Sabtu, 12 Oktober 2013

Menanti Lahirnya Moralitas Publik

Menanti Lahirnya Moralitas Publik
Muhammad Ali Fuadi  Mahasiswa dan Peneliti di Lembaga Studi Agama
dan Nasionalisme (LeSAN), IAIN Walisongo, Semarang
SUARA KARYA, 11 Oktober 2013


Kini korupsi sudah menjadi hal yang tak asing lagi diperbincangkan, baik di kalangan elite politik maupun rakyat awam. Bahkan, korupsi sudah menjadi budaya dan penyakit sosial di perpolitikan Indonesia. Penyakit yang tak hanya akan menjalar dan merebah ke seluruh penjuru negeri, bahkan akan sangat membahayakan karena dilakukan secara bersama-sama. Jika tak dibasmi dengan serius, akan sangat membahayakan kehidupan bernegara.

Demikian pula di dalam institusi birokrasi pemerintahan atau pun struktur kekuasaan negara, yang tak jarang ditemui berbagai kasus korupsi. Birokrat negara yang seharusnya bertanggung jawab menyejahterakan rakyat, justru malah yang mendzalimi rakyat dengan merampok uangnya. Banyak birokrat negara yang tergoda dengan menyalahgunakan kekuasaan, meskipun yang dilakukan sangat bertentangan dengan moralitas publik.

Sungguh ironis sekali, moralitas publik yang telah diwarisi dari para founding father, justru yang terjadi saat ini melahirkan generasi yang -bisa dikatakan- cacat moral. Justru, sekarang malah bermunculan pejabat publik dengan jiwa materialistik, dan tak satu pun kita temukan pewaris fouding father yang sesungguhnya. Apakah sa-ngat relevan, jika kita sekarang memperdebatkan masalah moralitas publik? 

Apabila saat ini masih banyak pemimpin atau pejabat publik yang hanya berkompetisi memperkaya diri, yang tak memikirkan pemerintahan dan rakyatnya? Memperdebatkan isu moralitas publik untuk saat ini bukan hanya sia-sia, tetapi juga sangat tidak masuk akal. Sebab, minim sekali pejabat publik yang mempunyai integritas tinggi dalam menjalankan tugasnya di masa kini.

Moralitas publik sebenarnya sudah menjadi sorotan banyak kalangan. Namun, karena tak adanya kesadaran para pewaris moral sebagaimana dimiliki para fouding father, menjadikan rakyat galau terhadap pemimpinnya sendiri. Karena saat ini pula, minim sekali ditemukan calon-calon pemimpin yang cocok untuk menggantikan dan meneruskan pemimpin sebelumnya yang memiliki moralitas tinggi, bak merindukan jarum di jerami yang lebat.

Meskipun demikian, ruang publik juga harus tetap memperlihatkan dan menggencarkan seruan moral untuk dikedepankan dengan serius dalam setiap individu. Dengan mengupayakan berbagai macam cara atau metode secara kontinu untuk mengatasi masalah korupsi dan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik dan elit politik.

Memang, untuk menciptakan negara yang berkepemimpinan tak tuna-moral dan berkultur pemerintahan yang bersih serta berwibawa itu sulit. Namun, itu tak menjadi batu penghalang kita untuk terus berharap lahirnya pemimpin atau pejabat publik yang bermoral. Sebab, semua bisa terjadi apabila dikerjakan secara bersama dengan keseriusan setiap individu dalam kehidupan bernegara.

Menurut Immanuel Kant, moralitas bukan hanya sekedar penyesuaian terhadap aturan-aturan dari luar - baik itu berupa hukum kenegaraan maupun adat istiadat dan hukum keagamaan - tetapi juga berhubungan dengan keyakinan sikap batin seseorang dalam hal kesetiaannya kepada dirinya sendiri. Jadi, moralitas bukan hanya didasarkan pada sikap luar seseorang saja, tetapi juga dari hati yang terdalam.

Ketika pejabat publik memiliki sifat demikian, tentu negara ini akan memiliki moralitas publik yang diinginkan banyak khalayak. Dengan begitu, dapat mengurangi mental-mental publik yang hanya menginginkan kekuasaan semata, tetapi kesejahteraan rakyat pun akan terealisir.

Pada dasarnya, yang diinginkan rakyat bukan hanya gelar pejabat publik saja yang disandang para pemimpinnya, namun juga disertai jiwa kepemimpinan pada setiap pejabat publik dan birokrasi pemerintahan. Jadi, tak ada yang merasa dirugikan antara mayarakat dan pejabat publik sendiri. Pada prinsipnya pula, semua perilaku politik berisi nilai-nilai yang didasarkan pada asas publik dan kehidupan pribadi dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, asas kehidupan bernegara harus pula ada dan disepakati dalam setiap cita-cita moral yang dikehendaki bangsa, baik bersifat privat maupun publik.

Untuk melahirkan generasi pewaris para fouding father yang sempurna, hal-hal yang fundamental dalam moralitas harus wajib dimiliki. Pertama, integritas setiap individu pemimpin harus ada, dengan berlaku bijak dalam mengemban tugasnya untuk mengatasi segala persoalan rakyat. Kedua, kejujuran setiap pejabat publik juga harus dimiliki, agar dapat menjaga amanah yang telah diberikan rakyatnya.

Ketiga, loyalitas harus selalu melekat dalam setiap diri pemimpin, agar pendiriannya teguh dan selalu konsisten dalam menjaga kepentingan publik, dengan didasari nilai-nilai etika yang apik. Keempat, tanggung jawab yakni sikap kepribadian yang selalu siap dengan tugas dan amanah yang diembannya. Kelima, adil dan bijaksana dalam menentukan segala kebijakan dan keputusan dengan terbuka, setara, imparsialitas, dan proporsionalitas untuk menjamin rakyat dalam keadilan. Sebagaimana yang diungkapkan William Bruce dalam bukunya Classics of Administrative Ethics, bahwa untuk menjadi pejabat publik yang apik harus memiliki karakter pribadi yang bermoral.

Menyalahgunakan kepercayaan rakyat dan kekuasaan pemerintahan, mendustai dan menghianati publik sudah biasa diperlihatkan kepada khalayak umum, bahkan sudah menjadi fenomena yang pasti terjadi di setiap pemerintahan. Ini membuktikan bahwa mereka sudah tak mempunyai moralitas publik, yang sebenarnya harus dirawat dan dijaga seutuhnya untuk kepentingan umum dalam melaksanakan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Sehingga, bermunculan pemimpin yang hanya berlomba-lomba untuk memperkaya diri dan mempergendut rekeningnya saja, meskipun yang dilakukan adalah menghianati kepercayaan yang telah diberikan rakyat dengan memakan uangnya tanpa rasa malu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar