Kamis, 03 Oktober 2013

Mobil Minus Kecerdasan Kolektif

Mobil Minus Kecerdasan Kolektif
Indarto  ;  Ketua Program Magister Manajemen Universitas Semarang (USM)
SUARA MERDEKA, 02 Oktober 2013


"Memudahkan tiap warga membeli mobil sama artinya dengan mendorong konsumsi BBM ke level tak terbatas"

PRO dan kontra kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan (low car green car/LCGC) yang diluncurkan pemerintah melalui PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi produksi mobil ramah lingkungan terus berkembang. Dengan berpayung regulasi itu, mobil dengan isi silinder di bawah 1.200 cc dan konsumsi BBM paling sedikit 20 km/ l bisa dipasarkan tanpa PPnBM. Sebagian masyarakat menyambut baik kebijakan tersebut, tetapi juga banyak yang menolak. Penolakan paling kuat datang dari Pemprov DKI Jakarta yang sedang berjuang mengatasi kemacetan dengan membenahi manajemen transportasi umum.

Kehadiran mobil murah  justru menambah parah kemacetan lalu lintas di Ibu Kota. Bahkan Wapres Boediono seperti lupa pernah menginstruksikan 17 langkah guna mengatasi kemacetan di Jakarta. Instruksi Wapres mengarah pada pembangunan dan pengembangan transportasi massal.

Kemacetan di Jakarta yang diakibatkan dari pertumbuhan kendaraan yang melebihi pertumbuhan jalan, sangat merugikan perekonomian dan masyarakat. Beberapa pemda, selain DKI pun, menyatakan penolakan mereka. Penolakan kuat juga disuarakan para ekonom. Mereka berpendapat kebijakan itu salah sasaran. Pasalnya, peluncuran kebijakan itu dilakukan di tengah gejolak nilai tukar rupiah dan kondisi makro sosial sejumlah kota besar yang diwarnai masalah kemacetan sebagai salah satu masalah utama.

Program LCGC berbenturan dengan beberapa kebijakan sekaligus sehingga efektivitasnya diragukan. Semisal berbenturan upaya pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Sebenarnya juga tidak murah karena struktur harga tidak memasukkan komponen pajak. Itu artinya  murah bagi kepentingan importir dan pengusaha, sementara negara kehilangan potensi pendapatan pajak.

Mobil murah juga berbenturan dengan upaya pemerintah menghemat energi serta berbenturan dengan program konversi dari BBM ke gas. Pemerintah pusat seperti lupa bahwa kita harus berhemat BBM karena Indonesia sudah menjadi net importer minyak. Pemerintah tidak peduli kuota BBM bisa menembus level 50 juta kiloliter bila mobil murah benar-benar dimiliki masyarakat.

Sementara pengamat transportasi dan YLKI menyatakan mobil murah hanya akan membuat konsumsi BBM bersubsidi meningkat tajam. Memang mobil murah didesain dengan spesifikasi hemat bahan bakar. Namun tetapi penghematan BBM dari mobil murah tidak akan berarti jika terjadi kemacetan yang makin parah. Tujuan ramah lingkungan pun tidak tercapai jika kemacetan terjadi di mana-mana. Kendati disebut-sebut irit BBM, tetap saja bakal menambah konsumsi bahan bakar karena ada pembelian kendaraan baru. Memudahkan tiap warga membeli mobil sama artinya mendorong konsumsi BBM ke level tak terbatas.

Pemerintah berargumen kebijakan mobil murah akan menyerap investasi 3,7 miliar dolar AS atau Rp 33,3 triliun. Selain itu, investasi tambahan pada tingkat industri komponen diperkirakan mencapai 1,9 miliar dolar AS dengan tambahan tenaga kerja baru 15.000-17.000 orang. Selain itu, dengan segera dimulainya pasar bebas ASEAN, Indonesia harus mempersiapkan diri. Jangan sampai pasar yang mengarah ke mobil ramah lingkungan dan hemat energi justru dimasuki produk sejenis dari negara lain. Kebijakan mobil murah diharapkan mendorong lebih cepat perkembangan industri otomotif di Indonesia.

Menjawab Persoalan

Banyaknya penolakan dan respons negatif terhadap kebijakan mobil murah menunjukkan pemerintah pusat tidak mengupayakan tata pemerintahan yang baik. Seharusnya  proses pengambilan keputusan perlu menjaring dan mempersandingkan peran pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Bahkan pemerintah pusat tidak mau mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasi pemda. Pemerintah memilih meluncurkan kebijakan mobil murah minus kecerdasan kolektif yang berujung kontroversial. Penolakan dan keberatan masyarakat tentu saja berawal dari pertanyaan untuk siapakah sebenarnya kebijakan itu?

Seberapa banyak masyarakat mendapat manfaat dari kebijakan tersebut ? Berapa jumlah penduduk yang dapat membeli? Apakah jumlahnya lebih banyak dari jumlah penduduk yang harus menerima dampak kemacetan yang makin parah? Berapa besar jumlah yang disejahterakan oleh kebijakan tersebut ?


Apakah kebijakan mobil murah menjawab persoalan transportasi murah, nyaman, hemat energi sekaligus ramah lingkungan? Jika persoalan tersebut dijawab kehadiran mobil murah maka yang diprioritaskan adalah masyarakat kelas menengah. Kebijakan mengenai mobil murah tapi minus kecerdasan kolektif telah diluncurkan, kini saatnya mengantisipasi segala risiko dan konsekuensi. Tak perlu saling menyalahkan dan merasa paling benar. Jika pada saat perumusan kebijakan mobil murah tidak mengedepankan kecerdasan kolektif, kini saatnya semua pihak mengembangkan kecerdasan kolektif. Upaya itu guna meminimalkan dampak buruk yang dikhawatirkan. Dengan demikian kehadiran mobil murah  tidak akan menimbulkan musibah tapi memberi manfaat bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar