|
Kerja sama
KPU dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) tetap menjadi perdebatan saat ini
walaupun sebagian DPR mendukung kerja sama tersebut. Pelibatan Lemsaneg dalam
pengamanan data Pemilu 2014 tujuannya baik yakni mengantisipasi serangan
“hacker” (peretas). Namun, risiko yang ditimbulkan, Lemsaneg akan sulit
bertindak netral.
Dalam
sistem demokrasi yang kita jalankan hari ini sah-sah saja dan tak ada larangan
untuk mempertanyakan kerja sama KPU dengan Lemsaneg. Kalau kita bandingkan
dengan Pemilu 1999, 2004, dan 2009 tanpa kerja sama dengan Lemsaneg pun, data
KPU terbukti relatif aman.
Sebelum
menganalisis lebih dalam lagi, tentu kita harus mengetahui apa dan seperti apa
cara kerja Lemsaneg? Lemsaneg resmi terbentuk melalui perintah lisan Menteri
Pertahanan. Dahulu lembaga ini bernama Dinas Kode yang kemudian berganti
menjadi Djawatan Sandi.
Pada
1950, terjadi pemisahan struktur organisasi sehingga Lemsaneg yang awalnya
berada di bawah Kementerian Pertahanan, kini berada langsung di bawah Presiden.
Nama Lembaga Sandi Negara sendiri mulai dipakai tahun 1972.
Visi
Lemsaneg yaitu menjadi penyelenggara dan pembina tunggal persandian negara
dalam menjamin keamanan informasi berklasifikasi milik pemerintah atau negara
serta menyajikan hasil pengupasan informasi bersandi guna turut serta menjaga
keamanan nasional.
Lemsaneg
adalah bagian dari perangkat intelijen nasional. Lembaga intelijen mempunyai
sistem dan cara kerja yang tertutup. Bahkan, beberapa fakta masa lalu
menunjukkan bahwa lembaga semacam ini tidak tersentuh oleh sistem. Lembaga
intelijen seperti itu, hanya bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Sistem
kerja Lemsaneg memakai garis komando bukan garis hitam putus-putus, artinya
Lemsaneg dalam menjalankan tugas-tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden
RI dalam memberikan analisis hasil kerjanya.
Banyak
pihak yang tidak menampik kemungkinan keterlibatan Lemsaneg berbahaya dan
berisiko tinggi. Hal ini dapat terjadi ketika ada kemudian celah intervensi
oleh presiden sebagai partai berkuasa (ruling
party) konsekuensinya ada satu poin penting dari pilar pemilu yang
terkurangi yaitu independen.
Pengawasan
Wajar
saja kecurigaan itu muncul karena belum jelasnya cara kerja, sejauh mana
kewenangan dan fungsi Lamsaneg dalam proteksi data KPU. Selama Lemsaneg bekerja
sesuai dengan visi dan misinya tentu tak akan jadi persoalan. Namun, akan jadi
kemarahan publik ketika Lemsaneg melakukan di luar tugas-tugas tersebut dan
membawa misi lain.
Pada
dasarnya penyelenggaraan KPU bersifat independen, jauh dari intervensi negara
atau pun pemerintah.
Keterlibatan
Lemsaneg dalam pengamanan data pemilu awal tujuannya baik, tetapi semua
kemungkinan bisa terjadi termasuk konspirasi untuk kemenangan partai tertentu
dalam pemilu. Tak bisa dinafikan Lemsaneg itu bagian dari intelijen negara.
Kita tahu cara kerja intelijen dan bagaimana ia bekerja.
Yang
menjadi pertanyaan kemudian siapa yang bisa menjamin tidak akan terjadi
rekayasa dan modifikasi dalam sistem informasi Lemsaneg? Salah satu solusinya
adalah masyarakat dan rakyat harus mengawasi cara kerja lembaga ini, tetapi
sulit untuk berpikir bagaimana mungkin kemudian rakyat mampu mengawasi kerja
sebuah badan intelijen.
Tak
salah parpol seperti PDIP dan PKS mempertanyakan maksud kerja sama antara KPU
dengan Lemsaneg, PDIP misalnya mempertanyakan penandatanganan kerja sama itu.
PDIP
minta KPU dan Lemsaneg menjelaskan, seperti apa bentuk kerja sama di antara
mereka. Sekretaris Jenderal PDIP, Tjahjo Kumolo mengatakan, jangan sampai
akibat kerja sama tersebut, KPU justru menjadi alat Lemsaneg.
Menurut
politikus PKS Hidayat Nurwahid mengatakan, “Seharusnya
sebagai lembaga negara yang berorientasi dengan intelijen, Lemsaneg harus
bekerja di bawah tugas dan fungsinya. Secara prinsip, memang Lemsaneg harusnya
jadi lembaga independen, tetapi dia bagian dari negara, kekhawatiran akan
muncul kalau tak ada pengawasan dan tranparansi cara kerjanya”.
Rakyat
Indonesia mendukung agar KPU bisa bekerja secara independen, bebas dari
intervensi penguasa. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri ada kemungkinan
intervensi tidak terjadi terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Hal ini dapat
tergambarkan dari kalahnya Megawati pada pemilu 2004. Padahal, waktu itu
Megawati Soekarnoputri adalah presiden yang sedang berkuasa (incumbent).
Sebagai
negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional, penyelenggaraan pemilu
harus dipastikan berlangsung secara independen dan transparan. Kerja sama KPU
dengan Lemsaneg patut diwaspadai.
Kerja
sama tersebut di satu sisi melahirkan keparipurnaan sistem pemilu. Namun, di
sisi lain bisa mengganggu demokratisasi Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Sekali lagi kita harus awasi
tugas dan kerja Lemsaneg dengan KPU dalam penyelenggaraan pemilu. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar