|
Saat
ini Indonesia sedang dirundung duka. Berita penangkapan Ketua Mahkamah
Konstitusi dan beberapa politisi baru-baru ini pertanda hukum di negeri ini
sedang porak-poranda. Kabar pelajar menyiramkan air raksa juga sungguh sangat
menyedihkan. Belum lagi informasi seorang ayah menjual anaknya, serta banyak
lagi berita lainnya yang sangat menyesakkan dada. Pendek kata, kini negara kita
dalam keadaan "sakit".
Memang
persoalan ini sangat kompleks dan saling kait-mengkait. Dari perspektif
pendidikan, tidak ada yang menyangkal bahwa pendidikan adalah landasan yang
sangat vital untuk proses kehidupan manusia selanjutnya. Untuk itu, pemaknaan
pendidikan harus didudukkan secara benar. Pendidikan jangan sampai direduksi
hanya sekadar peningkatan kepintaran dan keterampilan seseorang. Manusia
mempunyai jiwa yang hidup dan tidak sekadar robotik.
Manusia
dapat membuat robot dan mesin-mesin pintar, cepat, dan akurat, karena manusia
mempunyai jiwa (soul) yang dapat membangkitkan imajinasi, inovasi, dan
kreativitas. Robot atau mesin pintar sebagaimana pun canggihnya, sama sekali
tidak mempunyai komponen soul itu, sehingga tidak mungkin robot dapat
menciptakan apa pun. Robot hanya mempunyai wilayah keterampilan, sedangkan
manusia mampu menciptakan keterampilan. Dhus, reduksi pendidikan menjadi
pelatihan akan merusak komponen jiwa dan aspek kreativitas yang sangat vital
untuk memecahkan berbagai masalah melalui penemuan-penemuan sains dan
teknologi.
Manusia
bisa membuat berbagai alat canggih, seperti smartphone, tablet, mobil, pesawat,
jaringan internet, bioteknologi, dan teknologi menakjubkan lainnya, karena
manusia mempunyai soul. Di dalam jiwa inilah ada unsur-unsur kemanusiaan yang
tidak dimiliki produk buatan manusia. Jiwa itulah yang menggerakkan manusia
hingga dapat berimajinasi, berinovasi, dan berkreasi yang akhirnya mampu
menghasilkan konsep dan produk.
Tanpa
kekuatan jiwa kemanusiaan yang hakiki, jangan harap seorang manusia dapat
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan alam
sekitarnya. Manusia yang sudah kehilangan esensi kemanusiaannya hanya mampu
berpikir materialistis, short term, brutal, dan sadistis. Dhus, jangan heran
bila manusia seperti ini senang memanfaatkan jabatan, duniawi, memburu harta,
dan tahta melalui jalur-jalur yang tidak sehat. Kedudukan dan kepintaran sering
dipergunakan untuk mengelabui perilaku bejat yang dilakukannya. Maka, muncullah
fenomena suap, korupsi, dan perilaku sadis yang dilakukan oleh orang-orang
"cerdik pandai" yang tak bermoral.
Oleh
sebab itu, semua komponen bangsa perlu merenungkan kembali makna mendasar
pendidikan. Kita sering ribut mempersoalkan Ujian Nasional (UN) dan angka
partisipasi pendidikan, tetapi kita jarang menukik ke pembenahan pendidikan
secara hakiki dan mendasar. Makna pendidikan pun telah direduksi menjadi
pelatihan yang terlalu berorientasi pada kepintaran dan keterampilan saja.
Di
lain pihak, aspek moral diajarkan dalam bentuk hafalan, bukan pemaknaan moral
yang didukung oleh kondisi wilayah pendidikan yang bermoral. Pola pendidikan
yang sangat superfisial ini tidak akan mampu menghasilkan manusia-manusia
kreatif dan beradab. Negara ini akan semakin tergantung kepada negara lain,
termasuk masalah pangan dan energi. Padahal, kedua sektor itu sumbernya
berlimpah, maka jadilah fenomena paradoks yang berkepanjangan.
Akhirnya,
bila kita tidak mengembalikan makna pendidikan secara benar, janganlah kita
berharap Indonesia menjadi bangsa dan negara yang dihormati bangsa lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar