Sabtu, 05 Oktober 2013

Jujur, Kepercayaan Publik

Jujur, Kepercayaan Publik
Anang Sulistyono  ;  Peserta Program Doktor
Universitas Tujubelas Agustus Surabaya
SUARA KARYA, 04 Oktober 2013


Filosof kenamaan Aristoteles pernah ditanya, "apa yang akan didapatkan manusia dari para pembohong?" maka dia menjawab, "Tidak adanya kepercayaan orang-orang bagi mereka, kendati mereka berkata benar."

Sejalan dengan Aristoteles, Imam Ibnu Mas'ud juga menyatakan, kesalahan lisan yang paling besar adalah kebohongan. Ini menunjukkan, bahwa kebohongan atau tidak jujur merupakan kejahatan lisan yang serius. Ketika seseorang terjerumus dalam ketidakjujuran, berarti ia tergolong sebagai pelaku kejahatan bersifat istimewa (exstra ordinary crime).

Pernyataan Aristoteles dan Ibnu Mas'ud itu sejatinya mengandung pesan mulia pada setiap orang agar berhati-hati dalam berucap, bersikap, dan berperilaku supaya tidak sampai terjerumus dalam pembenaran ketidakjujuran. Praktik ketidakjujuran merupakan salah satu jenis "kejahatan moral" yang bukan hanya mengakibatkan kehancuran kredibilitas publik, tetapi juga mengeliminasi hak-hak keberlanjutan dan kesejahteraan hidup masyarakat.

Salah satu elemen bangsa yang jelas-jelas paling tidak jujur adalah koruptor. Mereka ini telah merampok atau mengalihkan uang negara atau sumberdaya strategis bangsa lainnya untuk kepentingan pribadi, kroni, atau keluarganya. Koruptor berani berbuat ini karena ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh, sementara ancaman yang membahayakan dan merugikannya, dinilainya lebih gampang diatasi atau diajak berkolaborasi dalam kriminalisasi.

Lembaga penegak hukum, idealitasnya merupakan institusi yang dipercaya oleh negara untuk memproduksi banyak ketakutan pada koruptor atau para kandidatnya. Pasalnya, di tangannya ada beragam senjata yang bisa digunakan untuk menjerat dan menghukumnya. Sayangnya, tidak sedikit diantaranya yang menjatuhkan opsi sebagai demagog (pendusta). Seolah-olah mereka gencar menjadi pemberantas korupsi, tapi faktanya, mereka berkawan dengan koruptor untuk mendustai hukum atau meminjam istilah JE Sahetapy dengan cara melakukan pembusukan hukum (legal decay).

Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga istimewa yang dibentuk oleh negara untuk melawan korupsi, tetapi ia juga tidak benar-benar steril dari isu ketidakjujuran. Dalam kasus-kasus besar, KPK dinilai masih belum konsisten dalam menegakkan moral profetis bernama "kejujuran". KPK ditengarai masih menyembunyikan sesuatu atau informasi penting dalam relasinya dengan kasus-kasus besar semacam Century, Hambalang, Simulator dan lainnya.

Ketidakjujuran yang ditembakkan publik pada KPK adalah soal integritas dan sikap militansi dan independensinya, yang salah satu temanya mengapa pada sosok tersangka korupsi tertentu KPK seperti mandul menghadapinya, sementara pada sosok lain, KPK berlaku "garang"? Atau, mengapa ada kesan kuat kalau KPK dalam pemeriksaan kasus korupsi tertentu, seseorang yang diduganya terlibat dimasukkan sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai tempat privilitas di mata hukum?

Pertanyaan itu seharusnya menyakitkan didengar dan dirasakan oleh KPK. Pasalnya KPK ibarat diposisikan sebagai insitusi yang kehilangan nyali dan sedang tereduksi integritas moral profetisnya.
KPK memang diprcaya oleh masyarakat untuk mendekonstruksi kasus korupsi apapun, khususnya yang mengandung kerugian negara di atas 1 miliar rupiah. Kepercayaan yang diberikan masyarakat ini tidak boleh dibalas dengan cara menerapkan politik tebang pilih. Politik tebang pilih di jagat yuridis jelas merupakan politik pelemahan terhadap pencari keadilan, tetapi juga penghancuran keadaban sosial dan masyarakat di era gelombang ketiga.

Dampak ketidakjujuran (pemimpin) KPK berelasi dengan publik. Artinya, KPK potensial menghadapi hujatan publik sebagai institusi yang tidak lagi pantas menyandang identitas sebagai insititusi yudisial yang independen. KPK yang secara historis didirikan sebagai institusi alternatif tidak pantas memanggul amanat besar dalam pemberantasan korupsi.

Kalau memang KPK masih pantas distigmatisasi sebagai wakil negara dan rakyat (pencari keadilan), tentulah KPK tidak melihat Sri Mulyani, Budiono, utusan SBY, dan lainnya sebagai sosok istimewa, yang bisa mereduksi kemandiriannya, dan sebaliknya terbatas sebagai orang biasa yang bisa diundang atau dipaksa untuk datang ke kantor KPK.

KPK berkali-kali mengampanyekan slogan "jujur itu hebat", sehingga KPK seharusnya wajib memberi teladan pada rakyat kalau dirinya juga berani jujur atas kebijakannya (hendak) dalam pemeriksaan terhadap Sri Mulyani di Washington, Anas Urbaningrum, dan Andi Malarangeng. Tidak perlu ada yang ditutup-tutupi oleh KPK, pasalnya transparansi kasus yang diduga melibatkan kelompok elite strategis, sangat ditunggu kejelasannya oleh masyarakat. Bocornya surat perintah penggeledahan terhadap salah satu anggota DPRD yang terkait dengan kasus Hambalang, juga menuntut KPK supaya transparan dan egaliter memeriksa penyakit internalnya.

Kalau masih ada yang disembunyikan oleh KPK, hal ini bisa membuat KPK semakin terpojok. Pasalnya KPK dianggap kurang mendukung terwujudnya hak keterbukaan informasi publik atas implementasi sistem peradilan korupsi. Salah seorang pemenang Nobel perdamaian Sean Bride pernah menyatakan saat ditanya wartawan, hak asasi apakah yang menurut anda tergolong fundamental? Ia menjawab, hak memperoleh dan menyampaikan informasi. Kalau seseorang atau masyarakat semakin kehilangan hak memperoleh informasi dengan baik dan benar, maka bangunannya pastilah ringkih.

Selain itu, KPK juga bisa dituding rela menampar mukanya sendiri. Artinya, KPK yang dihadirkan di bumi pertiwi sebagai lembaga penegak hukum alternatif setelah institusi lain mengalami kemandulan, juga berarti gagal mempertahankan atau menguatkan misi historis dan fundamentalnya sebagai pemberantas korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar