|
TERUNGKAPNYA korupsi di lingkungan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang langsung melibatkan Ketua MK, Akil Mochtar, kini memastikan bahwa
pilar-pilar trias politika di negeri ini telah terjerat gurita korupsi politik.
Terbongkarnya megaskandal korupsi politik di MK melalui operasi tangkap tangan
(OTT) yang dilakukan aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
mengguncang negeri ini. Ibarat sebuah bom yang meledak dan meluluhlantakkan
integritas dan akuntabilitas sang penjaga konstitusi. Kini, sang ‘penjaga
konstitusi’ yang rapuh tersebut tak mungkin lagi berwibawa untuk dinisbahkan
sebagai satu-satunya penafsir konstitusi (the
sole interpreter of the constitusion), karena terjerat kasus kick back
dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah, dan pemilu kada Lebak, Banten.
Dengan
rusaknya integritas di hampir seluruh pilar-pilar trias politika di negeri ini
sebagai dampak dari berbagai jerat gurita korupsi politik, interaksi dinamis di
antara ketiga pilar trias politika di negeri ini telah menjadi sebuah checks and balances yang palsu dan
destruktif. Kasus korupsi yang menjerat Ketua MK seharusnya menjadi sebuah
pelajaran yang berharga untuk segera menginternalisasikan integritas dalam
sistem checks and balances di negeri
ini.
Robert
Klitgaard (1988) pernah mengingatkan bahwa perilaku haram (illicit behaviour) berkembang saat pelaku memiliki kekuatan
monopoli atas klien, ketika pelaku memiliki diskresi yang tidak terbatas, dan
ketika akuntabilitas pelaku kepada pimpinan lemah. Hal tersebut memiliki
persamaan: korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi, minus akuntabilitas.
Kondisi tersebut nyaris seperti yang terjadi di negeri ini sekarang. Tengoklah,
dengan pembenaran adanya independensi kekuasaan yudikatif yang minim integritas
dan akuntabilitas, pilar-pilar kuasa yudikatif di negeri ini sudah beberapa
kali terjerat berbagai modus operandi korupsi yudisial. Yang terbaru adalah korupsi
yudisial yang bersenyawa dengan korupsi politik di lingkungan MK.
Banalitas kejahatan
Di lingkungan legislatif, nyaris
seluruh fraksi yang bernaung di dalamnya tak satu pun yang bebas dari jerat kasus-kasus
korupsi politik. Dari kasus Century, Hambalang, korupsi dana DPID/DPPID hingga
korupsi di lingkungan MK yang menjerat ketua MK dan anggota DPR-RI, dan
beberapa tersangka lain terkait dengan kasus bribery dan kick back dalam pemilu
kada di Gunung Mas dan Lebak.
Di
lingkungan eksekutif, berbagai kasus korupsi pun telah menjerat beberapa
kementerian, mulai Hambalang di Kemenpora, suap SKK Migas di lingkungan
Kementerian ESDM, dugaan korupsi proyek e-KTP di lingkungan Kemendagri, dan
lain-lain.
Negara
telah menjadi ruang leluasa terjadinya banalitas kejahatan (banality of evil) dan menjadikan banyak
kasus korupsi politik. Sejatinya hal tersebut merupakan pengkhianatan terhadap
rakyat yang telah mempercayakan nasibnya kepada negara lewat pajak dan
retribusi yang dibayarkannya kepada negara dalam APBN. Fenomena penangkapan
Ketua MK Akil Mochtar menggambarkan, apa yang disebut oleh Whitehead, mengenai
kejahatan yang dilukiskan sebagai terjadinya ‘proses distorsi dan degradasi
intensitas’. Menurut Quiney (1970) kejahatan adalah sua tu ketentuan mengenai
perilaku manusia yang diciptakan golongan berkuasa dalam masyarakat yang secara
otomatis terorganisasi.
Peristiwa
penangkapan sang Ketua MK yang dalam khazanah teori konstitusi,
disimbolisasikan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) tersebut, melukiskan dua hal
sekaligus. Pertama, dalam konteks kedudukan MK sebagai institusi satu-satunya
yang dinisbahkan berwenang menafsirkan konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dan putusannya bersifat final
dan mengikat merupakan sebuah delegitimasi secara masif yang justru berasal
dari dalam institusi itu sendiri dan pembusukan organisasi (organizational decay). Kedua, dalam
konteks kasus yang diungkap menyangkut jaringan korupsi politik di lingkaran
politik pemilu kada telah mengonfi rmasikan adanya lingkaran setan korupsi
politik pemilu kada (vicious circle of
local politics), dan menyebabkan terjadinya distorsi dalam sistem demokrasi
yang diintegrasikan dalam habitus koruptif.
Apa
yang diutarakan oleh Klitgaard di atas menggambarkan bahwa ada tiga aspek
penting untuk memahami anatomi atau kerangka dasar mengapa korupsi bisa
terjadi, yakni adanya monopoli kekuasaan, adanya kewenangan atau diskresi yang
tidak terbatas, dan tidak adanya proses pertanggungjawaban yang jelas. Hal itu
menggambarkan anatomi atau kerangka dasar korupsi. Korupsi sesungguhnya
merupakan masalah sistemis, bukan sekadar masalah moralitas seperti yang
menjadi anggapan kebanyakan orang.
Masyarakat dikunci
Adalah
mustahil korupsi mendapatkan pintu masuk tanpa adanya praktik monopoli
kekuasaan yang disertai dengan kewenangan yang tidak terbatas. Jalan tersebut
semakin lapang ketika upaya transparansi dan akuntabilitas tidak diindahkan.
Akibatnya, partisipasi setiap warga masyarakat pun menjadi tak berdaya dalam
mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Masyarakat pada akhirnya
dikunci dalam kebudayaan bisu (culture
silent), yang tak mampu berbuat apaapa, meski penyelewengan terjadi di
mana-mana.
Pilar-pilar
kekuasaan negara pascaamendemen konstitusi telah tumbuh dan berkembang menjadi
sebuah kuasa yang kukuh secara normatif konstitusional, kian tercerabut dari
proses-proses partisipasi publik, kian minim integritas, dan akuntabilitas.
Kebanyakan pengambilan keputusan di lingkungan pilar-pilar trias politika di
negeri ini semakin tertutup dan imun dari partisipasi publik semakin dikunci
logika teknokratik dan proseduralisme yang mengamputasi demokrasi.
Diperlukan
reformasi institusional secara fundamental terhadap bekerjanya interaksi di
antara pilarpilar trias politika sambil menginternalisasikan integritas dan
akuntabilitas. Hal itu sangat diperlukan mengingat pilar-pilar trias politika
adalah anak kandung dari sistem negara hukum (rechtsstaat) yang bermuara pada upaya untuk memberikan jaminan bagi
terwujudnya kesejahteraan rakyat (bonnum
commune). Mengingkari tujuan tersebut tak ubahnya dengan mengkhianati
konstitusi yang tak lain merupakan sebuah nyanyian kematian bagi sebuah negeri!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar