Kamis, 24 Oktober 2013

Dinasti Politik Mengancam Demokrasi

Dinasti Politik Mengancam Demokrasi
Fajar Kurnianto ;  Peneliti PSIK Universitas Paramadina Jakarta, Tinggal di Depok
SINAR HARAPAN, 22 Oktober 2013


Baru-baru ini kembali ramai disorot soal dinasti politik Ratu Atut, Gubernur Banten. Suami Atut, Hikmat Tomet, adalah anggota Komisi V DPR. Anak Atut, Andika Hazrumy, adalah anggota DPD dari Provinsi Banten periode 2009-2014. Adik kandung Atut, Ratu Tatu Chasanah, adalah Wakil Bupati Serang periode 2010-2015. Airin Rachmi Diany, istri adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana, adalah Wali Kota Tangerang Selatan periode 2011-2016. Menantu Atut, Ade Rossi Khoerunisa, yang juga suami dari anak Atut, Andika Hazrumy, adalah Wakil Ketua DPRD Kota Serang periode 2009-2014.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyinggung masalah dinasti politik, meskipun tidak secara tersurat menyebut kasus Banten, ternyata dia sendiri juga menciptakan hal sama di partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat.

Terbukti, dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) yang ada di data KPU, tercatat sebanyak 15 orang caleg Partai Demokrat merupakan keluarga besar Cikeas. Anak bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) di Partai Demokrat. Maka, ibarat pepatah, menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.

Menarik dicermati, pada saat demokrasi sedang bersemi, yang antara lain membuahkan desentralisasi kekuasaan, menggantikan sentralisasi kekuasaan di zaman Orde Baru (Orba), justru muncul dinasti-dinasti politik di daerah-daerah.

Secara perlahan, tampak mulai merangkak ke pemerintahan pusat. Nepotisme yang dulu coba diruntuhkan gerakan reformasi 1998, tampaknya mulai bertumbuhan dan mekar bersemi lagi tanpa disadari.

Model Monarki

Dinasti politik secara umum merujuk pada struktur kekuasaan model kerajaan atau monarki dahulu, di mana suatu keluarga mendominasi di dalamnya, dengan menempatkan orang-orang yang punya ikatan kerabat di tempat atau posisi penting kekuasaan. Banyak motif model ini dilakukan.
Utamanya adalah melanggengkan kekuasaan. Atau, berharap kekuasaan terwariskan kepada anggota keluarga, tidak jatuh kepada pihak lain. Demokrasi memang tetap digunakan, misalnya melalui penyelenggaraan pemilu, tetapi mesin-mesinnya sudah di bawah kontrol keluarga penguasa.

Berbagai argumentasi dikemukakan untuk mendukung kekuasaan model dinasti politik tersebut. Antara lain, dianggap memudahkan dan mempercepat realisasi program yang dirancang penguasa.
Hubungan antarlembaga juga akan terlihat harmonis tanpa “konflik” karena ada ikatan keluarga di situ. Jadi, meminimalisasi perdebatan dan penentangan berkepanjangan, misalnya di parlemen, yang dikhawatirkan menjadi penghambat. Banyak terjadi, program-program yang telah dirancang bisa mentah di parlemen. Dengan menempatkan anggota keluarga di parlemen, diharapkan ini tidak terjadi.

Sekilas argumentasi tersebut bisa diterima. Namun, jika dicermati lebih lanjut, banyak ditemukan lubang-lubang rawan dan berbahaya yang justru bisa merusak sistem demokrasi yang berintikan pada daulat rakyat, memunculkan potensi korupsi serta penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan
demi kepentingan kelompok tertentu. Demokrasi jelas berbeda dengan sistem dinasti. Demokrasi berakar dari rakyat, sementara dinasti berakar dari kekuatan keluarga. Aspek meritokrasi bisa terabaikan dalam model kekuasaan dinasti, karena yang jadi pertimbangan bukan prestasi atau kualitas, tetapi kekerabatan. Sementara demokrasi sesungguhnya menjunjung tinggi meritokrasi.

Potensi terjadinya korupsi dan penyelewengan kekuasaan juga besar dalam model dinasti politik. Akuntabilitas publik pun akan banyak terabaikan. Alih-alih rakyat berharap keterbukaan dalam penyelenggaraan kekuasaan, dalam model dinasti justru tertutup rapat.

Fungsi pengawasan parlemen juga akan menjadi lemah dan cenderung tidak kritis. Penyelenggaraan kekuasaan terlihat lebih sebagai sebuah proyek besar keluarga daripada proyek bersama untuk kepentingan bersama pula. Tender-tender proyek penguasa pun menjadi tidak fair, karena yang menang adalah bagian dari anggota keluarga juga.

Jadi, seperti sudah terencanakan sedari mula. Pada gilirannya, kekuasaan menjadi seperti tersentralisasi pada satu poros dalam satu lingkaran. Ini berbahaya bagi masa depan demokrasi. Ini dapat menjadi benih-benih munculnya kembali monarki, di mana kekuasaan dipegang oleh seseorang yang layaknya raja dengan struktur kekuasaan hingga tingkat bawah digenggam para kerabatnya. Jika demokrasi diterjemahkan sebagai daulat rakyat, dengan kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat; maka dalam dinasti politik kekuasaan dipegang oleh suatu keluarga yang akan terwariskan atau terus-menerus memegang kekuasaan, pada saat yang bersamaan.

Betul bahwa dalam sejarahnya, Indonesia yang masih dikenal bernama kepulauan Nusantara, pernah terdiri dari banyak kerajaan atau kekuasaan monarki.

Tetapi, kemudian semuanya sepakat lebur dalam Indonesia yang memilih sistem demokrasi setelah Proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, di mana rakyat menjelma dalam partai-partai politik, dan berperan di situ, sebagai wujud dari penghormatan dan penghargaan terhadap masing-masing individu warga yang bebas. Sebelum kemerdekaan, partai sebenarnya juga sudah ada. Misalnya, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Dalam demokrasi, meritokrasi yang dikedepankan, bukan kedekatan keluarga atau patron klien. Meritokrasi melahirkan sosok-sosok berkualitas yang telah melalui “seleksi alam” yang kuat dan ketat. Seseorang dipilih bukan karena kedekatan keluarga, tetapi karena prestasi, kapabilitas, integritas, dan seterusnya.

Dalam demokrasi yang berkualitas, partai politik bekerja keras mencari dan menyeleksi calon-calon penguasa yang berkualitas, bukan berpikir pragmatis mendukung seseorang karena alasan kedekatan keluarga. Mereka terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa popularitas seseorang berjalin berkelindan dengan kedekatan keluarga penguasa.

Dinasti politik akan banyak menyimpan potensi masalah ke depan karena minimnya akuntabilitas dan transparansi. Dalam konteks Ratu Atut di Banten, misalnya, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), anggaran hibah pada 2010 sebesar Rp 68 miliar belum dipertanggungjawabkan.
Adapun anggaran 2011 sebesar Rp 56,5 miliar belum dilaporkan penggunaannya. Untuk dana bantuan sosial BPK juga menilai janggal ihwal pengucuran dana Rp 7,8 miliar.

Disebutkan juga bahwa proyek pemerintah senilai lebih dari Rp 1 triliun dipegang oleh keluarga Ratu Atut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini jelas perlu menelusuri lebih lanjut. Ini baru di Banten, bagaimana dengan di tempat-tempat lainnya?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar