|
Putri
tercinta saya akan berulang tahun yang ke-12 minggu depan. Ditilik dari fisik,
dia memang jauh lebih kecil dibanding teman seusianya. Bertemu dengan
teman-temannya, saya dan suami sadar bahwa perkembangan fisik dan penampilan
anak sekarang berbeda dibandingkan kami seusia mereka dulu.
Ketika
beberapa bulan sebelumnya diminta menghadiri acara wisuda sekolah dasar
tempatnya bersekolah, kami terkesima melihat penampilan “remaja” sekarang di
atas panggung. Dengan kostum bebas dan usapan make-up tipis di wajah, mereka bergaya bak orang
dewasa. Dengan polesan apa pun, bagi kami, anak tetaplah anak. Di usianya
yang meremaja, anak tetap mesti diperlakukan khusus, sejalan dengan Konvensi
Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang menegaskan pada seseorang
berusia di bawah 18 tahun, melekat hak khusus sebagai anak.
Saya
lalu teringat Wilfrida Soik, perempuan asal Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT)
yang tengah terancam hukuman mati oleh Mahkamah Tinggi Kota Bharu, Kelantan,
Malaysia. Ia adalah seorang di antara 300-an tenaga kerja Indonesia (TKI) yang
sedang terancam hukuman mati di Malaysia.
Senin,
30 September lalu yang mulanya menjadi sidang terakhir sebelum hakim memutus
perkara, akhirnya ditunda hingga 17 November mendatang, sebagai respons
permintaan waktu dari tim pengacara Wilfrida untuk mengajukan bukti baru.
Saya
sungguh berharap bukti baru yang diajukan mengarahkan juga bahwa Wilfrida
adalah korban perdagangan manusia (human
trafficking). Itu karena dari unsur “proses” dan “tujuan”, kasusnya
memenuhi kategori anak sebagai korban perdagangan manusia.
Protokol
Palermo yang merupakan instrumen fundamental, tidak hanya menegaskan unsur
“proses” (seperti perekrutan, penampungan, pemindahan, atau penerimaan
seseorang), “cara” (seperti ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, pemalsuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan), dan “tujuan” (eksploitasi atau
mengakibatkan tereksploitasi) sebagai syarat kasus dikategorikan perdagangan
manusia, tetapi lebih jauh menekankan perlindungan khusus bagi anak (seseorang
berusia di bawah 18 tahun) sebagai korban.
Setidaknya
terdapat dua hal. Pertama, dalam kasus anak, unsur “cara” tidak diperhitungkan.
Artinya, bila memenuhi unsur “proses” dan “tujuan”, cukuplah sebuah kasus
dikategorikan perdagangan manusia. Kedua, persetujuan dari anak sebagai korban,
harus diabaikan.
Dimensi
lain Protokol menyatakan, korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa
oleh pelaku perdagangan manusia, tidak dipidana.
Mari
telaah kasus Wilfrida. Melalui sponsor di Kupang, anak perempuan dari keluarga
miskin ini diterbangkan ke Jakarta, hingga diberangkatkan ke Malaysia, 23
Oktober 2010. Meski berusia 17 tahun, oleh agen, usianya dipalsukan sehingga di
paspor tertera 21 tahun, guna memenuhi syarat menjadi TKI penata laksana rumah
tangga (PLRT). Ironisnya, ketika itu moratorium TKI-PLRT ke Malaysia sedang
berlangsung (mulai Juli 2009).
Sejak
itu, Wilfrida dieksploitasi. Ia diterima Agensi Perekrut (AP) Master Sdn Bhd,
kemudian dipekerjakan keluarga Yeoh Meng Tatt Albert (28 Oktober-24 November
2010). Dengan alasan tak nyaman, Yeoh “mengembalikan” Wilfrida ke AP Master Sdn
Bhd.
Kemudian
Wilfrida dipekerjakan pada keluarga Lee Lai Wing, anak Yeap Seok Pen, hingga 7
Desember 2010 Kepolisian Kelantan menerima laporan pembunuhan Yeap. Kepolisian
menangkap dan menahan Wilfrida di Penjara Pengkalan Chepa hingga menjalani
peradilan. Wilfrida adalah korban perdagangan manusia. Hukuman mati terhadapnya
tentu tidak adil. Ia harus dinyatakan sebagai anak atau masih di bawah umur
ketika pembunuhan terjadi, sehingga tidak diancam hukuman mati.
Jika
putri kami berulang tahun 24 Oktober ini, beberapa hari sebelumnya, tepatnya 12
Oktober, Wilfrida—sebagaimana disebutkan surat baptis dari Gereja Paroki Roh
Kudus Kolo Ulun, Belu—merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Sekarang Wilfrida
bukan lagi anak. Ia juga mesti kuat menerima kenyataan ayahandanya meninggal
dunia 6 Oktober lalu.
Betapa
gentarnya saya menyaksikan pengalaman getir hidup di akhir usia anak-anaknya.
Sebuah masa di mana ia semestinya menikmati hak-haknya sebagai anak dan
terlindungi dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Pemerintah harus
memastikan keadilan bagi Wilfrida. Sejauh ini jajaran eksekutif saling lempar
tanggung jawab, sementara politikus Prabowo Subianto terkesan tanpa malu-malu
mencoba membela Wilfrida.
Apapun caranya, jelas dan sangatlah jelas,
Wilfrida harus dibebaskan dari hukuman mati! Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar