Rabu, 23 Oktober 2013

Pancasila sebagai Habitus Bangsa

Pancasila sebagai Habitus Bangsa
Benny Susetyo  ;   Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI)
SINAR HARAPAN, 19 Oktober 2013



Pancasila hendaknya dijadikan habitus (gugus insting yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak) bangsa untuk mengatasi kekerasan, intoleransi, dan radikalisme. Fakta bahwa intoleransi masih terjadi dan lingkaran balas dendam yang dimulai dari paham-paham yang memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan dibiarkan terus berkembang tanpa ada upaya untuk menegakkan hukum. Inilah yang menciptakan keretakan hidup berbangsa dan bernegara.

SETARA Institute mencatat tahun 2012 terjadi sekitar 315 kasus intoleransi termasuk intimidasi, pelarangan aktivitas keagamaan dan penolakan mendirikan tempat ibadah. Tugas pemerintah untuk merawat roh Bineka Tunggal Ika supaya menjadi sebuah habitus masyarakat. Ironisnya, pemerintah masih lemah, bahkan tidak ada kemauan untuk menengakkan hukum.

Intoleransi terjadi akibat ketidakmauan pemerintah menegakkan hukum yang tidak pandang bulu serta diskriminatif. Demikian pernyataan saya saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Menggali nilai-nilai Pancasila, menegakkan keadilan, memperkokoh kesatuan, dan persatuan bangsa”, yang diadakan di Bali, 5-8 Oktober 2013. Acara itu digelar oleh Komisi HAK KWI, yang dihadiri 33 peserta dari sejumlah keuskupan agung dan keuskupan di Tanah Air.

Pembaruan makna atau penafsiran Pancasila harus dihidupkan. Multikultural harus menjadi sebuah kebijakan berbangsa dan bernegara yang mendorong dialog untuk mencari titik temu.

Peran Komunitas Basis Gereja (KBG) yang diharapkan menjadi ujung tombak untuk mengadakan dialog di tingkat akar rumput ternyata berhenti pada komunitas basis ritual akibatnya gerakan mandek.

Gereja harus mengubah gaya pastoralnya. Kita harus merebut ruang, membangun jejaring dengan komunitas kaum muda, berdialog lintas agama dan menjadikan Pancasila lebih ke praksis yang membumi.

Dialog antaragama hendaknya diarahkan pada tataran aksi, yakni terkait masalah-masalah kehidupan kemanusiaan, dan keadilan. Nilai-nilai Pancasila hendaknya menjadi aktualisasi ajaran Gereja. 

Pastor BS Mardiatmadja SJ mengatakan Pancasila itu merupakan cara untuk mengungkapkan GS (Kegembiraan dan Harapan), salah satu dokumen Konsili Vatikan II. “Bagi saya, Pancasila adalah suatu cara mengungkapkan GS dalam lingkungan Indonesia,” kata Romo Mardi. 

Menurutnya, kalau 37 keuskupan di Indonesia semua memperjuangkan Pancasila dengan serius termasuk melalui orang muda, “Saya rasa Pancasila bisa kita bangkitkan sebagai milik bersama kita.”

“Kita tetap mengajarkan yang katanya disebut pelajaran agama Katolik tetapi isinya adalah intisari GS, karena dalam GS banyak prinsip Pancasila yang muncul,” ujar Romo Mardi, yang juga dosen STF Driyarkara Jakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar