|
Dalam
beberapa bulan terakhir, Indonesia terus menjadi sorotan dunia seiring
silih-bergantinya event-event
internasional diselenggarakan di sejumlah kota di Indonesia. Mulai Miss World 2013 yang disiarkan ke 163
negara di dunia, lalu Islamic Solidarity
Games (ISG) di Palembang yang menyedot perhatian negara-negara Islam,
hingga akhirnya KTT Asia Pacific Economic
Cooperation (APEC) Indonesia 2013 di Bali yang kini tengah
berlangsung.
Banyaknya hajatan-hajatan kelas dunia dihelat di Indonesia ini juga sekaligus menunjukkan kapasitas ekonomi kita. Gampangnya begini, tidak mungkin Indonesia dipercaya menjadi host sejumlah event internasional bila ekonominya morat-marit. Gambaran pertumbuhan di atas 6% dalam empat tahun terakhir (tahun 2012 terbaik kedua setelah China) menunjukkan stabilitas, daya tahan dan posisi kita yang tengah melangkah maju untuk terus memperbaiki fundamen ekonomi.
APEC merupakan forum “kerja bakti” antar negara-negara Asia-Pasifik yang didirikan tahun 1989. Disebut kerja bakti karena tidak ada paksaan bagi negara-negara di kawasan tersebut untuk bergabung. Presiden Soeharto, yang terlibat aktif di awal organisasi ini memilih untuk bergabung, karena Indonesia di masa depan tak bisa dipisahkan dari perkembangan kawasan dan dunia. Lihat saja misalnya negara-negara Asia yang masih menutup diri—seperti Myanmar dan Korea Urata—secara kasat mata kinerja ekonominya jauh di bawah negara-negara yang mau suka rela bergabung dalam kerja bakti kawasan itu.
Ini bisa dimaklumi, mengingat tren ekonomi dunia yang kian terintegrasi seiring makin menipisnya barrier yang sebelumnya menjadi penghalang pedagangan dan people to people contact. Bahkan Myanmar-pun akhir-akhirnya membuka diri dan memulai pembangunan era baru Burma pasca junta militer.
Dalam sejarahnya, APEC telah mengadakan Summit sebanyak 21 kali, dengan Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang pernah menggelar KTT dua kali. Indonesia pertama kali menggelar APEC tahun 1994 dan yang kedua tahun ini. Pentingnya APEC bagi Indonesia dapat dilihat dari opportunity forum ini, baik dilihat dari populasi, GDP maupun volume perdagangan. Populasi negara-negara APEC adalah 40 persen dari total penduduk dunia. Dengan keberadaan sejumlah negara maju dan emerging di APEC, maka banyak peluang yang bisa kita manfaatkan. Tentu semua tergantung kreativitas, inovasi dan kemampuan pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat Indonesia.
Selain potensi populasi, APEC juga menyuguhkan lebih dari 55 persen GDP dunia yang berada di negara-negara APEC. Belum lagi statistik perdagangan dunia, dimana 45%-nya dicatat negara-negara forum “kerja bakti” ini. Maka tak heran bila Rusia, negara yang berada di Eropa—di luar lingkup Asia pasifik—sampai rela “kerja bakti” di APEC, ini mengindikasikan bahwa banyak opportunity yang bisa dimaksimalkan oleh forum ini.
Barangkali idiom “kerja bakti” bagi forum APEC tampaknya tidaklah salah. Ini terlihat dari logo APEC Indonesia 2013 yang terdiri dari bilah-bilah bambu yang berjajar, menyusun, membentuk kekuatan. Namun sebagaimana karakteristik bambu, APEC diharapkan mampu menahan setiap guncangan secara lentur tapi tidak sampai patah. Bambu bila diterjang angin kencang akan bergerak ke kiri dan kanan sebuai arah angin. Tetapi ia akan kembali tegak saat angin telah lewat. Itulah filosofi bambu yang dijadikan logo APEC 2013.
Banyaknya hajatan-hajatan kelas dunia dihelat di Indonesia ini juga sekaligus menunjukkan kapasitas ekonomi kita. Gampangnya begini, tidak mungkin Indonesia dipercaya menjadi host sejumlah event internasional bila ekonominya morat-marit. Gambaran pertumbuhan di atas 6% dalam empat tahun terakhir (tahun 2012 terbaik kedua setelah China) menunjukkan stabilitas, daya tahan dan posisi kita yang tengah melangkah maju untuk terus memperbaiki fundamen ekonomi.
APEC merupakan forum “kerja bakti” antar negara-negara Asia-Pasifik yang didirikan tahun 1989. Disebut kerja bakti karena tidak ada paksaan bagi negara-negara di kawasan tersebut untuk bergabung. Presiden Soeharto, yang terlibat aktif di awal organisasi ini memilih untuk bergabung, karena Indonesia di masa depan tak bisa dipisahkan dari perkembangan kawasan dan dunia. Lihat saja misalnya negara-negara Asia yang masih menutup diri—seperti Myanmar dan Korea Urata—secara kasat mata kinerja ekonominya jauh di bawah negara-negara yang mau suka rela bergabung dalam kerja bakti kawasan itu.
Ini bisa dimaklumi, mengingat tren ekonomi dunia yang kian terintegrasi seiring makin menipisnya barrier yang sebelumnya menjadi penghalang pedagangan dan people to people contact. Bahkan Myanmar-pun akhir-akhirnya membuka diri dan memulai pembangunan era baru Burma pasca junta militer.
Dalam sejarahnya, APEC telah mengadakan Summit sebanyak 21 kali, dengan Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang pernah menggelar KTT dua kali. Indonesia pertama kali menggelar APEC tahun 1994 dan yang kedua tahun ini. Pentingnya APEC bagi Indonesia dapat dilihat dari opportunity forum ini, baik dilihat dari populasi, GDP maupun volume perdagangan. Populasi negara-negara APEC adalah 40 persen dari total penduduk dunia. Dengan keberadaan sejumlah negara maju dan emerging di APEC, maka banyak peluang yang bisa kita manfaatkan. Tentu semua tergantung kreativitas, inovasi dan kemampuan pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat Indonesia.
Selain potensi populasi, APEC juga menyuguhkan lebih dari 55 persen GDP dunia yang berada di negara-negara APEC. Belum lagi statistik perdagangan dunia, dimana 45%-nya dicatat negara-negara forum “kerja bakti” ini. Maka tak heran bila Rusia, negara yang berada di Eropa—di luar lingkup Asia pasifik—sampai rela “kerja bakti” di APEC, ini mengindikasikan bahwa banyak opportunity yang bisa dimaksimalkan oleh forum ini.
Barangkali idiom “kerja bakti” bagi forum APEC tampaknya tidaklah salah. Ini terlihat dari logo APEC Indonesia 2013 yang terdiri dari bilah-bilah bambu yang berjajar, menyusun, membentuk kekuatan. Namun sebagaimana karakteristik bambu, APEC diharapkan mampu menahan setiap guncangan secara lentur tapi tidak sampai patah. Bambu bila diterjang angin kencang akan bergerak ke kiri dan kanan sebuai arah angin. Tetapi ia akan kembali tegak saat angin telah lewat. Itulah filosofi bambu yang dijadikan logo APEC 2013.
Dilengkapi dengan tema Resilient Asia Pasific : Engine of Global Growth atau Asia Pasifik yang Tangguh : Mesin
Pertumbuhan Ekonomi Global, Indonesia sebagai tuan rumah menetapkan tiga
prioritas, yaitu mencapai Bogor Goals,
pertumbuhan berkelanjutan dan berkeadilan, serta konektivitas.
Pertama, implementasi Bogor Goals yang tak lain merupakan deklarasi KTT APEC 1994 di Bogor, yang bertujuan menciptakan liberalisasi sistem perdagangan dan investasi tahun 2010 untuk negara maju, dan selambat-lambatnya tahun 2020 bagi negara berkembang. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan bahwa ekonomi APEC telah mencapai kemajuan luar biasa menuju pencapaian Bogor Goals.
Walaupun begitu, meskipun APEC telah mengurangi tarif rata-rata dari 16,9 persen pada tahun 1989 menjadi 5,7 persen pada 2011, namun tindakan seperti prosedur kepabeanan yang panjang dan infrastruktur transportasi yang buruk masih menjadi tantangan untuk berdagang. Oleh karenanya, semua negara akan terus bekerja untuk membebaskan perdagangan dan investasi, serta integrasi ekonomi kawasan yang lebih mendalam.
Kedua, mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan yang berkeadilan. Tantangan terberat saat ini adalah pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang terus meningkat yang jumlahnya mencapai 7 miliar jiwa. Pada tahun 2045, jumlah ini diperkirakan menjadi 9 miliar orang. Peningkatan terbesar terjadi di kawasan Asia-Pasifik, yang membuat beban terhadap pasokan energi, pangan, dan air.
Untuk mencapai tujuan APEC, penting bari negara-negara anggota untuk mempertahankan jalur pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. APEC harus berupaya untuk fokus pada pemberdayaan ekonomi, keterlibatan stakeholder, peningkatan daya saing global UKM melalui inovasi dan meningkatkan produktivitas perempuan dalam perekonomian.
Ketiga, meningkatkan konektivitas. Munculnya teknologi baru telah membuka cara baru bagi orang untuk melakukan bisnis dengan satu sama lain di seluruh negara. Oleh karena itu, peningkatan konektivitas menjadi prioritas penting. SBY percaya peningkatan yang berfokus pada konektivitas, kelembagaan, dan people-to-people contact akan membantu mengintegrasikan wilayah Asia-Pasifik. Ini juga akan memfasilitasi arus barang, jasa, modal, dan orang-orang dari kawasan ini.
Dalam merespons tiga prioritas APEC hasil intervensi Indonesia di atas, kita sejauh ini tidak berada pada titik nol, melainkan sudah memiliki sejumlah modal untuk menghadapi persaingan. McKinsey memprediksi peluang bisnis di Indonesia akan meningkat hingga 1,8 triliun dolar AS pada tahun 2030. Persepsi linear juga disuarakan pelaku bisnis dunia yang setidaknya terlihat dari hasil survei terbaru Pricewaterhouse Coopers (PwC) terhadap 500 chief executive officers (CEO) di negara-negara Asia Pasifik (APEC).
Pertama, implementasi Bogor Goals yang tak lain merupakan deklarasi KTT APEC 1994 di Bogor, yang bertujuan menciptakan liberalisasi sistem perdagangan dan investasi tahun 2010 untuk negara maju, dan selambat-lambatnya tahun 2020 bagi negara berkembang. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan bahwa ekonomi APEC telah mencapai kemajuan luar biasa menuju pencapaian Bogor Goals.
Walaupun begitu, meskipun APEC telah mengurangi tarif rata-rata dari 16,9 persen pada tahun 1989 menjadi 5,7 persen pada 2011, namun tindakan seperti prosedur kepabeanan yang panjang dan infrastruktur transportasi yang buruk masih menjadi tantangan untuk berdagang. Oleh karenanya, semua negara akan terus bekerja untuk membebaskan perdagangan dan investasi, serta integrasi ekonomi kawasan yang lebih mendalam.
Kedua, mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan yang berkeadilan. Tantangan terberat saat ini adalah pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang terus meningkat yang jumlahnya mencapai 7 miliar jiwa. Pada tahun 2045, jumlah ini diperkirakan menjadi 9 miliar orang. Peningkatan terbesar terjadi di kawasan Asia-Pasifik, yang membuat beban terhadap pasokan energi, pangan, dan air.
Untuk mencapai tujuan APEC, penting bari negara-negara anggota untuk mempertahankan jalur pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. APEC harus berupaya untuk fokus pada pemberdayaan ekonomi, keterlibatan stakeholder, peningkatan daya saing global UKM melalui inovasi dan meningkatkan produktivitas perempuan dalam perekonomian.
Ketiga, meningkatkan konektivitas. Munculnya teknologi baru telah membuka cara baru bagi orang untuk melakukan bisnis dengan satu sama lain di seluruh negara. Oleh karena itu, peningkatan konektivitas menjadi prioritas penting. SBY percaya peningkatan yang berfokus pada konektivitas, kelembagaan, dan people-to-people contact akan membantu mengintegrasikan wilayah Asia-Pasifik. Ini juga akan memfasilitasi arus barang, jasa, modal, dan orang-orang dari kawasan ini.
Dalam merespons tiga prioritas APEC hasil intervensi Indonesia di atas, kita sejauh ini tidak berada pada titik nol, melainkan sudah memiliki sejumlah modal untuk menghadapi persaingan. McKinsey memprediksi peluang bisnis di Indonesia akan meningkat hingga 1,8 triliun dolar AS pada tahun 2030. Persepsi linear juga disuarakan pelaku bisnis dunia yang setidaknya terlihat dari hasil survei terbaru Pricewaterhouse Coopers (PwC) terhadap 500 chief executive officers (CEO) di negara-negara Asia Pasifik (APEC).
Survei menunjukkan 68 persen para petinggi perusahaan
tersebut berencana meningkatkan investasinya beberapa tahun ke depan.
Setidaknya ada tiga negara yang menjadi tujuan investasi utama para CEO APEC
untuk 3-5 tahun ke depan yaitu China urutan pertama, Indonesia urutan kedua dan
AS urutan ketiga. Ini sekali lagi menegaskan posisi Indonesia yang cukup
strategis dalam APEC.
Dalam konteks tersebut, menjadi menarik menyimak pandangan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa mengenai fenomena pergeseran kekuatan ekonomi dari Barat ke Timur, dari Eropa-Amerika ke Asia. Hatta menganalisis, di tengah krisis yang melanda Eropa-Amerika dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara Asia justru membukukukan pertumbuhan dan kestabilan ekonomi.
Indikasinya, total nilai volume perdagangan di Asia tahun 2012 mencapai USD 1,8 triliun sedangkan Indonesia saat ini meningkat 10 kali lipat mencapai USD 290 miliar. Keyakinan Hatta diperkuat hasil riset IHS Global Insight yang berbasis di AS, dimana lembaga ini menyatakan ekonomi Eropa saat ini berada pada periode “dasawarsa yang hilang” yang dimulai pada tahun 2008. Di sinilah kita seharusnya memaknai KTT APEC 2013. ●
Dalam konteks tersebut, menjadi menarik menyimak pandangan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa mengenai fenomena pergeseran kekuatan ekonomi dari Barat ke Timur, dari Eropa-Amerika ke Asia. Hatta menganalisis, di tengah krisis yang melanda Eropa-Amerika dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara Asia justru membukukukan pertumbuhan dan kestabilan ekonomi.
Indikasinya, total nilai volume perdagangan di Asia tahun 2012 mencapai USD 1,8 triliun sedangkan Indonesia saat ini meningkat 10 kali lipat mencapai USD 290 miliar. Keyakinan Hatta diperkuat hasil riset IHS Global Insight yang berbasis di AS, dimana lembaga ini menyatakan ekonomi Eropa saat ini berada pada periode “dasawarsa yang hilang” yang dimulai pada tahun 2008. Di sinilah kita seharusnya memaknai KTT APEC 2013. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar