|
Sembilan belas tahun lalu, saat Presiden Soeharto mengajak
sejumlah pemimpin negara berfoto bersama dalam perhelatan APEC di Bogor, 1994,
hanya Presiden AS Bill Clinton yang tidak mau menggunakan celana panjang
berwarna kopi susu. Pada perhelatan itu, semua kepala negara menggunakan warna
yang sama untuk menunjukkan lahirnya tujuan bersama melalui APEC, yakni
liberalisasi perdagangan dan investasi, serta pembangunan di antara negara
anggota secara berkesinambungan dan adil serta upaya mengatasi ketimpangan.
Apa hasilnya? Empat tahun kemudian, tepatnya Mei 1998,
lewat pukulan harga minyak berlanjut dengan ambruknya nilai tukar rupiah yang
mendorong inflasi hingga 60 persen, Presiden Soeharto dipaksa turun. Pada tahun
1994-1998, Soeharto banyak melahirkan kebijakan yang tidak sesuai dengan
kesepakatan liberalisasi. Misalnya, memunculkan kebijakan mobil Timor Putra
Nasional, mengurangi porsi asing di sektor-sektor strategis, dan membiayai
industri penerbangan Nurtanio.
Dari semua kebijakan yang bertentangan dengan semangat
liberalisasi itu--yang kemudian disebut liberalisasi setengah hati--mungkin
saja tersimpan makna bahwa Soeharto menyadari kesalahannya pada kebijakan
ekonomi yang memberi peluang besar pada asing dan konglomerasi. Jika Soeharto
mengalihkan dan mengembalikan arah serta pijakan kebijakan ekonomi sesuai
konstitusi, mungkin ceritanya akan lain.
Ekonomi konstitusi berpijak pada fondasi Pasal 33 UUD 1945
yang sesuai dengan aslinya. Maksudnya, penjelasan pasal itu ikut serta menjiwai
amanat konstitusi di bidang ekonomi. Tanpa mengulang Pasal 33 UUD 1945 dengan
penjelasannya, bagi saya, fondasi, arah, dan bangun kebijakan ekonomi Indonesia
tidak bisa lain kecuali tunduk pada Pasal 33 yang kemudian diterjemahkan ke
dalam Pasal 23, 27 ayat(2), 31, 32, 33 dan 34. Tegaknya pasal-pasal itu
tergantung pada semangat para penyelenggara.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 12 Juli 2007 saat peringatan Hari Koperasi menyatakan tidak
menerapkan kebijakan neoliberal. Padahal, SBY membuat kebijakan UU No 25 Tahun
2007 tentang Penanaman dan mengusulkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas saat
menjadi Mentamben.
Kemudian, menjelang kampanye 2009 saat saya menyatakan ABN
(asal bukan neolib), SBY menyahutinya dengan sikap bahwa dia menerapkan jalan
tengah. Kini, dengan menyelenggarakan APEC di Bali, Presiden SBY menegaskan
siapa dirinya.
Lalu, ada di mana posisi APEC? Posisi APEC jelas dalam
rangka mempertahankan kepentingan negara-negara maju, negara-negara industri.
Lihat, National Security Strategy of USA di
bawah Barack Obama terbit pada Mei 2010, juga Global Trend 2030, Alternative
World terbit pada Desember 2012. Kedua dokumen itu cukup jelas bagaimana pola
patron-klien dipertahankan. Jika ada negara berkembang yang naik kelas, maka negara
itu harus tunduk pada ketentuan yang mereka buat.
Bagaimana dengan Indonesia? Kalau tunduk dan patuh saja
pada UUD 1945 pasal 33 ayat (1), mustahil Indonesia menerima begitu saja aturan
APEC atau lembaga multilateral. Tapi, kenyataan memang beda. Eksekutif,
legislatif, kaum cerdas cendekia dan konglomerasi berkata: globalisasi adalah
keniscayaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar