Kamis, 03 Oktober 2013

Membangun Koperasi Pasar Tradisional

Membangun Koperasi Pasar Tradisional
Suroto  ;  Wakil Ketua Induk Koperasi Konsumsi Indonesia;
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis;
Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia
KOMPAS, 02 Oktober 2013


Perkembangan pasar dan toko tradisional di Indonesia dalam satu dekade ini mundur signifikan. Bukan saja akibat persaingan, melainkan juga karena perilaku dan selera belanja masyarakat yang mulai berubah.

Keberadaannya semakin terjepit ketika pemerintah dan DPR mulai merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan, yang isinya dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk liberalisasi ekonomi dengan membuka karpet merah bagi investor asing untuk berinvestasi dan melakukan penetrasi pasar.
Walaupun belum ada angka statistik pasti, kehadiran pasar swalayan yang dianggap lebih bersih, lebih prima pelayanannya, dan lebih nyaman, yang menjamur di mana-mana, menjadi ancaman nyata pasar dan toko kelontong tradisional yang telah hidup berpuluh tahun. Merek-merek pasar swalayan luar negeri masuk tanpa kendali.

Pangsa pasar swalayan terus meningkat, menguasai 41 persen pasar ritel yang ada dan terus menggerus pangsa pasar tradisional hingga tinggal 59 persen (AC Neilsen, 2012).
Dengan perkembangan jumlah outlet lebih dari 150 persen dalam 5 tahun terakhir, tanpa transformasi, keberadaan pasar tradisional akan habis dalam satu dekade mendatang.

Kongsi ke koperasi

Padahal, kalau dikelola serius, pasar tradisional yang diintegrasikan dengan toko-toko tradisional bisa menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Apalagi, pasar tradisional ini menjadi salah satu mata rantai perdagangan produk pertanian, kerajinan, dan pangan olahan rumah tangga yang berbasis di desa-desa mewakili kehidupan ekonomi rakyat.
Pasar tradisional dan toko-toko tradisional tentu tak dapat menyalahkan perubahan perilaku konsumen.
Merekalah yang justru harus berubah dan berkolaborasi dari pola kongsi menuju koperasi dan mengubah struktur pelaku pasar tradisional yang ada selama ini.

Keberadaan pasar tradisional sebetulnya banyak menghidupi masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari menjadi pedagang lapak, blantik, bakul candak kulak, kuli panggul, tukang parkir, buruh toko dan warung makan kecil, hingga menjadi pemiliknya. Namun, tak dapat disangkal, selama ini mereka juga tak lepas dari cengkeraman pedagang besar, preman, rentenir, serta jaringan pemasok produk pabrikan besar.

Kalau pasar tradisional ingin tetap bertahan, model kongsi para pedagang harus ditransformasi ke arah koperasi yang pemiliknya meliputi seluruh pelaku pasar. Baik itu pedagang, pemasok, pekerja, maupun konsumen dalam konsep koperasi multistakeholder.

Melalui model koperasi pasar tradisional tersebut, pedagang kecil-kecil dapat mengadakan pembelian bersama untuk produk-produk yang akan mereka jual sehingga bisa mendapatkan nilai rabat yang besar.
Para pengusaha toko tradisional yang terintegrasi dalam koperasi dapat memperluas kekuatan koperasi pasar tradisional ini.

Dengan pola koperasi, gaji para buruhnya juga bisa distandardisasi sehingga pola hubungan kerja para pekerja toko menjadi jelas. Mereka tidak dapat lagi diperlakukan semena-mena oleh pedagang, yang kebanyakan masih menggaji mereka di bawah upah minimum dan tanpa jaminan sosial apa pun.

Nilai tambah

Pola koperasi juga memberikan nilai tambah kepada para pemasok karena melalui kerja sama yang dimediasi koperasi pasar, pemasok rumah tangga yang selama ini di bawah kendali harga mafia kartel besar bisa mendapatkan harga layak.

Pola koperasi dapat menutup praktik pungutan liar dari retribusi informal, yang selama ini berjalan di bawah kendali preman, dan kemudian dana yang ada dapat dikumpulkan untuk menopang biaya perawatan serta pengembangan pasar secara mandiri.

Melalui koperasi, para konsumen loyal yang hubungannya telah terbina dapat menjadi anggota dan 
mendapatkan rabat khusus yang menguntungkan mereka.

Bukan tidak mungkin mereka dapat juga menjadi kekuatan bersama membangun bentuk-bentuk perusahaan pendukung, misalnya lembaga keuangan, asuransi, bahkan pabrikan.

Dengan demikian, pasar tradisional dapat menciptakan sistem pendukung yang memungkinkan untuk berkembang secara berkelanjutan tanpa harus takut menghadapi penetrasi dari pasar swalayan, baik milik perorangan lokal maupun luar negeri.

Untuk mengerem dan mengoposisi minimarket modern yang telah merangsek masuk dengan kepemilikan asing, toko-toko tradisional yang ada, dengan inisiasi pemerintah, dapat membentuk model koperasi konsumen yang menjadi bagian dari jejaring pasar tradisional sebagai induknya.

Konsumen daerah permukiman dapat pula mendirikan toko-toko koperasi di wilayahnya sehingga menjadi bagian penting pengembangan koperasi pasar tradisional.

Seperti Singapura, ada satu jaringan ritel koperasi NTUC Fair Price yang dimiliki oleh 500.000 warga Singapura.

Jaringan ini mampu memoderasi biaya hidup warga Singapura dan bahkan menjadi jaringan masif yang menguasai 61 persen dari pasar ritel modern di sana.

Pada akhirnya, pemerintah dan DPR sebagai aktor pembentuk regulasi dan kebijakan harus memberikan batasan regulasi serta keberpihakan kebijakan untuk melindungi yang kecil.


RUU Perdagangan yang disusun harus menunjukkan political will bagi perlindungan kepentingan nasional serta distingsi yang memadai bagi masyarakat secara umum. Kecuali kalau mau menggadaikan pasar kita kepada bangsa lain.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar