|
“Kita harus
memandang hukum sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur yang bisa jadi
penerang jalan hidup”
BEGITU heboh berita berita penangkapan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar sampai-sampai media-media internasional terkemuka,
seperti The New York Times, Washington Post, termasuk kantor berita Reuters dan
Aljazeera pun memberitakan. NYT misalnya, memberi judul berita itu dengan ”Top Indonesian Judge Held in Corruption
Case”. Korupsi bukan lagi harus diberantas secara hukum melainkan dunia
hukum itu sendiri telah dipenuhi praktik-praktik korupsi.
Bila selama ini korupsi itu diidentikkan dengan “mencuri” uang negara, yang terjadi
dalam dunia penegakan hukum justru korupsi berupa upaya kontrapenegakan hukum
itu sendiri. Makin kuat praktik korupsi di sebuah negara, penegakan hukumnya
pun makin lemah. Bahkan, korupsi dan penegakan hukum itu bermetamorfosis secara
simbiotik. Karena itu, hukum tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya alat
pemberantas korupsi.
Apalagi kalau hukum itu hanya dimaknai sebagai perangkat
undang-undang, formal justice, atau legal justice. Pemaknaan semacam itu hanya
menganggap hukum tak lebih dari sekadar aturan dan teks-teks yuridis untuk
mengukur perilaku dengan standar kaidah boleh atau tidak boleh. Jika itu yang
terjadi maka hukum akan terdeviasi ke titik terendah sebagaimana dikhawatirkan
Rothwax, mantan hakim Amerika yang melontarkan keprihatinannya dengan
mengatakan, ”hukum hanyalah tempat
permainan untuk mencari menang atau kalah”.
Penyakit Hukum
Adalah pakar-pakar hukum semacam Alan Dershowitz dan Marc Galanter
yang sudah sejak lama selalu menunjukkan sisi kelam dari modernisasi sistem
penegakam hukum. Secara absolut para teoretisi dan praktisi hukum selalu
menahbiskan nilai-nilai keadilan dan kebenaran sebagai ruang suci bagi
persemaian dunia hukum. Tapi keduanya justru ‘’mencurigai’’ postur dan praktik
sistem penegakan hukum modern dipenuhi dengan ambisi-ambisi ekonomis yang
sejatinya justru antikeadilan.
Bahkan Dershowitz dengan penuh keyakinan mengatakan,
ìironisnya adalah bahwa makin maju dan makin canggih praktik hukum maka makin
besar pula peluang untuk mendayagunakan hukum secara antikeadilanî.
Hipotesis (saya sebut demikian supaya batin dan nurani kita
tidak runtuh) ini seakan-akan menemukan ruang yang sangat aktual berkait
rangkaian fakta di negara kita. Berapa banyak polisi, jaksa, hakim, dan advokat
menampilkan sisi-sisi antikeadilan dalam menerapkan penegakan hukum.
Penangkapan aparatur penegak hukum karena praktik penistaan hukum seperti
menimpa Akil hanyalah fenomena pucuk gunung es.
Karena itu, kenaifan terhukum harus mulai dihapus secara
kritis dengan memandang hukum bukan lagi sekadar perangkat aturan atau
undang-undang. Kita perlu memandang hukum sebagai manifestasi dari nilai-nilai
luhur yang dapat menjadi penerang jalan hidup bersama menuju kedamaian,
harmoni, dan keadilan secara individual dan sosial.
Celakanya, mengutip antropolog besar Indonesia Koentjaraningrat,
masyarakat kita memiliki empat karakter yang cenderung negatif. Pertama; sikap
tak sadar akan arti dan kualitas. Sikap ini menjadikan perilaku sosial kita
menjadi minimalis dan asal-asalan. Memandang hukum pun asal-asalan. Memangku jabata, serta mengangkat
dan menempatkan orang pada jabatan/posisi tertentu juga asal-asalan, sehingga
menjadikan semua kualitas perilaku sosial kita juga asal-asalan dan minim
kualitas.
Kedua; sikap untuk mencapai tujuan secepatnya tanpa
berproses secara kerja keras. Sikap ini menjadikan kita cenderung menghalalkan
segala cara meski itu dilakukan dengan cara paling naif sekalipun. Misalnya,
seorang yang seharusnya menegakkan hukum, karena kepentingan ekonomi atau
kepentingan lain, justru membonsai hukum itu sendiri asalkan tujuannya cepat
tercapai.
Ketiga; sikap tak bertanggung jawab. Sikap inilah yang
paling merusak sebab orang tidak pernah mengaku bersalah dan karena itu tidak
mau bertanggung jawab atas kesalahannya. Bagaimana mungkin orang yang sudah
disumpah untuk memegang jabatan tertentu dan dia diberi fasilitas atas
jabatannya itu, justru merusak sumpah dan jabatan itu sendiri.
Keempat; sikap apatis dan lesu. Sikap ini sebuah
ketidakpedulian dan mudah menyerah terhadap keadaan, bahkan cenderung mengeluh.
Sikap ini tidak menggambarkan etos kuat, dedikasi tinggi, dan penuh komitmen
terhadap tugas dan cita-cita bangsa. Jika elite bangsa, termasuk juga elite
penegak hukum yang dimanjakan dengan fasilitas negara, ternyata lahir dari
sikap-sikap ini, sesungguhnya negara ini tengah dipimpin orang-orang yang
salah.
Kembali ke Moral
Sudah saatnya kita menyadari bahwa poros kehidupan ini
adalah manusia. Manusia yang baik mampu menampilkan kehidupan yang baik.
Begitu juga dengan dunia hukum. Penegak hukum yang baik, mampu menjalankan roda
penegakan hukum yang baik pula. Sebaliknya, sebaik apa pun sistem, jika
dikendalikan orang-orang yang tidak baik maka akan menghasilkan produk
penegakan hukum yang tidak baik pula.
Setidak-tidaknya, ada tiga tujuan penting memberi fondasi
moral. Pertama; kemunculan kesadaran internal secara autentik bahwa
kejujuran, kebenaran, dan keadilan merupakan nilai-nilai yang harus
dipertahankan dan dijunjung tinggi. Kesadaran ini bersifat self-control atau ibda’
binnafsi. Semua itu membangun kematangan jiwa dan kedewasaan paripurna yang
tumbuh secara alami. Sikap ini akan imun terhadap godaan dan rayuan yang
bersifat materalistik.
Kedua; terbangun kesadaran transsendental bahwa jabatan itu
merupakan kesementaraan dan harus dipertanggungjawabkan baik secara awam maupun
secara khaliqi di hadapan Tuhan. Pertanggungjawaban secara transendetal
tidak mungkin diselesaikan secara suap atau gratifikasi. Dengan kesadaran
semacam ini, peluang untuk terjadi penyimpangan semakin kecil. Dengan demikian
kita bisa berekspektasi bahwa penegakan hukum akan lebih murni, jurur, adil,
dan dijiwai semangat kebenaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar