Sabtu, 05 Oktober 2013

Ambang Kiamat Peradilan

Ambang Kiamat Peradilan
Manunggal K Wardaya  ;  Dosen Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto,
PhD Researcher pada Faculteit der Rechtsgeleerdheid Radboud
Universiteit Nijmegen Belanda
SUARA MERDEKA, 04 Oktober 2013


DENGAN dugaan menerima suap senilai 3 miliar terkait pemenangan Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan Akil terkait dugaan pelanggaran hukum bukan skandal pertama yang melibatkan hakim konstitusi. Sebelumnya, tahun 2011 juga muncul dugaan pemalsuan surat oleh salah seorang hakim konstitusi. Kendati telah sampai dalam pengusutan oleh pihak kepolisian, kelanjutan kasus itu seperti ditelan angin. Tulisan ini merupakan refleksi integritas hakim dan ekspektasi yang melingkupi profesi ini di tengah makin muramnya wajah penegakan hukum, terkhusus lembaga peradilan. Independensi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar untuk dimiliki figur hakim yang kerap disebut ”wakil Tuhan” di dunia ini.

Bebasnya lembaga peradilan dari campur tangan kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif) adalah suatu keharusan supaya lembaga peradilan dengan para hakim di dalamnya dapat memutus seadil-adilnya demi penegakan hukum dan keadilan. Hakim adalah profesi terhormat lagi mulia. Menjadi hakim, orang haruslah cakap dalam bidang hukum, kearifan dalam falsafah keadilan, dan ketabahan menghadapi godaan dan tekanan yang bisa memengaruhi independensi diri dan institusinya. Sebutan yang ditujukan padanya di berbagai negara menunjukkan betapa luhur dan mulia profesi ini. Di Malaysia dia disebut ”tuan”. Di Australia, dan banyak negara bagian di Amerika Serikat, di depan nama seorang hakim disematkan kata ”your honour”, dan bahkan ”justice” jika seorang menjadi hakim Mahkamah Agung (Supreme Court). Hakim memiliki kewenangan memberi kata putus dalam mengakhiri suatu sengketa yang dihadapkan padanya. Ia mendengarkan kesaksian, memeriksa bukti-bukti, dan menilai kredibilitas informasi yang disampaikan para pihak untuk kemudian menjatuhkan putusan. Betapa pun tajam argumentasi seorang pengacara ataupun pakar hukum dalam memandang suatu kasus, pada akhirnya hakimlah yang akan memutuskan penyelesaian suatu sengketa. Nature dari profesi pengadil ini meniscayakan kapasitas ilmu dan standar moral yang tinggi karena apa yang diputuskan seorang hakim akan berdampak pada hak dan kewajiban, harkat dan martabat, dan bahkan hidup mati seseorang.

Tidak saja diidealkan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, serta berpengalaman dalam bidang hukum, hakim dan hakim konstitusi dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia bahkan memikul tanggung jawab moral yang amat berat. Bunyi Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa peradilan dilakukan demi 

Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan betapa di negara ini sebuah putusan pengadilan tidak saja harus dapat dipertanggung-jawabkan secara rasio, namun mestilah harmonis dengan keadilan dari Sang Pencipta. Kewenangan Besar Dalam konteks hakim konstitusi, ekspektasi akan independensi hakim ini menjadi lebih kuat, lebih sangat. Hal ini bisa dimengerti mengingat aneka kewenangan konstitusional yang dimiliki MK seperti menguji undang-undang terhadap UUD begitu memengaruhi hidup dan mati warga negara dan siapa saja manusia dan badan hukum dalam jurisdiksi NKRI.

Termasuk kewenangan MK dalam menguji sengketa antarlembaga negara dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum begitu krusial dalam menentukan kehidupan berdemokrasi. Putusan peradilan konstitusi dalam aneka kewenangannya bersifat final dan mengikat, yang artinya sekali diputus, ia tak dapat diubah lagi, tiada upaya hukum yang tersedia untuk menguji. Ini adalah keluarbiasaan yang pada taraf tertentu memang diperlukan dan karena itulah apa pun sebabnya yang mengakibatkan terjadinya kesalahan, ketidakcermatan ataupun ketidakmerdekaan MK dalam memutus perkara, lebih-lebih karena korupsi, benar-benar tak dapat ditoleransi.

Ketika seorang ketua MK dimasukkan ke tahanan KPK karena dugaan suap, sungguh peristiwa itu bermakna simbolis yang teramat serius: peradilan Indonesia di ambang kiamat. Manakala pimpinan sekaligus hakim pada lembaga pengawal dan penafsir konstitusi ternyata tak imun dari korupsi, amat mudah menerka bahwa sangat boleh jadi aneka putusan lembaga nan agung ini bukan berasal dari hikmat kebijaksanaan hakim, melainkan faktor lain yakni uang. Bila penangkapan Akil ini hanya fenomena gunung es atas apa saja yang selama ini berlangsung di MK maka keraguan publik akan lembaga peradilan di Indonesia berikut aneka putusan yang dihasilkan telah menemukan pembenarannya yang amat sempurna. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar