|
Bangunan
dinasti baru (lebih tepat “neo-dinasti”) yang dipertontonkan rezim pemerintahan
di Provinsi Banten, tampaknya menyadarkan warga bangsa ini tentang kerusakan
pengelolaan pemerintahan kita di era Reformasi ini.
Presiden
SBY kemudian angkat bicara terkait penyimpangan serius akibat kebijakan,
kelakuan, dan ulah “raja-raja baru” di daerah itu, dengan menegaskan “berbahaya
bila kekuasaan politik menyatu dengan kekuasaan bisnis”.
Tetapi
sungguh ironis respons dari beberapa elite parpol yang melakukan pembelaan
terhadap eksistensi dinasti di daerah itu. Elite Partai Golkar, misalnya,
menunjukkan reaksi resisten-ofensifnya, bukan saja menyatakan membela keluarga
Ratu Atut Chosyiah.
Bahkan,
sebagian menganggap “tidak ada politik dinasti karena rekruitmennya terbuka
atau dipilih oleh publik”, melainkan juga menyerang balik Presiden SBY karena
dianggap mempraktikkan politik dinasti di samping melakukan “intrik menyerang“
partai penguasa di era Orde Baru itu.
Reaksi
Partai Golkar itu sementara ini tentu bisa dipahami. Pertama, Ratu Atut dan
jajaran keluarganya yang berada dalam dinasti itu adalah kader Golkar. Bahkan,
Provinsi Banten bagian dari lumbung suara Golkar di Pulau Jawa.
Adik
Atut, Tubagus Chaeri Wardana, tersangka suap untuk memenangkan gugatan pasangan
cabub/cawabub Kabupaten Lebak di MK, juga diusung oleh Partai Golkar, yang
sekaligus mememangkan gugatan itu adalah Akil Mochtar, kader Golkar yang kini
juga menghuni ruang tahanan KPK—tempat kemenangan itu patut dicurigai sebagai
bagian dari “keampuhan suap dan semangat separpol”.
Tepatnya,
pihak Golkar merasa aib politiknya “ditelanjangi” di hadapan publik sehingga
harus bereaksi membela diri dan kader-kadernya yang sedang pesakitan itu.
Namun, jangan salah, sikap frontal “membela kejahatan” seperti itu bukan melulu
kerugian bagi Golkar.
Bahkan,
justru bisa meraup keuntungan politik tersendiri, karena boleh jadi akan
memperoleh back-up kuat dari penguasa lokal yang berjaya dengan sistem
dinastinya–terutama dalam menghadapi Pemilu 2014.
Kedua,
dan hal ini tampaknya yang menjadikan pihak Golkar merasa kesal, adalah karena
posisi SBY yang barangkali dianggap “tidak pas” mempersoalkan dinasti politik.
Soalnya,
di era kepemimpinan Partai Demokrat inilah terdapat bangunan dinasti yang
semakin kokoh di tengah gerakan pemberantasan korupsi yang memperoleh dukungan
masyarakat luas, bukan saja di daerah melainkan juga di tingkat nasional.
Presiden
SBY bukan saja tidak tampak upaya seriusnya untuk mencegah atau menghentikan
politik dinasti, melainkan justru mempraktikkan dalam lingkungan parpolnya sendiri.
Bahkan lebih dari itu, sejumlah kader parpol dan pejabatnya pun terbukti korup,
padahal salah satu tema kampanye politiknya ialah “antikorupsi”.
Maka,
ketika SBY menyoroti bahaya dinasti dan korupsi di daerah, pihak Golkar dan
barangkali juga sebagian masyarakat, dianggapnya mengada-ada atau “hanya bicara
untuk pencitraan politiknya”, apalagi terkesan menyerang parpol yang “sedang
apes” itu.
Topangan
Kuat
Persepsi
dan perseteruan politik seperti itu, tentu saja tak boleh kemudian terus
menjustifikasi praktik dinasti. Justru semakin menyadarkan kita tentang adanya
kekuatan politik elite yang terus membela, memanfaatkan, dan berjaya di atas
bangunan politik dinastik.
Bagi
Presiden SBY, jika memang memiliki agenda konkrit untuk membongkar dan
meniadakan politik dinasti, termasuk memulainya dari dalam parpol sendiri, tak
boleh mundur dengan serangan segelintir politikus itu, kecuali mereka yang
sudah jadi penikmat politik dinasti. Umumnya warga akan memberikan topangan
kuat untuk segera menghentikannya. Mengapa?
Pertama,
politik dinasti adalah pelanggaran substansi reformasi. Sistem dan bangunan
politik dinasti sudah pasti berintikan “nepotisme”, suatu praktik yang
mengutamakan unsur keluarga dalam masuk mengisi formasi politik dan
pemerintahan.
Kalau
gerakan reformasi yang dilakukan dengan berdarah-darah itu antara lain untuk
meniadakan politik nepotisme, maka mereka-mereka yang mempraktikkan dan atau
membiarkan politik dinasti sama halnya dengan mengkhianati para pejuang dengan
segala pengorbanannya itu.
Kedua,
politik dinasti niscaya akan menyuburkan praktik korupsi. Mudah sekali
menyalahgunakan kekuasaan untuk menggerus uang negara/rakyat dalam bangunan
politik dinasti. Semua pejabat sekaligus pengendali proyek di instansinya akan
bekerja berdasarkan pesanan atau titipan atasan, termasuk di dalamnya terkait
pemenangan tender proyek.
Proses
tender akan dilewati sebagai formalitas belaka, karena “semuanya sudah diatur”.
Bahkan, sejak perencanaan suatu proyek sudah ditentukan perusahaan pemenangnya
dari lingkar keluarga atau klien politik pejabat. Dari semua itulah Sang Kepala
Daerah dan keluarganya “panen besar” sepanjang tahun.
Ketiga,
merusak profesionalisme birokrasi. Sekarang ini banyak jabatan strategis
(seperti eselon, pengatur kepegawaian, dan pimpinan proyek) diisi barisan
keluarga, kerabat, dan pendukung politik Sang Kepala Daerah. Itu hanyalah
stempel formal, di mana orang-orangnya berada di bawah kendali sang penguasa.
Dimensi
meritokrasi nyaris tak diperhitungkan, sehingga banyak orang tak peduli dengan
prestasi berdasarkan profesi dalam bingkai aturan, yang terpenting dan sangat
menentukan karier mereka ialah “kedekatan dan atau perasaan senang” dari Sang
Penguasa.
Maklum,
yang dilayani birokrasi adalah penguasa. Jika tidak, akan sulit memperoleh jabatan.
Padahal melalui jabatan bisa memperoleh tambahan pendapatan, dan menikmati
korupsi di bawah koordinasi kepentingan Sang Pimpinan Daerah.
Keempat,
menghalangi atau bahkan mematikan peluang karier generasi potensial. Setidaknya
ruang untuk kader-kader di luar keluarga dan kerabat pejabat akan sangat
terbatas, apalagi tak memiliki kemampuan materi memadai.
Kepala
Daerah dengan kekuatan birokrasi, politik, dan finansialnya sudah pasti akan
all out mendukung figur-figur yang dipromosikan dari pihak keluarga.
Maka
tak heran jika sejumlah keluarga pejabat mengisi kursi di DPR, DPD, DPRD (di
mana fakta barisan caleg dari unsur keluarga itu kembali muncul dalam
menghadapi pemilu 2014), demikian juga banyaknya jabatan kepala daerah dari
unsur pertalian darah seperti yang dipertontonkan di Banten.
Persoalannya,
memang tak dilarang dalam konstitusi untuk “memberuntungkan
keluarganya”. Hal itu dianggap bagian dari hak asasi manusia. Inilah yang
harus dibuatkan regulasinya, yang bisa dijadikan salah satu substansi materi
dalam revisi UU Nomor 32/2004 yang kini masih dibahas di DPR. Yang harus
diingatkan juga ialah kata orang bijak, “Siapa
saja yang terlalu mengedepankan hak asasi, pada saat bersamaan sebenarnya sudah
mempertontonkan ketamakannya”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar