|
Perkembangan pasar dan toko tradisional di Indonesia dalam satu dekade
ini mundur signifikan. Bukan saja akibat persaingan, melainkan juga karena
perilaku dan selera belanja masyarakat yang mulai berubah.
Keberadaannya semakin terjepit ketika pemerintah dan DPR mulai
merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan, yang isinya dinilai
sebagian kalangan sebagai bentuk liberalisasi ekonomi dengan membuka karpet
merah bagi investor asing untuk berinvestasi dan melakukan penetrasi pasar.
Walaupun belum ada angka statistik pasti, kehadiran pasar swalayan yang
dianggap lebih bersih, lebih prima pelayanannya, dan lebih nyaman, yang
menjamur di mana-mana, menjadi ancaman nyata pasar dan toko kelontong tradisional
yang telah hidup berpuluh tahun. Merek-merek pasar swalayan luar negeri masuk
tanpa kendali.
Pangsa pasar swalayan terus meningkat, menguasai 41 persen pasar ritel
yang ada dan terus menggerus pangsa pasar tradisional hingga tinggal 59 persen
(AC Neilsen, 2012).
Dengan perkembangan jumlah outlet lebih dari 150 persen dalam
5 tahun terakhir, tanpa transformasi, keberadaan pasar tradisional akan habis
dalam satu dekade mendatang.
Kongsi ke koperasi
Padahal, kalau dikelola serius, pasar tradisional yang diintegrasikan
dengan toko-toko tradisional bisa menjadi kekuatan ekonomi bangsa.
Apalagi, pasar tradisional ini menjadi salah satu mata rantai
perdagangan produk pertanian, kerajinan, dan pangan olahan rumah tangga yang
berbasis di desa-desa mewakili kehidupan ekonomi rakyat.
Pasar tradisional dan toko-toko tradisional tentu tak dapat menyalahkan
perubahan perilaku konsumen.
Merekalah yang justru harus berubah dan berkolaborasi dari pola kongsi
menuju koperasi dan mengubah struktur pelaku pasar tradisional yang ada selama
ini.
Keberadaan pasar tradisional sebetulnya banyak menghidupi masyarakat
kecil yang menggantungkan hidup dari menjadi pedagang
lapak, blantik, bakul candak kulak, kuli panggul, tukang parkir,
buruh toko dan warung makan kecil, hingga menjadi pemiliknya. Namun, tak dapat
disangkal, selama ini mereka juga tak lepas dari cengkeraman pedagang besar,
preman, rentenir, serta jaringan pemasok produk pabrikan besar.
Kalau pasar tradisional ingin tetap bertahan, model kongsi para pedagang
harus ditransformasi ke arah koperasi yang pemiliknya meliputi seluruh pelaku
pasar. Baik itu pedagang, pemasok, pekerja, maupun konsumen dalam konsep
koperasi multistakeholder.
Melalui model koperasi pasar tradisional tersebut, pedagang kecil-kecil
dapat mengadakan pembelian bersama untuk produk-produk yang akan mereka jual
sehingga bisa mendapatkan nilai rabat yang besar.
Para pengusaha toko tradisional yang terintegrasi dalam koperasi dapat
memperluas kekuatan koperasi pasar tradisional ini.
Dengan pola koperasi, gaji para buruhnya juga bisa distandardisasi
sehingga pola hubungan kerja para pekerja toko menjadi jelas. Mereka tidak
dapat lagi diperlakukan semena-mena oleh pedagang, yang kebanyakan masih
menggaji mereka di bawah upah minimum dan tanpa jaminan sosial apa pun.
Nilai tambah
Pola koperasi juga memberikan nilai tambah kepada para pemasok karena
melalui kerja sama yang dimediasi koperasi pasar, pemasok rumah tangga yang
selama ini di bawah kendali harga mafia kartel besar bisa mendapatkan harga
layak.
Pola koperasi dapat menutup praktik pungutan liar dari retribusi
informal, yang selama ini berjalan di bawah kendali preman, dan kemudian dana
yang ada dapat dikumpulkan untuk menopang biaya perawatan serta pengembangan
pasar secara mandiri.
Melalui koperasi, para konsumen loyal yang hubungannya telah terbina
dapat menjadi anggota dan
mendapatkan rabat khusus yang menguntungkan mereka.
Bukan tidak mungkin mereka dapat juga menjadi kekuatan bersama membangun
bentuk-bentuk perusahaan pendukung, misalnya lembaga keuangan, asuransi, bahkan
pabrikan.
Dengan demikian, pasar tradisional dapat menciptakan sistem pendukung
yang memungkinkan untuk berkembang secara berkelanjutan tanpa harus takut
menghadapi penetrasi dari pasar swalayan, baik milik perorangan lokal maupun
luar negeri.
Untuk mengerem dan mengoposisi minimarket modern yang telah merangsek
masuk dengan kepemilikan asing, toko-toko tradisional yang ada, dengan inisiasi
pemerintah, dapat membentuk model koperasi konsumen yang menjadi bagian dari
jejaring pasar tradisional sebagai induknya.
Konsumen daerah permukiman dapat pula mendirikan toko-toko koperasi di
wilayahnya sehingga menjadi bagian penting pengembangan koperasi pasar
tradisional.
Seperti Singapura, ada satu jaringan ritel koperasi NTUC Fair Price yang
dimiliki oleh 500.000 warga Singapura.
Jaringan ini mampu memoderasi biaya hidup warga Singapura dan bahkan
menjadi jaringan masif yang menguasai 61 persen dari pasar ritel modern di
sana.
Pada akhirnya, pemerintah dan DPR sebagai aktor pembentuk regulasi dan
kebijakan harus memberikan batasan regulasi serta keberpihakan kebijakan untuk
melindungi yang kecil.
RUU Perdagangan yang disusun harus menunjukkan political will bagi perlindungan kepentingan nasional serta
distingsi yang memadai bagi masyarakat secara umum. Kecuali kalau mau
menggadaikan pasar kita kepada bangsa lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar