Sabtu, 05 Oktober 2013

KTT dan Kemitraan Dinamis APEC

KTT dan Kemitraan Dinamis APEC
Chusnan Maghribi  ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 04 Oktober 2013


"APEC sukses mendorong kemitraan antaranggota, yang berlangsung dengan dinamis, positif, dan konstruktif"

SERANGKAIAN pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dari pertemuan tingkat pejabat tinggi, tingkat menteri, para pemimpin bisnis hingga para kepala pemerintahan/negara sudah digelar di Bali selama sepekan, tanggal 1-7 Oktober 2013. Puncak acara berlangsung tanggal 5-7 Oktober, yaitu pertemuan kepala pemerintahan/negara atau konferensi tingkat tinggi (KTT) yang diikuti pemimpin dari 21 negara anggota. Kegiatan kali ini merupakan konfrerensi ke-21 sejak APEC resmi dibentuk tahun 1989 di Camberra Australia. Bagi Indonesia, menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan tersebut merupakan kali kedua. Kali pertama menjadi tuan rumah forum serupa pada 14-15 November 1994 di Bogor yang menghasilkan Bogor Goals.

Salah satu poin terpenting dari Deklarasi Bogor adalah pemberlakuan liberalisasi perdagangan (pasar) dan investasi mulai tahun 2010 bagi kelompok anggota berperekonomian maju semisal Amerika Serikat (AS) dan Jepang serta mulai 2020 bagi kelompok anggota berperekonomian berkembang seperti Indonesia, Papua Nugini, Peru, dan Chili. Konferensi tahun ini mengusung tema ‘’Toward Resilient Asia Pacific, Engine of Global Growth’’. Tema itu guna menjawab tantangan situasi ekonomi) dunia yang tengah berada dalam pengaruh krisis ekonomi dan keuangan global. Indonesia selaku tuan rumah membawa sejumlah isu penting untuk dibahas guna mencapai kesepakatan serta dituangkan dalam Bali Declaration. Isu-isu itu di antaranya Attaining the Bogor Goals (mewujudkan Tujuan-Tujuan Bogor), Sustainable Growth with Equity (Pertumbuhan Berkelanjutan dan Merata), dan Promoting Connectivity (Memperkuat Konektivitas). Keberadaan forum regional Asia-Pasifik itu dalam 24 tahun terakhir memberi kontribusi cukup signifikan bagi peningkatan arus barang ataupun investasi, baik dalam lingkup keanggotaan maupun kawasan Asia Pasifik pada umumnya.

Data yang dikeluarkan Sekretariat APEC di Singapura memperlihatkan kegiatan ekspor 21 anggota APEC tumbuh 113 % dengan nilai 2,5 triliun dolar AS dalam waktu satu dasa warsa terakhir. Foreign direct investment (FDI) tumbuh 210% pada seluruh anggota APEC dan 475% pada kelompok negara anggota berperekonomian berkembang. Gross domestic product (GDP) meningkat 33% secara keseluruhan dan 74% pada kalangan anggota ekonomi berkembang. Jumlah total penduduk APEC saat ini mencapai 2,6 miliar jiwa dengan total GDP 19,254 miliar dolar AS atau sekitar 53% dari GDP dunia. 

Adapun total perdagangan tercatat sebesar 47% dari total perdagangan global. Lepas dari pihak-pihak penentang rezim pasar bebas, semua indikator tersebut tentu menunjukkan betapa besar peran forum regional Asia-Pasifik tersebut bagi pertumbuhan perdagangan ataupun GDP global dalam 10 tahun belakangan ini. APEC telah sukses mendorong kemitraan di antara segenap anggota, yang berlangsung dengan dinamis, positif, dan konstruktif selama hampir seperempat abad belakangan. Lebih Liberal 

Semua indikator itu menguatkan konsistensi APEC untuk memulai pemberlakuan liberalisasi perdagangan dan investasi seluruh anggota, sesuai jadwal yang ditetapkan, yakni tahun 2010 bagi anggota berperekonomian maju dan 2020 bagi anggota berperekonomian berkembang. Anggota negara berkembang semacam Indonesia dipastikan tak akan mengalami penundaan untuk memulai liberalisasi pasar pada tahun 2020 dengan sesama negara anggota. Persoalannya adalah sudah betul-betul siapkah Indonesia menyambut era baru itu?

Dari segi regulasi pembebasan bea masuk produk-produk impor agaknya Indonesia sudah siap. Sejauh ini pemerintah sudah memutuskan untuk membebaskan bea masuk lebih dari 90% sektor produk impor. Oleh kalangan analis ekonomi capaian tersebut dipandang jauh lebih maju dan lebih liberal dibanding negara liberal kaliber AS sekalipun. Namun, dari perspektif aktor ekonomi dan penyediaan sarana prasarana infrastruktur domestik semisal pelabuhan dan jalan, tidak sedikit orang mengatakan Indonesia sekarang ini belum siap sepenuhnya untuk mulai meliberalisasi perdagangannya tahun 2020. Kalangan pengusaha Indonesia dipandang belum siap berkompetisi bebas tanpa proteksi di pasar domestik. Tujuh tahun sisa waktu ke depan tentulah merupakan rentang waktu sangat berarti dan berharga baik bagi pemerintah, aktor ekonomi (pengusaha/swasta) ataupun rakyat Indonesia umumnya guna makin mematangkan segala macam persiapannya menyambut pemberlakuan liberalisasi perdagangan APEC. 

Apabila pemerintah, aktor ekonomi, dan rakyat Indonesia dapat efektif dan maksimal memanfaatkan sisa waktu itu, cukup besar optimisme menyambut era liberalisasi APEC dengan tidak menjadi pecundang. Tetapi jika sebaliknya, bersiap-siaplah kita menjadi pecundang: kalah saing walaupun di pasar dalam negeri sekalipun.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar