|
DENGAN
dugaan menerima suap senilai 3 miliar terkait pemenangan Pilkada Kabupaten
Gunung Mas Kalimantan Tengah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar
ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan Akil terkait
dugaan pelanggaran hukum bukan skandal pertama yang melibatkan hakim
konstitusi. Sebelumnya, tahun 2011 juga muncul dugaan pemalsuan surat oleh
salah seorang hakim konstitusi. Kendati telah sampai dalam pengusutan oleh
pihak kepolisian, kelanjutan kasus itu seperti ditelan angin. Tulisan ini
merupakan refleksi integritas hakim dan ekspektasi yang melingkupi profesi ini
di tengah makin muramnya wajah penegakan hukum, terkhusus lembaga peradilan.
Independensi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar untuk dimiliki figur
hakim yang kerap disebut ”wakil Tuhan” di dunia ini.
Bebasnya
lembaga peradilan dari campur tangan kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif)
adalah suatu keharusan supaya lembaga peradilan dengan para hakim di dalamnya
dapat memutus seadil-adilnya demi penegakan hukum dan keadilan. Hakim adalah
profesi terhormat lagi mulia. Menjadi hakim, orang haruslah cakap dalam bidang
hukum, kearifan dalam falsafah keadilan, dan ketabahan menghadapi godaan dan
tekanan yang bisa memengaruhi independensi diri dan institusinya. Sebutan yang
ditujukan padanya di berbagai negara menunjukkan betapa luhur dan mulia profesi
ini. Di Malaysia dia disebut ”tuan”. Di Australia, dan banyak negara bagian di
Amerika Serikat, di depan nama seorang hakim disematkan kata ”your honour”, dan bahkan ”justice” jika seorang menjadi hakim
Mahkamah Agung (Supreme Court). Hakim
memiliki kewenangan memberi kata putus dalam mengakhiri suatu sengketa yang
dihadapkan padanya. Ia mendengarkan kesaksian, memeriksa bukti-bukti, dan menilai
kredibilitas informasi yang disampaikan para pihak untuk kemudian menjatuhkan
putusan. Betapa pun tajam argumentasi seorang pengacara ataupun pakar hukum
dalam memandang suatu kasus, pada akhirnya hakimlah yang akan memutuskan
penyelesaian suatu sengketa. Nature dari profesi pengadil ini meniscayakan
kapasitas ilmu dan standar moral yang tinggi karena apa yang diputuskan seorang
hakim akan berdampak pada hak dan kewajiban, harkat dan martabat, dan bahkan
hidup mati seseorang.
Tidak
saja diidealkan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur,
adil, profesional, serta berpengalaman dalam bidang hukum, hakim dan hakim
konstitusi dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia bahkan memikul tanggung
jawab moral yang amat berat. Bunyi Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa peradilan dilakukan demi
Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan betapa di negara ini
sebuah putusan pengadilan tidak saja harus dapat dipertanggung-jawabkan secara
rasio, namun mestilah harmonis dengan keadilan dari Sang Pencipta. Kewenangan
Besar Dalam konteks hakim konstitusi, ekspektasi akan independensi hakim ini
menjadi lebih kuat, lebih sangat. Hal ini bisa dimengerti mengingat aneka
kewenangan konstitusional yang dimiliki MK seperti menguji undang-undang
terhadap UUD begitu memengaruhi hidup dan mati warga negara dan siapa saja
manusia dan badan hukum dalam jurisdiksi NKRI.
Termasuk
kewenangan MK dalam menguji sengketa antarlembaga negara dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum begitu krusial dalam menentukan
kehidupan berdemokrasi. Putusan peradilan konstitusi dalam aneka kewenangannya
bersifat final dan mengikat, yang artinya sekali diputus, ia tak dapat diubah
lagi, tiada upaya hukum yang tersedia untuk menguji. Ini adalah keluarbiasaan
yang pada taraf tertentu memang diperlukan dan karena itulah apa pun sebabnya
yang mengakibatkan terjadinya kesalahan, ketidakcermatan ataupun
ketidakmerdekaan MK dalam memutus perkara, lebih-lebih karena korupsi,
benar-benar tak dapat ditoleransi.
Ketika
seorang ketua MK dimasukkan ke tahanan KPK karena dugaan suap, sungguh
peristiwa itu bermakna simbolis yang teramat serius: peradilan Indonesia di
ambang kiamat. Manakala pimpinan sekaligus hakim pada lembaga pengawal dan
penafsir konstitusi ternyata tak imun dari korupsi, amat mudah menerka bahwa
sangat boleh jadi aneka putusan lembaga nan agung ini bukan berasal dari hikmat
kebijaksanaan hakim, melainkan faktor lain yakni uang. Bila penangkapan Akil
ini hanya fenomena gunung es atas apa saja yang selama ini berlangsung di MK
maka keraguan publik akan lembaga peradilan di Indonesia berikut aneka putusan
yang dihasilkan telah menemukan pembenarannya yang amat sempurna. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar