Kamis, 03 Oktober 2013

APEC dan Liberalisasi Setengah Hati

APEC dan Liberalisasi Setengah Hati
Ichsanuddin Noorsy  ;  Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SUARA KARYA, 02 Oktober 2013


Sembilan belas tahun lalu, saat Presiden Soeharto mengajak sejumlah pemimpin negara berfoto bersama dalam perhelatan APEC di Bogor, 1994, hanya Presiden AS Bill Clinton yang tidak mau menggunakan celana panjang berwarna kopi susu. Pada perhelatan itu, semua kepala negara menggunakan warna yang sama untuk menunjukkan lahirnya tujuan bersama melalui APEC, yakni liberalisasi perdagangan dan investasi, serta pembangunan di antara negara anggota secara berkesinambungan dan adil serta upaya mengatasi ketimpangan.

Apa hasilnya? Empat tahun kemudian, tepatnya Mei 1998, lewat pukulan harga minyak berlanjut dengan ambruknya nilai tukar rupiah yang mendorong inflasi hingga 60 persen, Presiden Soeharto dipaksa turun. Pada tahun 1994-1998, Soeharto banyak melahirkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kesepakatan liberalisasi. Misalnya, memunculkan kebijakan mobil Timor Putra Nasional, mengurangi porsi asing di sektor-sektor strategis, dan membiayai industri penerbangan Nurtanio.

Dari semua kebijakan yang bertentangan dengan semangat liberalisasi itu--yang kemudian disebut liberalisasi setengah hati--mungkin saja tersimpan makna bahwa Soeharto menyadari kesalahannya pada kebijakan ekonomi yang memberi peluang besar pada asing dan konglomerasi. Jika Soeharto mengalihkan dan mengembalikan arah serta pijakan kebijakan ekonomi sesuai konstitusi, mungkin ceritanya akan lain.

Ekonomi konstitusi berpijak pada fondasi Pasal 33 UUD 1945 yang sesuai dengan aslinya. Maksudnya, penjelasan pasal itu ikut serta menjiwai amanat konstitusi di bidang ekonomi. Tanpa mengulang Pasal 33 UUD 1945 dengan penjelasannya, bagi saya, fondasi, arah, dan bangun kebijakan ekonomi Indonesia tidak bisa lain kecuali tunduk pada Pasal 33 yang kemudian diterjemahkan ke dalam Pasal 23, 27 ayat(2), 31, 32, 33 dan 34. Tegaknya pasal-pasal itu tergantung pada semangat para penyelenggara.

Kita mungkin masih ingat bagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Juli 2007 saat peringatan Hari Koperasi menyatakan tidak menerapkan kebijakan neoliberal. Padahal, SBY membuat kebijakan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman dan mengusulkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas saat menjadi Mentamben.

Kemudian, menjelang kampanye 2009 saat saya menyatakan ABN (asal bukan neolib), SBY menyahutinya dengan sikap bahwa dia menerapkan jalan tengah. Kini, dengan menyelenggarakan APEC di Bali, Presiden SBY menegaskan siapa dirinya.

Lalu, ada di mana posisi APEC? Posisi APEC jelas dalam rangka mempertahankan kepentingan negara-negara maju, negara-negara industri. Lihat, National Security Strategy of USA di bawah Barack Obama terbit pada Mei 2010, juga Global Trend 2030, Alternative World terbit pada Desember 2012. Kedua dokumen itu cukup jelas bagaimana pola patron-klien dipertahankan. Jika ada negara berkembang yang naik kelas, maka negara itu harus tunduk pada ketentuan yang mereka buat.


Bagaimana dengan Indonesia? Kalau tunduk dan patuh saja pada UUD 1945 pasal 33 ayat (1), mustahil Indonesia menerima begitu saja aturan APEC atau lembaga multilateral. Tapi, kenyataan memang beda. Eksekutif, legislatif, kaum cerdas cendekia dan konglomerasi berkata: globalisasi adalah keniscayaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar