Senin, 14 Oktober 2013

Murid Mengencingi Gurunya Sendiri

Murid Mengencingi Gurunya Sendiri
Mohamad Sobary  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 14 Oktober 2013



Di dalam masyarakat agraris-tradisional, ikatan kekerabatan dan usaha menjaga keutuhan tradisi merupakan bagian terpenting dari kelestarian hidup itu sendiri. Harmoni kehidupan bersanding dengan dinamika. 

Perubahan sosial yang cepat dikawal nilai-nilai dan etika. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf kemakmuran masyarakat disertai keseimbangan rohaniah sehingga limpahan materi tidak membuat manusia lupa diri. Kemajuan, perubahan, dan kemakmuran tidak menjerumuskan manusia ke dalam kekosongan makna hidup yang bersifat “meaninglessness”, tetapi sebaliknya: hidup tetap berarti “meaningfulness” dan secara rohaniah manusia bisa mencapai cita-cita idealnya: “happiness”. 

Dunia memang bukan surga sebagaimana gambaran menggiurkan di dalam kitab suci. Tetapi, sistem kemampuan masyarakat dapat ditingkatkan semaksimal mungkin untuk membangun sejenis “kerajaan surga” di bumi sehingga apa yang hanya fana ini—sefana apa pun—pernah bisa bermakna. Di sana apa yang “pribadi” tak boleh melukai apa yang “sosial”, apa yang “materi” tidak boleh menghapuskan apa yang “rohaniah”, dan semangat kemajuan tak boleh lepas dari kendali “kepantasan” dan segenap tata krama yang telah teruji dalam usaha menjaga supaya hidup tetap mengalir sesuai fitrahnya sendiri. 

Dalam tatanan seperti itu filsafat dan landasan hidup dijaga, diamalkan, dan dihormati keutuhannya, tapi bukan keutuhan beku seperti sebuah kuburan. Kehidupan tetap kehidupan yang di dalamnya banyak tingkah laku menyimpang. Tapi, kaum bijak bestari di dalam masyarakat bersangkutan menggariskan tatanan secara lentur, luwes, estetis, namun kekuatannya sebagai aturan hidup tidak lenyap dalam estetika itu. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” menjadi contoh aturan etis itu. 

Orang yang dianggap seranting”ditinggikan”, selangkah “didahulukan” tidak boleh mainmain dalam hidup ini. Dia dianggap ”panutan” orang banyak. Siapa tahu malah merupakan “junjungan” yang sangat dimuliakan sehingga orang rela menjaga segenap kehormatannya dengan menutup kemungkinan ”aib-aib”- nya yang tersingkap. Kepatuhan orang kepadanya membuat mereka bersedia “mikul duwur”, menghormati setinggi-tingginya, dan “mendem jero”, merahasiakan apa yang memang rahasia. 

Tapi, bila orang dalam tahap rohaniah dan sosial seperti ini masih juga bertindak sembarangan, menabrak apa yang terlarang, dan bersikap menghalalkan apa yang secara sosial, ekonomi, dan politik maupun moral haram, dunia sosial di sekitarnya telah ambruk. Apa yang haram tetap haram. Hanya sebangsa setan, menurut sufi besar, Abdul Qodir Jaelani, yang membuat apa yang haram menjadi halal. Yang lain, yang bukan setan, tak bisa melanggar senekat itu. 

“Apaefekpelanggaranmacam itu, dari golongan elite setinggi itu?” Dulu efeknya ini: kalau “guru kencing berdiri”, “murid kencing berlari”. Itu dulu. Hari ini siapa tahu itu tak begitu relevan lagi. “Apa yang sekarang tampak lebih relevan?” “Sekarang, kelihatannya kalau “guru kencing berdiri”, “murid mengencingi gurunya.” “Haaaah?” Jelaslah. Guru seperti itu tak pantas dianggap guru. 

Dia tidak bisa “digugu”, dianut, dan “ditiru”, diteladani. Dia bukan kiblat politik, bukan kiblat sosial, bukan pula kiblat moral. Guru “dikencingi” murid itu masih lebih baik. “Ada yang lebih parah lagi?” “Ada. Dilupakan. Dibiarkan sendirian. Tidak dikunjungi. Tidak menjadi tempat bertanya. Tidak menjadi apa-apa. Dia boleh menunggu. Tapi, yang datang tak akan pernah ada. Sanksi sosial seperti ini berat. Dia sanksi yang berubah menjadi siksaan batin yang parah. Amat parah. 

Di dalam kehidupan masyarakat Nusantara hal ini bukan perkara baru. Apa yang disebut “raja adil raja disembah, dan raja lalim raja disanggah”, apa bedanya dari fenomena tadi? Contoh modern—maksudnya mutakhir—banyak sekali. Ketua partai yang “plintatplintut” dan tidak bijak sama sekali, yang mengutamakan keluarganya sendiri, kebijakannya dilawan. Ketua partai ingin “begini”, diam-diam, orang melawan, dan yang terjadi bukan yang “begini” tadi. 

Ketua partai ingin anak emasnya menempati posisi penting ternyata dalam proses politik yang licin anak emasnya terdepak seperti—maaf, anjing kurap—dan apa makna politisnya? Orang tak mau menuruti keinginannya. Dia sudah dianggap ”guru yang kencing berdiri”. Dia sudah dianggap memorak-porandakan tatanan hidup. Dia sudah mengguncang kehidupan itu sendiri. Apalagi gunanya guru seperti itu? “Apa yang dilakukan murid kepadanya?” “Murid itu mengencingi gurunya”. 

Cara ini langsung, nyelekit, dan menghancurkan harmoni kehidupan gurunya. Bahkan mematikannya. Kalau masih berkuasa saja dilawan orang, dan ibarat guru sudah “dikencingi” muridnya sendiri, apa kira-kira yang terjadi kelak bila yang bersangkutan sudah tiba masanya untuk, secara hukum, secara politik, dan secara alamiah, dilucuti jabatannya? “Ya, karena itu ‘ojo dumeh’ lagi berkuasa,” kata orang yang dizaliminya, dan yang menaruh rasa dendam politik kepadanya. 

Dia akan mengamati secara dekat, apa yang bisa dilakukan kelak. Dalil politik yang berkata bahwa politik “is the art of possible”, ya itulah maknanya. Cita-cita membutuhkan kesabaran. Ini “seni menunggu”: selamban apa pun waktu berjalan, seolah seminggu terasa sewindu, tapi yang ditunggu itu akan datang dan pasti datang. Sejarah penguasa zalim di seluruh dunia, termasuk yang dicatat dalam kitab-kitab suci, kalau penguasa sudah menjadi ”guru yang kencing berdiri”, dalil politiknya sangat jelas: “sehabis jaya datanglah binasa”. 

Hukum-hukum sejarah— sejauh menyangkut perkara seperti ini—tidak pernah ramah. Beberapa bahkan sangat mengerikan. Bulu kuduk kita berdiri ketika akhirnya “kebinasaan” yang berkuasa. Tapi, inilah ironi dunia: para penguasa tak pernah belajar dari hukum sejarah. Rupanya, mereka ingin dikenai langsung oleh hukum itu sendiri. Ibarat guru, mereka ingin para “murid mengencinginya”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar