|
PADA 24 September 2012 lalu, harian Kompas merilis
berita bahwa kaum tani di 18 provinsi memperingati Hari Tani yang bertepatan
dengan tanggal kelahiran UU Pokok Agraria (UU No. 5/1960). Dalam UU ini diatur
mengenai pembatasan kepemilikan tanah maksimum bagi individu/korporasi, serta
menjamin batas minimum luas tanah bagi petani. UUPA juga menganut asas
nasionalisme, sehingga kepemilikan ataupun hak guna usaha oleh asing dilarang.
Dalam amatan saya, isi dari UUPA ini sangat mengacu
pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasar ini, maka pada Pasal 1
Ayat 1 dan 2 UUPA, dinyatakan bahwa hak-hak atas bumi, air, dan ruang angkasa
adalah ‘hak bangsa.’ Syaiful Bahari menjelaskan bahwa hak bangsa seperti ‘hak
ulayat,’ yang dalam konsep hukum tanah nasional, merupakan ‘hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi.’ Hal ini menunjukkan bahwa segala macam hak, baik hak
ulayat, hak individu, hak penguasaan negara atau badan hukum, semata-mata
ditujukan dalam rangka untuk memakmurkan rakyat. Di sinilah letak titik
sentralnya, bahwa rakyat ditempatkan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di
negara ini.
Realita yang terjadi saat ini justru berkebalikan
secara fundamental dengan isi pernyataan dalam UU tersebut. Dwi Andreas Santosa
(Kompas, 18/10/2012) menyatakan, saat
ini pemodal bisa menguasai puluhan ribu hektar. Aset nasional sejumlah 56
persen sebagian besar berupa tanah, dikuasai hanya oleh 440.000 orang atau 0,2
persen penduduk. Idham Asyad, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) mengatakan, ketimpangan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah
terjadi hampir di semua sektor. Di kehutanan, misalnya, terdapat 531 izin hak
pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang luasnya mencapai
35,8 juta hektar dan hanya dikuasai puluhan konglomerat nasional dan asing.
Sementara ada 57 izin pengelolaan hutan dengan luas cuma 0,25 juta hektar.
Artinya, hanya 0,19 persen masyarakat pedesaan mendapatkan akses secara legal
atas kawasan hutan (M Sirait, 2012).
Di perkebunan, dari 11,5 juta hektar luas lahan sawit, 52 persen milik swasta,
11,69 persen milik perusahaan negara. Perkebunan rakyat hanya 35,56 persen. Di
pertambangan, jaringan Advokasi Tambang (Jatam,
2010) mencatat, sejak 1998-2010 hampir 8.000 perizinan tambang dikeluarkan
dan 3 juta hektar kawasan lindung beralih fungsi jadi tambang. Ketimpangan juga
terjadi di sektor kelautan. Lebih dari 20 pulau telah di kavling orang dan
badan hukum asing untuk industri pariwisata. Sekitar 50.000 hektar konsesi
budidaya di bawah penguasaan asing. Sekitar 1 juta hektar ekosistem pesisir
sudah dikonversi untuk perluasan perkebunan sawit dan pembangunan reklamasi
pantai.
Masih menurut Dwi Andreas Santosa, Arab Saudi dan Uni
Emirat Arab pada periode 2008-2010 merencanakan akuisisi lahan untuk pangan di
Indonesia seluas 600.000 hektar, dengan rencana investasi sebesar 5,3 miliar
dollar AS (Hangzo dan Kuntjoro, 2012).
Demikian pula beberapa perusahaan Korea yang berencana mengakuisisi belasan
ribu hektar lahan di Indonesia, dan juga Malaysia yang sangat agresif. Saat ini
tercatat sekitar 2 juta hektar (25 persen) luas lahan kelapa sawit di Indonesia
telah dikuasai investor Malaysia.
Untuk penguasaan tanah pertanian saja, saat ini
rata-rata keluarga petani di Indonesia hanya memiliki 0,36 hektar tanah.
Bahkan, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani di luar Jawa tuna
tanah. Data BPS (2003) menunjukkan, dari 37,7 juta rumah tangga petani hanya
menggunakan lahan pertanian seluas 21,5 juta hektar. Terlebih lagi, proses
konservasi yang menyusutkan lahan pertanian demi kepentingan industri dan
property, telah menyebabkan pengurangan lahan pertanian sekitar 60.000 hektar
per tahun (setelah ditambah 40.000 lahan baru per tahun). Idham Arshad
menyatakan, akibat dari semua itu adalah semakin meningginya jumlah petani
gurem dan petani tak bertanah. Saat ini, dari 37,7 juta rumah tangga petani, 36
persen petani tak bertanah, 24, 3 juta yang menguasai tanah rata-rata 0,89
hektar per rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan produktivitas pertanian
Indonesia semakin menurun dengan pendapatan rata-rata petani hari ini kurang
dari 400.000 per bulan, karena minimnya lahan garapan.
Hal yang menjadi penyebab selanjutnya adalah
terjadinya penggolongan dan pelapisan sosial di masyarakat berdasarkan
pemilikan dan penggunaan tanah. Struktur sosial yang tercipta dari langgengnya
ketimpangan terhadap kepemilikan dan penggunaan tanah adalah terjadinya
proletarisasi petani yang semakin meluas. Proletarisasi ini ditandai
transformasi kelas petani menjadi buruh tani. Kaum proletariat ini hidup tidak
lagi dengan mengolah tanah secara langsung, tetapi dari menjual tenaga ke
pemilik modal. Lebih dari itu, proletarisasi ini berlangsung dalam wajahnya
yang sangat brutal yang ditandai dengan pengusiran dan perampasan tanah-tanah
secara paksa (Idham Arsyad, Kompas,
25/09/2012). Hal inilah yang dianggap sebagai penyebab terjadinya
polarisasi perekonomian di tengah masyarakat, yang berakibat pada meningkatnya
pertentangan kelas, stabilitas perekonomian yang semakin terganggu, dan usaha
pembangunan pertanian bagi masyarakat akan semakin terhambat.
Di hari tani yang ke 53 ini, apakah kita hanya akan
berdiam diri lagi melihat petani menyongsongkan hak-haknya seorang diri,
sedangkan masyarakat sekitar tak peduli terhadap kedaulatannya? Menurut saya,
saatnya rakyat bergerak, untuk kehidupan petani yang lebih baik! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar