Sabtu, 12 Oktober 2013

Kurban : Kepekaan Sosial dan Ketakwaan

Kurban : Kepekaan Sosial dan Ketakwaan
Deding Ishak  Anggota DPR RI, Ketua DPP MDI,
Ketua STAI Yapata Al-Jawami Bandung
SUARA KARYA, 11 Oktober 2013

Ibadah kurban merupakan prosesi keagamaan yang dalam sejarah Islam diperankan oleh Ibrahim dan putranya, Ismail. Atas dasar ketakwaannya kepada Allah, Ibrahim rela menyembelih Ismail, satu-satunya anak yang ia miliki dan sangat ia cintai. Namun, di saat pisau yang akan digunakan menyembelih itu dihunuskan ke leher anaknya, tiba-tiba tumpul, tidak mampu menembus leher Ismail dan seketika itu Allah mengganti perintah-Nya dengan menyembelih kambing.

Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini bahwa segala sesuatu yang kita cintai di dunia ini harus siap untuk diserahkan kepada Sang Pemilik Mutlak, di mana dan kapan saja jika Dia menghendaki agar kita mengorbankannya dengan atas dasar takwa. Karena, tanpa landasan takwa, kurban tak lebih dari pembunuhan massal. Dalam kisah diceritakan bahwa ketika Habil dan Qabil berkurban, Allah hanya menerima kurban dari Habil karena ia berkurban dengan penuh ketakwaan, sementara Qabil sebaliknya.

Kurban yang menjadi salah satu ritual pada Hari Raya Idul Adha merupakan bukti nyata bahwa ajaran Islam sarat dengan kepekaan sosial. Oleh karena itu, kurban tidak harus dipahami sebagai upacara penumpahan darah binatang semata, melainkan harus dipahami sebagai wujud rela berkorban dan bentuk ketakwaan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 30: "Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu." Ayat di atas mengisyaratkan bahwa menyembelih hewan kurban tak sekadar penyembelihannya. Karena, bukan daging dan darah yang dapat menuai ridha Allah, karena Allah Maha Kaya lagi Terpuji. Namun, yang akan diangkat kepada-Nya adalah keikhlasan dan niatnya dalam berkurban. Ketakwaanlah yang dapat mengantarkan ridha-Nya. Ini merupakan satu motivasi untuk ikhlas dalam berkurban agar tujuannya hanya untuk Allah semata. Bukan karena ingin berbangga, riya, sum'ah, atau hanya karena sudah menjadi tradisi. Demikian pula dalam ibadah yang lain. Sekiranya tidak dibarengi ikhlas dan takwa, maka itu hanya seperti kulit luar saja yang tanpa isi, raga yang tanpa ruh.

Dalam semua perilaku manusia Allah hanya menerima ketakwaan dari mereka, karena derajat dan kemuliaan manusia hanya terletak pada sisi ini, inna akramakum 'indallahi atqaakum. Kendati demikian, manfaat takwa sendiri sejatinya kembali kepada diri manusia, baik itu manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Jika dilihat pada skala makro, pesan kurban menyiratkan tentang pentingnya arti kepedulian sosial. Maksudnya jelas, ketakwaan bukan berarti hanya kesalehan individu yang tak menyentuh dengan persoalan-persoalan, misalnya, kemiskinan. Namun, di situ ketakwaan mesti berimplikasi pada peneguhan identitas seorang muslim untuk turut berpartisipasi secara konkret terhadap pengentasan kemiskinan dan berkiprah dalam realitas sosial. Kesadaran untuk peduli terhadap sesama jelas sangatlah penting karena kehidupan manusia pada intinya saling bersimbiosis. Mereka yang kaya membutuhkan mereka yang miskin, begitu pula sebaliknya.

Manusia merupakan makhluk sosial yang berstrata serta harus saling berinteraksi dan saling mengisi dalam ke-strata-annya. Dalam ajaran Islam, seseorang diperintahkan untuk mencari kekayaan karena kemiskinan akan membawa pada kekafiran, seperti bunyi hadis Nabi kaada al-faqru 'an yakuna kufro (kemiskinan akan membawa pada kekafiran). Namun, ketika Allah telah memberi rezeki yang banyak dan memberi kekayaan pada seseorang, maka sudah sepatutnya pula kekayaannya diperuntukkan untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan berguna bagi realitas sosiologis. Karena, kesadaran akan iman dan takwa kemudian mengantarkan pengetahuan bahwa kemiskinan akan membawa kekafiran, atau bahkan bisa mengakibatkan kerusakan jiwa pada orang yang miskin. Maka, tugas mengentaskan kemiskinan adalah bersifat wajib bagi tanggung jawab orang kaya. Ibadah kurban juga mengisyaratkan kepada manusia bahwa pengabdian kepada Sang Khaliq, Tuhan Yang telah menciptakan alam beserta segenap isinya berada di atas segalanya. Dengan kurban, manusia dibimbing untuk setia dan patuh terhadap semua perintah Allah. Dengan kurban, manusia juga dapat mengetahui bahwa betapa hakikat hidup manusia adalah untuk Allah dan kepada-Nya jualah mereka akan kembali. Demikian tinggi nilai-nilai spiritual dan pengabdian yang dapat dipetik oleh manusia dari perjalanannya mengorbankan sesuatu yang dicintai dan diagungkan bahkan dibanggakannya, jika mereka mau menghayati dan melaksanakannya semata-mata hanya mencari keridhaan Allah Yang Maha Kuasa tanpa tendensi apa pun kecuali keridhaan dan kasih sayang-Nya. Jika saja sikap rela berkorban seperti ini dimiliki para pemimpin dan segenap bangsa ini, tentu bangsa ini akan sejahtera.

Ismail sebagai simbol kemegahan harta, pangkat dan jabatan serta anak yang merupakan amanah Allah SWT, dengan takwa Ibrahim setelah bermusyawarah dengan anakanya untuk ikhlas melaksanakan perintah tersebut. Di masa sekarang ini, hal itu patut diteladani dan menginstropeksi diri bahwa apa yang kita miliki saat ini adalah amanah Allah SWT.


Dengan demikian, kurban merupakan salah satu manifestasi ketakwaan sekaligus kepekaan sosial dari umat beragama. Rangkaian pelaksanaan simbol religius dan keyakinan yang melahirkan muslim sejati akan tercermin dari bias nilai abstrak dalam kehidupan nyata. Wallahu A'lam bi al-Shawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar