Kamis, 03 Oktober 2013

Negeri Tanpa Prioritas

Negeri Tanpa Prioritas
Budi Widianarko  ;  Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA, 02 Oktober 2013


Things which matter most must never be at the mercy of things which matter least                    — Johann Wolfgang von Goethe

NEGERI ini memang sungguh unik. Ketika sebagian besar rakyat berteriak tentang mahalnya harga tempe dan tahu, ternyata yang muncul justru mobil murah. Ketika anggaran belanja negara sedang berdarah-darah oleh subsidi BBM, lagi-lagi jawabannya kebijakan mobil murah. Di tengah kriris infrastruktur (jalan) yang begitu parah, sekali lagi  justru kebijakan mobil murahlah jawabannya. 
Rupanya, prioritas atau lebih tepatnya penetapan prioritas seolah keahlian langka di negeri ini.
Orang umumnya menyadari penting prioritas, tetapi menetapkan prioritas adalah persoalan lain. 

Ungkapan Goethe pada awal tulisan ini mengingatkan kita untuk tidak terjerembab dalam penentuan prioritas: jangan pernah sekalipun mengorbankan hal yang paling penting demi hal yang paling tidak penting. Sejatinya, banyak yang tidak menyadari bahwa menetapkan prioritas bukan soal mudah.
Pada ranah pribadi, menyepelekan atau gegabah menetapkan prioritas bisa berujung pada kerugian hingga kebangkrutan. Namun, menyepelekan penetapan prioritas pada ranah korporasi dan publik bisa berdampak luas, dari merugikan lembaga, hingga membangkrutkan negara yang pada gilirannya menyengsarakan rakyat. Karena itu, para pengambil keputusan, baik dalam institusi pemerintah, nonpemerintah, dan korporasi sudah selayaknya memiliki keahlian penetapan prioritas.

Bisa Dipelajari

Kabar baiknya, penetapan prioritas bisa dipelajari. Kabar buruknya, banyak orang enggan bersusah-payah mempelajari. Mereka lebih suka mengandalkan intuisi. Memang dalam rentang panjang evolusi, mengarungi ketidakpastian kehidupan, manusia terlatih untuk menentukan pilihan berdasarkan naluri.
Dalam kajian sosiobiologi diyakini bahwa keputusan seseorang untuk menolong orang lain sama sekali bukan berarti manusia pada dasarnya baik, melainkan senantiasa terombang-ambing di antara dua pilihan: menguntungkan diri sendiri (selfishness) atau memberikan kesempatan pada orang lain (altruism).

Seiring dengan peri kehidupan manusia yang makin kompleks maka penetapan prioritas juga makin tidak sederhana. Prioritas sudah bukan lagi “permainan”  naluri atau intuisi belaka. Para pengambil keputusan pada semua aras harus menerima  kenyataan bahwa penetapan prioritas adalah masalah rumit dan sulit.

Yang mengejutkan, tata nilai ternyata adalah pilar utama penetapan prioritas. Artinya, penetapan prioritas adalah proses sarat nilai. Suatu prioritas tidak dapat dtetapkan dalam ruang hampa tanpa ada nilai yang dibela, diugemi. Neutrality is immoral! begitu kata Profesor Andi Hakim Nasoetion, mantan rektor Institut Pertanian Bogor, dalam perjumpaan dengan penulis 22 tahun lalu. Pilihan (prioritas) menuntut pemihakan terhadap nilai tertentu, jika Anda tidak mau dicap tunamoral.

Dalam studinya pada ranah pelayanan kesehatan, Sibbald dan kawan kawan dari Universitas Toronto (2009) menemukan bahwa  para pengambil keputusan berjuang dalam belitan kesulitan untuk menetapkan prioritas yang tepat. Terutama karena tidak ada konsensus tentang nilai pemandu utama keputusan mereka. Tiga nilai yang seringkali menjadi panduan penetapan prioritas adalah (1) efisiensi, (2) kesetaraan, dan (3) keadilan. Tantangannya adalah memadukan tiga nilai itu tanpa ada yang dianaktirikan atau dikorbankan.

Prasyarat Kunci

Penetapan prioritas acap sangat sulit ketika ada nilai yang berbenturan. Untuk memilih nilai yang paling sesuai, diperlukan kepekaan supaya bisa menangkap suara segenap pemangku kepentingan. Prioritas tidak bisa terasing dari konteks. Pejabat atau pemimpin dalam menetapkan prioritas harus mampu benar-benar menemukan apa yang sedang berkecamuk di hati dan pikiran pemangku kepentingan.

Karenanya pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder engagment) dan dialog (rembukan) adalah dua prasyarat kunci. Terlebih dari itu prioritas akan dapat diterima dengan baik jika ditetapkan melalui proses yang jelas, dibarengi manajemen informasi transparan. Hanya dengan begitu akan terjadi kepemilikan terhadap prioritas itu oleh segenap pihak.

Berdasarkan sejumlah studi yang mereka telaah, kelompok peneliti Universitas Toronto itu menemukan bahwa selain nilai, kepemimpinan merupakan kunci berikutnya. Singkatnya, untuk menetapkan prioritas yang tepat diperlukan landasan nilai dan kepemimpinan bermutu.

Mungkin dua unsur itulah yang menjadi sumber kebuntuan di negeri ini. Begitu banyak prioritas yang dianggap keliru, tidak menyentuh kebutuhan hakiki rakyat. Salah prioritas hanyalah symptom dari ìkankerî kepemimpinan. Negeri ini miskin pemimpin yang berani memperjuangkan nilai yang menjadi suara hati rakyat.


Tahun depan kita selaku rakyat kembali memiliki kesempatan memilih pemimpin: DPR dan presiden. Jangan terlalu hiraukan wajah cantik dan ganteng yang terpampang di ribuan baliho. Telusuri rekam jejak mereka dalam bersikap dan bertindak, apakah mencerminkan suara hati rakyat kebanyakan. Cermati pula nilai apa saja yang pernah mereka junjung, termasuk bagaimana mereka memperjuangkan nilai nilai itu. Kalau Anda tidak terlalu yakin kualitas itu melekat pada pribadi calon maka segera palingkan pilihan kepada calon lain.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar