Rabu, 16 Oktober 2013

Modal Sosial dalam Berpolitik

Modal Sosial dalam Berpolitik
Purbayu Budi Santosa  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip,
Dosen Ekonomi Kelembagaan, Anggota Tim Seleksi Anggota KPU
SUARA MERDEKA, 14 Oktober 2013


“Tiap warga perlu visi nasionalisme demi kemajuan negara, yang kini tengah dilanda krisis moral dan etika”

MODAL sosial menjadi jargon penting untuk menuju kemajuan, setelah sebelumnya ilmuwan lebih terfokus pada modal dalam pengertian aset, baik fisik maupun kapasitas pengembangan SDM. Kemajuan masyarakat yang salah satunya bisa dicapai melalui ranah politik memerlukan modal sosial.

Pada zaman Orde Baru, dengan corak pemerintahan yang sentralistik dan otoritarian, semua keputusan bersifat tangan besi dengan dominasi pihak eksekutif. Tingkat kepercayaan sebagai unsur penting dalam modal sosial, terasa dipaksakan menurut kehendak penguasa. Anggota masyarakat kurang dapat berkreasi di luar pranata berdasarkan standar yang begitu kaku.

Prahara politik terjadi karena tuntutan kebebasan berdasarkan kepentingan desentralisasi dan otonomi daerah, yang kemudian disebut reformasi. Alih-alih mendapat kemajuan, kita bisa melihat demokrasi substantif belum juga terwujud. Ditambah kemunculan banyak raja kecil di daerah dengan korupsi yang menjadi-jadi, termasuk kebebasan masyarakat yang sering kebablasan dan menipisnya rasa kepercayaan di antara lapisan masyarakat.

Belajar dari pihak lain, kemajuan ekonomi di banyak negara maju dapat memunculkan tingkat kepercayaan tinggi dalam masyarakat. Lewat novel Ranah Tiga Warna, A Fuadi menceritakan bagaimana kesejahteraan muncul pada masyarakat Kanada, termasuk di beberapa daerah terbawah. Ia menuliskan di Quebec tidak ada rumah dikunci tapi tidak ada cerita orang kemalingan.

Kalau kesejahteraan rakyat merata karena orang bisa bekerja dan institusi hukum bekerja secara berkeadilan maka tingkat kriminalitas pun rendah. Yang lebih menarik lagi di Quebec, karena warga berbahasa Prancis maka sebagian ingin memisahkan diri dari Kanada. Pemungutan suara menghasilkan kemenangan pada pihak yang tetap ingin bersatu, kendati dengan perbedaan suara sangat tipis, sekitar 1%.

Faktanya, kelompok masyarakat yang kalah dapat menerima hasil itu, sementara yang menang tidak sombong. Kedua kubu bahkan saling menghormati dan yang sangat penting tingkat kepercayaan kepada panita pemungutan suara sangat tinggi. Memang tidak semua yang datang dari pihak lain, termasuk Barat, itu baik. Namun kita disarankan belajar kepada pihak lain yang unggul.

Kasus lain, di berbagai negara maju politik uang dapat ditekan serendah-rendahnya dan semua itu berdampak pada kredibilitas seseorang, termasuk politikus. Seorang teman yang menuntut ilmu di Jerman menuturkan bagaimana ilmuwan sangat berpengaruh di dalam masyarakat, dan kita tahu mantan presiden BJ Habibie pun pernah menuntut ilmu di negara itu.

Kita juga bisa melihat Angela Merkel, wanita yang bisa melepaskan Jerman dari jerat krisis. Kendati demikian, begitu sang suami yang guru besar berpendapat tentang sesuatu hal, ia tak menentang. Dalihnya, ilmu­wan pada umumnya berkait dengan kejujuran akade­mis, yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi.

Di negara kita, popularitas ilmuwan tidaklah se­tinggi di negara maju, kendati secara umum terjaga dengan baik. Masih banyak ilmuwan Indonesia yang tetap komit pada aras ilmu yang bertumpu pada kebenaran dan kesejahteraan masyarakat. Di tengah beban hidup sehari-hari yang sekarang kondisinya lebih baik (khususnya dosen yang bersertifikat), masih banyak yang menjadikan integritas, objektivitas, dan kejujuran ilmiah sebagai roh dalam beraktivitas.

Semangat Kebersamaan

Banyak ilmuwan berpendapat tingkat kemajuan di Indonesia dan juga di daerah belum begitu kentara karena kurang memasukkan modal sosial dalam tiap kebijakan. Seperti halnya kajian ilmu sosial, penger­tian modal sosial pun beragam. Modal sosial pada dasarnya mengerucut pada tiga indikator, yaitu rasa percaya, norma, dan jaringan kerja (Nyoman Utari Vipriyanti, 2011).

Rasa percaya antargolongan masyarakat memudahkan kerja sama. Makin tebal rasa percaya pada orang lain, makin kuat jalinan kerja sama itu. Bila selama ini kancah politik masih fokus pada bagaimana memenangkan kelompoknya lewat berbagai cara, keadaan ini kontradiktif bagi kemajuan. Bahkan, dalam jangka panjang bisa mencerai-beraikan negara.

Adapun norma pada dasarnya nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam masyarakat/kelompok. Sebaliknya Plateu (2000) menawarkan pengertian sebagai aturan yang menentukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu. Itu juga dipahami sebagai prinsip keadilan  mengarahkan pelaku untuk tidak mementingkan diri. Visi nasionalisme tiap warga negara diperlukan demi kemajuan negara, yang tengah dilanda krisis moral dan etika.

Jaringan kerja menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal antarmanusia dan hubungan inter dan intraasosiasi. Kita memerlukan silaturahmi antarkelompok yang beragam supaya bisa menghilangkan rasa curiga, tidak percaya, dan menghidari kebohongan. Termasuk kembali mengingatkan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang mulai meluntur dalam kancah pergaulan masyarakat.


Semua itu mensyaratkan untuk menghilangkan semua dusta. Kemajuan pembangunan bisa berjalan bila mengadopsi modal sosial, yang tidak lain adalah jargon gotong royong yang dulu begitu penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar