dalam hal ini, rasa persatuan dan semangat kebersamaan yang tulus untuk melestarikan terumbu karang dan lingkungan pantai yang ramah di pantai, amat penting. Bahwasanya pantai perlu dikelola secara harmonis dengan senantiasa memperhatikan keseimbangan antara kekayaan laut, manusia, dan lingkungannya agar saling menguntungkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar