Kamis, 10 Oktober 2013

Menimbang Kerja Sama KPU-Lemsaneg

Menimbang Kerja Sama KPU-Lemsaneg
Pangi Syarwi  Dosen FISIP Universitas Bung Karno
SINAR HARAPAN, 09 Oktober 2013
Bandingkan dengan artikel Penulis yang sama di KORAN JAKARTA 09 Oktober 2013


Kerja sama KPU dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) tetap menjadi perdebatan saat ini walaupun sebagian DPR mendukung kerja sama tersebut. Pelibatan Lemsaneg dalam pengamanan data Pemilu 2014 tujuannya baik yakni mengantisipasi serangan “hacker” (peretas). Namun, risiko yang ditimbulkan, Lemsaneg akan sulit bertindak netral.

Dalam sistem demokrasi yang kita jalankan hari ini sah-sah saja dan tak ada larangan untuk mempertanyakan kerja sama KPU dengan Lemsaneg. Kalau kita bandingkan dengan Pemilu 1999, 2004, dan 2009 tanpa kerja sama dengan Lemsaneg pun, data KPU terbukti relatif aman.

Sebelum menganalisis lebih dalam lagi, tentu kita harus mengetahui apa dan seperti apa cara kerja Lemsaneg? Lemsaneg resmi terbentuk melalui perintah lisan Menteri Pertahanan. Dahulu lembaga ini bernama Dinas Kode yang kemudian berganti menjadi Djawatan Sandi.

Pada 1950, terjadi pemisahan struktur organisasi sehingga Lemsaneg yang awalnya berada di bawah Kementerian Pertahanan, kini berada langsung di bawah Presiden. Nama Lembaga Sandi Negara sendiri mulai dipakai tahun 1972.

Visi Lemsaneg yaitu menjadi penyelenggara dan pembina tunggal persandian negara dalam menjamin keamanan informasi berklasifikasi milik pemerintah atau negara serta menyajikan hasil pengupasan informasi bersandi guna turut serta menjaga keamanan nasional.

Lemsaneg adalah bagian dari perangkat intelijen nasional. Lembaga intelijen mempunyai sistem dan cara kerja yang tertutup. Bahkan, beberapa fakta masa lalu menunjukkan bahwa lembaga semacam ini tidak tersentuh oleh sistem. Lembaga intelijen seperti itu, hanya bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Sistem kerja Lemsaneg memakai garis komando bukan garis hitam putus-putus, artinya Lemsaneg dalam menjalankan tugas-tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI dalam memberikan analisis hasil kerjanya.

Banyak pihak yang tidak menampik kemungkinan keterlibatan Lemsaneg berbahaya dan berisiko tinggi. Hal ini dapat terjadi ketika ada kemudian celah intervensi oleh presiden sebagai partai berkuasa (ruling party) konsekuensinya ada satu poin penting dari pilar pemilu yang terkurangi yaitu independen.

Pengawasan

Wajar saja kecurigaan itu muncul karena belum jelasnya cara kerja, sejauh mana kewenangan dan fungsi Lamsaneg dalam proteksi data KPU. Selama Lemsaneg bekerja sesuai dengan visi dan misinya tentu tak akan jadi persoalan. Namun, akan jadi kemarahan publik ketika Lemsaneg melakukan di luar tugas-tugas tersebut dan membawa misi lain.

Pada dasarnya penyelenggaraan KPU bersifat independen, jauh dari intervensi negara atau pun pemerintah.

Keterlibatan Lemsaneg dalam pengamanan data pemilu awal tujuannya baik, tetapi semua kemungkinan bisa terjadi termasuk konspirasi untuk kemenangan partai tertentu dalam pemilu. Tak bisa dinafikan Lemsaneg itu bagian dari intelijen negara. Kita tahu cara kerja intelijen dan bagaimana ia bekerja.

Yang menjadi pertanyaan kemudian siapa yang bisa menjamin tidak akan terjadi rekayasa dan modifikasi dalam sistem informasi Lemsaneg? Salah satu solusinya adalah masyarakat dan rakyat harus mengawasi cara kerja lembaga ini, tetapi sulit untuk berpikir bagaimana mungkin kemudian rakyat mampu mengawasi kerja sebuah badan intelijen.

Tak salah parpol seperti PDIP dan PKS mempertanyakan maksud kerja sama antara KPU dengan Lemsaneg, PDIP misalnya mempertanyakan penandatanganan kerja sama itu.

PDIP minta KPU dan Lemsaneg menjelaskan, seperti apa bentuk kerja sama di antara mereka. Sekretaris Jenderal PDIP, Tjahjo Kumolo mengatakan, jangan sampai akibat kerja sama tersebut, KPU justru menjadi alat Lemsaneg.

Menurut politikus PKS Hidayat Nurwahid mengatakan, “Seharusnya sebagai lembaga negara yang berorientasi dengan intelijen, Lemsaneg harus bekerja di bawah tugas dan fungsinya. Secara prinsip, memang Lemsaneg harusnya jadi lembaga independen, tetapi dia bagian dari negara, kekhawatiran akan muncul kalau tak ada pengawasan dan tranparansi cara kerjanya”.

Rakyat Indonesia mendukung agar KPU bisa bekerja secara independen, bebas dari intervensi penguasa. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri ada kemungkinan intervensi tidak terjadi terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Hal ini dapat tergambarkan dari kalahnya Megawati pada pemilu 2004. Padahal, waktu itu Megawati Soekarnoputri adalah presiden yang sedang berkuasa (incumbent).

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional, penyelenggaraan pemilu harus dipastikan berlangsung secara independen dan transparan. Kerja sama KPU dengan Lemsaneg patut diwaspadai.

Kerja sama tersebut di satu sisi melahirkan keparipurnaan sistem pemilu. Namun, di sisi lain bisa mengganggu demokratisasi Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Sekali lagi kita harus awasi tugas dan kerja Lemsaneg dengan KPU dalam penyelenggaraan pemilu. Semoga! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar