|
KURBAN sejatinya merupakan pengorbanan puncak demi sebuah
tujuan utama. Kurban juga menjadi aksi nyata dari segenap iktikad dan tujuan
baik seseorang.
Inilah pembelajaran berarti dari semua tokoh yang menjadi
bintang utama dalam peristiwa kurban, dari Nabi Ibrahim, Nabi Ismail hingga
Siti Hajar. Masing-masing dari tokoh ini rela mengorbankan hal paling berharga
dalam hidupnya untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagai tujuan utama. Sebagai
bapak, Ibrahim telah merelakan anaknya untuk dikurbankan. Adapun Ismail sebagai
seorang anak juga rela dijadikan kurban oleh bapaknya. Adapun Siti Hajar
sebagai istri sekaligus ibu mendukung penuh pengorbanan puncak ini.
Namun sebelum semuanya terjadi, Tuhan menghendaki hewan
sembelihan dijadikan sebagai simbol pengorbanan puncak yang siap dilakukan
keluarga Ibrahim tersebut. Hingga akhirnya teladan pengorbanan puncak yang
dilakukan keluarga Ibrahim ini disebut dengan istilah kurban yang dalam bahasa
Arab bermakna `hewan sembelihan'.
Sebagai simbol, hewan sembelihan tentu bisa didapat dan
dijadikan kurban oleh banyak orang. Apalagi oleh para pejabat dan petinggi
negara yang gajinya bisa membeli 10 hewan sembelihan (atau lebih) setiap saat.
Namun sebagai semangat pengorbanan puncak, tak banyak orang yang bisa melakukan
kurban. Sebuah semangat yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan
hewan-hewan sembelihan seperti kambing, sapi, dan yang lainnya.
Konteks
kebangsaan
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dilanda korupsi hingga di level para penjaga konstitusi ini, semangat kurban
sebagaimana di atas menjadi sebuah keharusan yang bersifat mendesak. Tanpa
adanya semangat pengorbanan puncak dari semua pihak, tak menutup kemungkinan
akan semakin banyak lagi pilar-pilar bangsa yang ambruk dan runtuh.
Di sinilah pentingnya melakukan kurban kebangsaan, khususnya
bagi elite-elite bangsa ini. Setidaknya ada dua simbol penting yang harus
disembelih dalam kurban kebangsaan. Pertama, menyembelih nafsu hidup
bermewah-mewahan secara materi. Harus diakui bersama, nafsu kemewahan dan
keglamoran hidup di sebagian masyarakat merupakan bagian dari persoalan bangsa
yang acap tak tersentuh sampai sekarang. Bayangkan, sebagian elite ada yang
mempunyai rumah mewah sampai puluhan lengkap dengan mobil-mobil yang tak kalah
mewahnya.
Sementara di sebagian lainnya, ada masyarakat yang justru
kesulitan luar biasa untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sangat
ironis, karena ini justru menjadi potret dari kebanyakan masyarakat kita. Oleh
karenanya, bagi kebanyakan masyarakat seperti di atas, berkurban dalam bentuk
menyembelih sapi ataupun kambing sungguh merupakan pengorbanan yang tak
ternilai. Apalagi bagi masyarakat di pedalaman yang masih menjadikan hewan
peliharaan (seperti sapi atau kambing) sebagai konsep perbankan: mereka menabung
setiap saat dengan memelihara hewan-hewan tersebut yang harganya diharapkan
terus bertambah.
Kondisi ini nyaris berbeda 180 derajat dengan apa yang di
alami oleh para elite ataupun ma syarakat mampu, khususnya bagi mereka yang
mempunyai rumah dan mobil mewah sampai puluhan. Bagi mereka, berkurban dengan
hewan sembelihan nyaris tak menyimpan sema ngat pengorbanan puncak, walaupun
hewan yang disembelih diimpor dari luar negeri. Hal ini terjadi karena hewan
yang mereka sembelih nyaris tak ada nilainya, khu susnya bila dibandingkan
dengan setumpuk kekayaan yang dimi liki. Alih-alih kurban yang dilakukan tak
jarang hanya dijadikan sebagai ajang pamer sosial.
Sejatinya, bagi para elite dan masyarakat mampu, yang
`disembelih' adalah rumah ataupun mobil mewahnya untuk kemudian dibagikan
secara merata kepada kalangan tidak mampu. Tak hanya sekadar sapi apalagi
kambing yang pada momentum Lebaran kurban seperti sekarang orang-orang miskin
pun sampai kewalahan menampungnya.
Inilah esensi keadilan sosial yang dicita-citakan oleh
Pancasila. Sampai hari ini, persoalan ini acap tidak tersentuh. Berbeda dengan
persoalanpersoalan lain yang seberapa pun peliknya, tapi mulai ada upaya untuk
memperbaikinya, termasuk persoalan penegakan hukum, korupsi, kebebasan dan yang
lainnya.
Lebaran kurban sejatinya dijadikan momentum oleh semua pihak untuk menegakkan keadilan sosial sebagai sila kelima dalam pancakenegaraan kita. Antara lain, dengan menyembelih nafsu hidup bermewah-mewahan dan bernuansa glamor.
Lebaran kurban sejatinya dijadikan momentum oleh semua pihak untuk menegakkan keadilan sosial sebagai sila kelima dalam pancakenegaraan kita. Antara lain, dengan menyembelih nafsu hidup bermewah-mewahan dan bernuansa glamor.
Kedua, menyembelih ketamakan. Apa yang kurang dari para
pejabat yang digaji sampai puluhan juta, kok mereka masih mengorupsi kekayaan
negara? Apalagi mereka juga sudah dilengkapi dengan mobil dan rumah dinas. Jawabannya
tak lain adalah ketamakan. Inilah yang membuat mereka yang sudah kaya dan raya
masih terus merasa kurang dan kurang. Hingga sebagian dari mereka tidak merasa
miris menjejer sejumlah mobil mewah di halaman rumahnya. Begitu juga dengan
rumah, apartemen dan harta kekayaan lainnya.
Ketamakan telah membuat sebagian elite bangsa ini buta
bahwa harta yang dimilikinya sudah lebih dari cukup untuk menutupi segala
kebutuhan, bahkan juga untuk keluarga dan keturunan mereka. Pun demikian,
ketamakan telah membuat sebagian elite bangsa ini buta bahwa harta yang
dimiliki didapat secara tidak halal. Sebagaimana ketamakan telah membuat
sebagian elite bangsa ini kehilangan rasa malu terhadap masyarakat yang tak
lain adalah pemilik sebenarnya atas kekayaan yang ada.
Ada sebuah pepatah Arab klasik yang mengatakan, seorang
hamba sahaya akan terlihat seperti raja bila dia tidak tamak. Sementara raja
diraja akan terlihat seperti hamba sahaya bila dia tamak. Inilah kurang lebih
yang kerap terjadi di Republik ini dalam beberapa waktu terakhir.
Sekumpulan anak-anak muda yang sebagian dari kalangan tidak
mampu telah disanjung-puja bagai raja diraja karena berhasil menegakkan
martabat republik dengan menjuarai AFF U-19. Sementara seorang Ketua Mahkamah
Konstitusi justru dicaci-maki oleh banyak orang akibat perbuatan haram yang
dilakukan.
Berbasis keluarga
Melalui peristiwa kurban, keluarga besar Nabi Ibrahim
mengajarkan kepada kita semua bahwa ketamakan dan hidup bermewah-mewahan tidak
akan pernah mengantarkan seseorang pada kejayaan dan kekayaan yang
sesungguhnya. Sebaliknya, kejayaan dan kekayaan sejati hanya bisa didapat
melalui semangat pengorbanan puncak dan hidup sederhana.
Demikianlah, keluarga Ibrahim yang dikenal hidup sederhana
justru menjadi keluarga teladan di kalangan keluarga besar orang-orang pilihan
Allah. Dikatakan demikian karena mayoritas dari 25 para nabi yang harus
diketahui umat Islam merupakan keturunan Nabi Ibrahim. Bahkan Nabi Ibrahim
mendapatkan julukan sebagai `Bapak para Nabi' (abul anbiya').
Oleh karenanya, sebagai bagian paling dasar dalam bangunan
kebangsaan, kehidupan keluarga harus senantiasa menjadi perhatian bersama.
Khususnya dalam membangun nilai-nilai kebangsaan, kesederhanaan, dan
keterbukaan. Seandainya ada bapak, anak, istri dan lainnya di Indonesia yang
mempunyai semangat pengorbanan puncak seperti Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan
Siti Hajar, hampir dipastikan bangsa ini akan mampu mengalahkan musuh-musuhnya,
khususnya korupsi. Inilah yang kita harapkan ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar