|
Things which matter most must never be at the mercy of things
which matter least — Johann Wolfgang von Goethe
NEGERI ini memang sungguh unik. Ketika sebagian besar
rakyat berteriak tentang mahalnya harga tempe dan tahu, ternyata yang muncul
justru mobil murah. Ketika anggaran belanja negara sedang berdarah-darah oleh
subsidi BBM, lagi-lagi jawabannya kebijakan mobil murah. Di tengah kriris
infrastruktur (jalan) yang begitu parah, sekali lagi justru kebijakan
mobil murahlah jawabannya.
Rupanya, prioritas atau lebih tepatnya penetapan
prioritas seolah keahlian langka di negeri ini.
Orang umumnya menyadari penting prioritas, tetapi
menetapkan prioritas adalah persoalan lain.
Ungkapan Goethe pada awal tulisan
ini mengingatkan kita untuk tidak terjerembab dalam penentuan prioritas: jangan
pernah sekalipun mengorbankan hal yang paling penting demi hal yang paling
tidak penting. Sejatinya, banyak yang tidak menyadari bahwa menetapkan
prioritas bukan soal mudah.
Pada ranah pribadi, menyepelekan atau gegabah menetapkan
prioritas bisa berujung pada kerugian hingga kebangkrutan. Namun, menyepelekan
penetapan prioritas pada ranah korporasi dan publik bisa berdampak luas, dari
merugikan lembaga, hingga membangkrutkan negara yang pada gilirannya
menyengsarakan rakyat. Karena itu, para pengambil keputusan, baik dalam
institusi pemerintah, nonpemerintah, dan korporasi sudah selayaknya memiliki
keahlian penetapan prioritas.
Bisa Dipelajari
Kabar baiknya, penetapan prioritas bisa dipelajari. Kabar
buruknya, banyak orang enggan bersusah-payah mempelajari. Mereka lebih suka
mengandalkan intuisi. Memang dalam rentang panjang evolusi, mengarungi
ketidakpastian kehidupan, manusia terlatih untuk menentukan pilihan berdasarkan
naluri.
Dalam kajian sosiobiologi diyakini bahwa keputusan
seseorang untuk menolong orang lain sama sekali bukan berarti manusia pada dasarnya
baik, melainkan senantiasa terombang-ambing di antara dua pilihan:
menguntungkan diri sendiri (selfishness)
atau memberikan kesempatan pada orang lain (altruism).
Seiring dengan peri kehidupan manusia yang makin kompleks
maka penetapan prioritas juga makin tidak sederhana. Prioritas sudah bukan lagi
“permainan” naluri atau intuisi belaka. Para pengambil keputusan pada
semua aras harus menerima kenyataan bahwa penetapan prioritas adalah
masalah rumit dan sulit.
Yang mengejutkan, tata nilai ternyata adalah pilar utama
penetapan prioritas. Artinya, penetapan prioritas adalah proses sarat nilai.
Suatu prioritas tidak dapat dtetapkan dalam ruang hampa tanpa ada nilai yang
dibela, diugemi. Neutrality is immoral! begitu kata Profesor Andi Hakim Nasoetion,
mantan rektor Institut Pertanian Bogor, dalam perjumpaan dengan penulis 22
tahun lalu. Pilihan (prioritas) menuntut pemihakan terhadap nilai tertentu,
jika Anda tidak mau dicap tunamoral.
Dalam studinya pada ranah pelayanan kesehatan, Sibbald dan
kawan kawan dari Universitas Toronto (2009) menemukan bahwa para
pengambil keputusan berjuang dalam belitan kesulitan untuk menetapkan prioritas
yang tepat. Terutama karena tidak ada konsensus tentang nilai pemandu utama
keputusan mereka. Tiga nilai yang seringkali menjadi panduan penetapan
prioritas adalah (1) efisiensi, (2) kesetaraan, dan (3) keadilan. Tantangannya
adalah memadukan tiga nilai itu tanpa ada yang dianaktirikan atau dikorbankan.
Prasyarat Kunci
Penetapan prioritas acap sangat sulit ketika ada nilai yang
berbenturan. Untuk memilih nilai yang paling sesuai, diperlukan kepekaan supaya
bisa menangkap suara segenap pemangku kepentingan. Prioritas tidak bisa
terasing dari konteks. Pejabat atau pemimpin dalam menetapkan prioritas harus
mampu benar-benar menemukan apa yang sedang berkecamuk di hati dan pikiran
pemangku kepentingan.
Karenanya pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder engagment) dan dialog (rembukan) adalah dua prasyarat kunci. Terlebih dari itu
prioritas akan dapat diterima dengan baik jika ditetapkan melalui proses yang
jelas, dibarengi manajemen informasi transparan. Hanya dengan begitu akan
terjadi kepemilikan terhadap prioritas itu oleh segenap pihak.
Berdasarkan sejumlah studi yang mereka telaah, kelompok
peneliti Universitas Toronto itu menemukan bahwa selain nilai, kepemimpinan
merupakan kunci berikutnya. Singkatnya, untuk menetapkan prioritas yang tepat
diperlukan landasan nilai dan kepemimpinan bermutu.
Mungkin dua unsur itulah yang menjadi sumber kebuntuan di
negeri ini. Begitu banyak prioritas yang dianggap keliru, tidak menyentuh
kebutuhan hakiki rakyat. Salah prioritas hanyalah symptom dari ìkankerî
kepemimpinan. Negeri ini miskin pemimpin yang berani memperjuangkan nilai yang
menjadi suara hati rakyat.
Tahun depan kita selaku rakyat kembali memiliki kesempatan
memilih pemimpin: DPR dan presiden. Jangan terlalu hiraukan wajah cantik dan
ganteng yang terpampang di ribuan baliho. Telusuri rekam jejak mereka dalam
bersikap dan bertindak, apakah mencerminkan suara hati rakyat kebanyakan.
Cermati pula nilai apa saja yang pernah mereka junjung, termasuk bagaimana
mereka memperjuangkan nilai nilai itu. Kalau Anda tidak terlalu yakin kualitas
itu melekat pada pribadi calon maka segera palingkan pilihan kepada calon lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar