Minggu, 06 Oktober 2013

Artefak

Artefak
Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 06 Oktober 2013


Dulu ada pepatah yang sekarang juga masih sering dipakai, meskipun tidak relevan lagi: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. 

Maksudnya, kalau pemimpin (atau orang tua) mencontohkan hal jelek, bawahan (anak) bisa melakukan yang lebih jelek lagi. Dari pepatah itu tersirat bahwa pada zaman dulu yang bagus itu bukan kencing sambil berdiri, tetapi sambil jongkok (pastinya bukan sambil tiduran, kecuali orang sakit). Maksudnya supaya air kencing tidak muncrat ke mana-mana. Tetapi zaman sekarang siapa (laki-laki) yang kencing tidak berdiri? Hampir tidak ada, kecuali yang kencing di WC sambil duduk atau jongkok. 

Kebanyakannya laki-laki kencing sambil berdiri saja, karena toilet model sekarang memang didesain untuk laki-laki kencing sambil berdiri. Sejak itu, pepatah di atas sebenarnya sudah tidak relevan karena kencing berdiri sudah dipercaya sebagai perilaku yang baik, yang wajar.

Didalam ilmu antropologi ada istilah ”budaya”, yang sudah diadopsi dalam kosakata seharihari masyarakat seperti budaya berlalu lintas, budaya mudik lebaran, budaya mengantre, atau budaya korupsi. Sebagian dari adopsi kata ”budaya” itu sebenarnya tidak tepat, karena maknanya direduksi menjadi kebiasaan, sehingga sebenarnya lebih tepat istilah budaya itu diganti dengan ”kebiasaan” saja, misalnya kebiasaan berlalu lintas, kebiasaan mudik lebaran, kebiasaan mengantre, atau kebiasaan korupsi. 

Tetapi bukan maksud saya di sini untuk berdiskusi semantik tentang budaya. Dalam psikologi, terutama oleh kaum behavioris (aliran yang hanya mengakui perilaku kasatmata sebagai obyek psikologi), budaya itu pun kerap dianggap sebagai kebiasaan saja. Di sini saya hanya ingin membicarakan bagaimana hubungan budaya atau kebiasaan itu dengan perilaku, dan bagaimana mengubah perilaku, melalui intervensi budaya. Profesor Koentjaraningrat (alm), guru besar ilmu Antropologi paling terkemuka di Indonesia (dari Universitas Indonesia) mengatakan (1979) bahwa ada tiga wujud budaya. 

Pertama ide, gagasan, norma, nilai atau kepercayaan (dalam bahasa psikologi: kognitif); kedua, aktivitas manusia dalam masyarakat (perilaku); dan ketiga benda-benda hasil budaya (artefak). Ketiga wujud budaya itu saling terkait. Kepercayaan (kognisi) tentang adanya Tuhan atau dewa-dewi dalam agama, misalnya, menimbulkan perilaku bersembahyang (menyembah Hyang), berdoa dan ritual keagamaan lainnya dan untuk melaksanakan perilaku itu dibuat bendabenda seperti tempat ibadah, benda-benda untuk beribadah misalnya tongkat, jubah, mangkuk (artefak). 

Dengan demikian perbedaan kepercayaan, otomatis berbeda perilaku dan berbeda artefak. Selama ini banyak orang percaya bahwa inti dari kebudayaan adalah kognisi. Karena itu, untuk mengubah perilaku, kita harus ubah norma-norma atau nilai-nilai yang ada di benak (kognisi) masyarakat dulu. Maka dari itu ketika menghadapi perilaku-perilaku yang salah, seperti melanggar lalulintas, perumka (penumpang ngerumpi di atap kereta api) atau korupsi, banyak orang (termasuk pakar) yang menuding pendidikan agama yang kurang porsinya dalam kurikulum atau budi pekerti yang sekarang sudah tidak lagi masuk kurikulum sebagai biang keroknya. Istilah sosialisasi, komunikasi, edukasi, dan penyebaran informasi jadi populer. 

Di mana-mana tertulis ”pelayanan gratis, tidak melayani calo”, di dada setiap polisi tersemat semboyan ”anti korupsi”, di jalan-jalan yang macet ditancap tanda S dicoret (dilarang berhenti di sini), dan seterusnya. Maksudnya agar kognisi orang diisi dengan informasi-informasi yang benar, sehingga tercapai masyarakat atau keluarga-keluarga yang sadar dan taat hukum, atau biasa disebut ”kadarkum”. Tetapi kadarkum yang didapat malah kadang sadar kadang kumat! Celakanya, dengan metode kadarkum, orang malah lebih banyak kumatnya daripada sadarnya. 

Karena itu, metode yang sekarang dianggap lebih efisien adalah langsung mengubah perilaku melalui artefak yang sengaja dibuat untuk mendorong perilaku tertentu saja dan menutup kemungkinan untuk berbuat yang lain. Toilet laki-laki (artefak) adalah contoh untuk memaksa orang kencing berdiri saja (perilaku), dan lama-lama orang percaya (kognitif) bahwa kencing berdiri buat laki-laki is OK-OK only (OK-OK saja). 

Buktinya, kalau kencing di balik pohon, lakilaki tetap berdiri walau tanpa artefak. Dengan demikian, kognitif diubah dari artefaknya, bukan artefak mengikuti kognitif. Dengan perkataan lain, proses perubahan budaya berjalan dari hilir ke hulu, bukan dari hulu ke hilir. 

Banyak contoh dari perubahan sistem pengubahan budaya melalui artefak dalam kehidupan sehari-hari, misalnya e-KTP. Dengan dukungan komputer dan sistem on-line (artefak modern) masyarakat didorong untuk punya satu KTP, otomatis tertutup sudah kemungkinan untuk membuat KTP ganda dan percaloan di bidang per-KTP-an. Lama-lama orang pun tidak percaya lagi pada KTP non-elektronik (kognitif). Contoh lain adalah KJS (Kartu Jakarta Sehat). 

Dengan KJS (artefak), masyarakat menyerbu rumah sakit, pihak RS kewalahan, tetapi tidak punya pilihan selain memperbaiki manajemen dan menambah sarana dan prasarana (perilaku) dan akhirnya orang percaya bahwa pelayanan RS harus murah tetapi sekaligus prima (kognitif). PT KAI (Kereta Api Indonesia) adalah contoh lain lagi. Artefak (stasiun, kereta api) dibersihkan dengan memaksa pihak KAI yang lain (Kelompok Asongan Indonesia) untuk minggir dari peron dan gerbong KA (perilaku). Dampaknya adalah stasiun dan perjalanan KA yang nyaman, dan penumpang pun sependapat bahwa KA harus bersih dari PKL dan pedagang asongan (kognitif).

Sekarang bagaimana dengan korupsi yang juga sudah membudaya? Nah, ini baru masalah, ini masalah baru. Soalnya hanya korupsi mini yang bisa dicegah dengan artefak (pelayanan Samsat, atau pembayaran rekening PLN), tetapi korupsi kelas ketua MK bisa dan biasa dilakukan tanpa artefak.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar