|
Filosof
kenamaan Aristoteles pernah ditanya, "apa yang akan didapatkan manusia
dari para pembohong?" maka dia menjawab, "Tidak adanya kepercayaan
orang-orang bagi mereka, kendati mereka berkata benar."
Sejalan
dengan Aristoteles, Imam Ibnu Mas'ud juga menyatakan, kesalahan lisan yang
paling besar adalah kebohongan. Ini menunjukkan, bahwa kebohongan atau tidak
jujur merupakan kejahatan lisan yang serius. Ketika seseorang terjerumus dalam
ketidakjujuran, berarti ia tergolong sebagai pelaku kejahatan bersifat istimewa
(exstra ordinary crime).
Pernyataan
Aristoteles dan Ibnu Mas'ud itu sejatinya mengandung pesan mulia pada setiap
orang agar berhati-hati dalam berucap, bersikap, dan berperilaku supaya tidak
sampai terjerumus dalam pembenaran ketidakjujuran. Praktik ketidakjujuran
merupakan salah satu jenis "kejahatan moral" yang bukan hanya
mengakibatkan kehancuran kredibilitas publik, tetapi juga mengeliminasi hak-hak
keberlanjutan dan kesejahteraan hidup masyarakat.
Salah
satu elemen bangsa yang jelas-jelas paling tidak jujur adalah koruptor. Mereka
ini telah merampok atau mengalihkan uang negara atau sumberdaya strategis
bangsa lainnya untuk kepentingan pribadi, kroni, atau keluarganya. Koruptor
berani berbuat ini karena ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh, sementara
ancaman yang membahayakan dan merugikannya, dinilainya lebih gampang diatasi
atau diajak berkolaborasi dalam kriminalisasi.
Lembaga
penegak hukum, idealitasnya merupakan institusi yang dipercaya oleh negara
untuk memproduksi banyak ketakutan pada koruptor atau para kandidatnya.
Pasalnya, di tangannya ada beragam senjata yang bisa digunakan untuk menjerat
dan menghukumnya. Sayangnya, tidak sedikit diantaranya yang menjatuhkan opsi
sebagai demagog (pendusta). Seolah-olah mereka gencar menjadi pemberantas
korupsi, tapi faktanya, mereka berkawan dengan koruptor untuk mendustai hukum
atau meminjam istilah JE Sahetapy dengan cara melakukan pembusukan hukum (legal decay).
Meskipun
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga istimewa yang dibentuk
oleh negara untuk melawan korupsi, tetapi ia juga tidak benar-benar steril dari
isu ketidakjujuran. Dalam kasus-kasus besar, KPK dinilai masih belum konsisten
dalam menegakkan moral profetis bernama "kejujuran". KPK ditengarai
masih menyembunyikan sesuatu atau informasi penting dalam relasinya dengan
kasus-kasus besar semacam Century, Hambalang, Simulator dan lainnya.
Ketidakjujuran
yang ditembakkan publik pada KPK adalah soal integritas dan sikap militansi dan
independensinya, yang salah satu temanya mengapa pada sosok tersangka korupsi
tertentu KPK seperti mandul menghadapinya, sementara pada sosok lain, KPK
berlaku "garang"? Atau, mengapa ada kesan kuat kalau KPK dalam
pemeriksaan kasus korupsi tertentu, seseorang yang diduganya terlibat
dimasukkan sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai tempat privilitas di
mata hukum?
Pertanyaan
itu seharusnya menyakitkan didengar dan dirasakan oleh KPK. Pasalnya KPK ibarat
diposisikan sebagai insitusi yang kehilangan nyali dan sedang tereduksi
integritas moral profetisnya.
KPK
memang diprcaya oleh masyarakat untuk mendekonstruksi kasus korupsi apapun,
khususnya yang mengandung kerugian negara di atas 1 miliar rupiah. Kepercayaan
yang diberikan masyarakat ini tidak boleh dibalas dengan cara menerapkan
politik tebang pilih. Politik tebang pilih di jagat yuridis jelas merupakan
politik pelemahan terhadap pencari keadilan, tetapi juga penghancuran keadaban
sosial dan masyarakat di era gelombang ketiga.
Dampak
ketidakjujuran (pemimpin) KPK berelasi dengan publik. Artinya, KPK potensial
menghadapi hujatan publik sebagai institusi yang tidak lagi pantas menyandang
identitas sebagai insititusi yudisial yang independen. KPK yang secara historis
didirikan sebagai institusi alternatif tidak pantas memanggul amanat besar
dalam pemberantasan korupsi.
Kalau
memang KPK masih pantas distigmatisasi sebagai wakil negara dan rakyat (pencari
keadilan), tentulah KPK tidak melihat Sri Mulyani, Budiono, utusan SBY, dan
lainnya sebagai sosok istimewa, yang bisa mereduksi kemandiriannya, dan
sebaliknya terbatas sebagai orang biasa yang bisa diundang atau dipaksa untuk
datang ke kantor KPK.
KPK
berkali-kali mengampanyekan slogan "jujur itu hebat", sehingga KPK
seharusnya wajib memberi teladan pada rakyat kalau dirinya juga berani jujur
atas kebijakannya (hendak) dalam pemeriksaan terhadap Sri Mulyani di
Washington, Anas Urbaningrum, dan Andi Malarangeng. Tidak perlu ada yang
ditutup-tutupi oleh KPK, pasalnya transparansi kasus yang diduga melibatkan
kelompok elite strategis, sangat ditunggu kejelasannya oleh masyarakat. Bocornya
surat perintah penggeledahan terhadap salah satu anggota DPRD yang terkait
dengan kasus Hambalang, juga menuntut KPK supaya transparan dan egaliter
memeriksa penyakit internalnya.
Kalau
masih ada yang disembunyikan oleh KPK, hal ini bisa membuat KPK semakin
terpojok. Pasalnya KPK dianggap kurang mendukung terwujudnya hak keterbukaan
informasi publik atas implementasi sistem peradilan korupsi. Salah seorang
pemenang Nobel perdamaian Sean Bride pernah menyatakan saat ditanya wartawan,
hak asasi apakah yang menurut anda tergolong fundamental? Ia menjawab, hak
memperoleh dan menyampaikan informasi. Kalau seseorang atau masyarakat semakin
kehilangan hak memperoleh informasi dengan baik dan benar, maka bangunannya
pastilah ringkih.
Selain
itu, KPK juga bisa dituding rela menampar mukanya sendiri. Artinya, KPK yang
dihadirkan di bumi pertiwi sebagai lembaga penegak hukum alternatif setelah
institusi lain mengalami kemandulan, juga berarti gagal mempertahankan atau
menguatkan misi historis dan fundamentalnya sebagai pemberantas korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar