|
Menurut
rencana, beberapa wilayah di DKI pada pertengahan Oktober ini akan
mengujicobakan pemberlakuan jam malam bagi pelajar, yaitu larangan bagi pelajar
keluar malam mulai pukul 19.00. Konon kebijakan ini belajar dari peristiwa
kecelakaan di tol Jagorawi yang melibatkan AQJ (13).
Selanjutnya
kebijakan yang digagas Pemda DKI ini didukung berbagai kalangan, karena melihat
keadaan para pelajar yang sering keluyuran malam tanpa alasan yang jelas.
Walaupun pemberlakuan aturan ini berdampak positif, dampak negatifnya juga ada.
Dalam tulisan ini saya coba mengurainya.
Untuk
diketahui bahwa jam sekolah para pelajar kita pada saat ini sangatlah padat.
Mereka kadang kala ada yang sekolah sampai jam 16.00 karena mereka juga
mengikuti pelajaran tambahan.
Hal
ini tentu sangat membatasi pelajar untuk bisa bergaul di lingkungan masyarakat.
Sesampai di rumah, mereka kecapekan. Ditambah lagi dengan adanya aturan ini,
kesempatan mereka bersosialisasi dengan masyarakat sekitar makin berkurang.
Artinya,
secara tidak sengaja aturan ini telah membatasi anak untuk dapat mengembangkaan
modal sosialnya. Fukuyama dalam Ramdhani (2012) mendifinisikan modal sosial
sebagai “the ability of people to work
together for common purposes in group and in organization.” Pertanyaannya
bagaimana pelajar mendapatkan modal sosial jika mereka tidak punya cukup waktu
untuk berbaur dengan masyarakat sekitarnya?
Sementara
untuk dapat modal sosial anak mestinya berbaur dan bercengkerama dengan teman
sebaya atau masyarakat di sekitar lingkungannya. Dengan cara itulah terbentuk
kedekatan berupa tali silaturahmi antara pelajar dengan masyarakat di
lingkungan.
Bukankah
salah satu permasalahan besar yang sering terjadi pada pelajar saat ini adalah
tawuran? Ini mengindikasikan pemahaman tentang kerukunan antara pelajar satu
sekolah dengan sekolah lainnya masih kurang. Dapat diduga juga ini bermuara
pada rendahnya modal sosial yang dimiliki oleh para pelajar itu.
Kemudian,
patut disadari pula bahwa dengan membatasi pelajar tidak keluar malam makin
mempersempit ruang sosial bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang. Bukankah
makna sosial itu kebersamaan?
Modal
sosial ini penting bagi kehidupan dan masa depan mereka, terutama berkaitan
dengan kerukunan. Kerukunan bisa terwujud apabila adanya rasa saling memahami setiap
individu yang berbeda atau beragam.
Adanya
rasa saling memahami akan melahirkan sebuah kepercayaan dan keakraban di antara
mereka. Kemudian, pelajar perlu juga mengenal lingkungan secara lebih dekat.
Jika di sekolah mereka menemukan teman sepergaulan yang sebaya maka di
lingkungan masyarakat beraneka warna tingkah laku manusia yang mereka jumpai,
mulai tingkah laku baik hingga orang yang berperangai buruk.
Dari
sinilah akan terlahir kecermatan seorang pelajar memilah dan memilih teman
sehingga mereka tahu dunia nyata. Namun jika ada pembatasan waktu bagi mereka
untuk keluar nantinya bisa mengakibatkan kesempatan pelajar untuk menambah
modal sosial semakin berkurang sebab mereka tidak terbiasa bergaul. Ini tentu
saja tidak baik dan merugikan untuk perkembangan pelajar ke depan.
Masalah
lainnya yang timbul dengan pemberlakuan aturan ini adalah bagaimana nantinya
misalnya ada pelajar mempunyai tugas sekolah yang harus dikerjakan dengan
mengunakan internet. Sementara orang tua mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
mengadakan fasilitas internet di rumah.
Tentunya
mereka harus ke warnet. Jadi, dengan adanya aturan ini pelajar tidak bisa
melakukan tugas seperti itu. Harus dipahami pula sekolah pada saat ini tidak
mungkin hanya mengandalkan satu sumber saja misalnya buku. Bukan tidak mungkin
juga tugas sekolah (PR) yang harus dikerjakan secara online.
Yang
tak kalah penting, bagaimana pula jika ada pelajar yang mempunyai
kelompok-kelompok diskusi atau kelompok olahraga yang biasanya melakukan
kegiatannya pada malam hari? Tentu mereka juga harus mengurungkan niatnya
dengan adanya aturan ini.
Jadi,
pelajar juga membutuhkan ruang untuk bergerak. Karena sesuatu aturan yang
diterapkan tanpa mendengar keluh kesah mereka akan berakibat pada pembangkangan
dalam diri mereka. Artinya, disiplin dari luar dan penerapan aturan yang
dipaksakan tidak akan bertahan lama dan mendarah daging bagi seorang pelajar.
Untuk
itu, menjadikan pelajar sebagai generasi penerus yang berguna bagi bangsa dan
negara tentunya menjadi tanggung jawab kita semua. Namun dalam menjadikan
mereka orang yang berguna dan bermanfaat juga tidak boleh pula mengabaikan
hak-hak mereka. Ini pun harus menjadi pertimbangan bagi pembuatan kebijakan
aturan jam malam ini.
Artinya,
dalam membuat rencana pemberlakuan jam malam bagi pelajar ini harus ada sebuah
kebijakan yang tidak merugikan bagi pelajar. Itu karena belum tentu setiap
pelajar yang keluar malam akan melakukan kegiatan yang negatif bisa saja mereka
akan melakukan aktivitas yang bermanfaat.
Oleh
karena itu, harapannya aturan yang akan diterapkan ini nantinya tidak kaku dan
tidak pula menyeramkan bagi pelajar. Perlu sebuah kebijaksanaan dan solusi yang
memihak mereka agar hak-hak pelajar dalam mengembangkan bakat dan minatnya
tidak dirampas. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar