|
BETAPAPUN
berkobar, niat untuk korupsi takkan bisa terwujud tanpa peluang. Sehubungan
dengan itulah, korupsi tak pernah menjadi sekadar perkara moral, katakanlah
sebagai sekadar gejala keserakahan. Korupsi senantiasa mengandaikan kehadiran
ekses kewenangan. Dalam pengertian itulah, korupsi selalu sekaligus merupakan
perkara politik karena selalu menyangkut kuasa, kuasa yang eksesif, yang
berkelebihan.
Di situlah jalan
cagak lalu bermula. Kuasa bisa berkembang eksesif lantaran berbagai musabab.
Mulai dari akibat corak, materi, dan lingkup kuasa itu sendiri, katakanlah
lebih rawan risiko maupun akibat ketaksaksamaan perangkat legal atributifnya,
katakanlah tata-laksana pengaturan, penerapan, maupun pengawasannya, yang
membuat kerawanan itu bisa berkembang menjadi peluang.
Beranjak dari
perspektif ini, tragedi tertangkap-basah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rabu (2/10) lalu maupun
peristiwa-peristiwa korupsi pada pucuk pemimpin lembaga negara lain sebelumnya
menjadi lebih mudah kita pahami.
Kuasa tak
pernah boleh kita biarkan berpeluang menjadi eksesif, apalagi kalau sedari awal
kita sadari potensi kerawanannya karena manusia bukan malaikat. Tidakkah kita
sayup-sayup sempat mendengar ada pejabat puncak MK yang pernah sedemikian
optimistis sesumbar bahwa MK seratus persen bersih?
Seturut dengan
itulah, mari kritisisme ini kita mulai lewat beberapa pertanyaan naif: mengapa
sembilan sosok hakim di MK, yang pada galibnya mewakili diri mereka sendiri,
bisa membatalkan undang-undang yang disahkan beratus anggota parlemen sebagai
perwakilan absah lebih dari dua ratus juta rakyat Indonesia?
Mengapa
keputusan mereka bahkan bersifat pamungkas, dalam arti mengikat, final, dan
tanpa pengawasan kelembagaan di luarnya pula? Apakah rasionalitas di balik
pemberian sedemikian besar kuasa kepada lembaga yang rawan risiko ini?
Rasionalitas
pemaksimalan partisipasi
Manajemen
artikulasi kepentingan dalam memaksimalkan partisipasi publik merupakan perkara
politik terpelik. Padahal, inilah makna demokrasi senyatanya, yakni ketika
politik dipahami sebagai arena terbuka dan inklusif, tempat perbedaan
kepentingan dan keragaman etikopolitis segenap warga di dalamnya bebas (baca:
boleh dan bisa) berbaku-saing memberi aksentuasi atas bangunan imajiner bersama
sebagai sebuah bangsa.
Semestinya lalu
gamblang, pemaksimalan partisipasi merupakan idealitas di baliknya, lantaran
sebagai konsekuensinya, politik demokrasi lalu wajib menyandarkan legitimasi
kuasanya pada kesepakatan publik. Betapapun, apa boleh buat, pada akhirnya
demokrasi adalah perkara membuat kesepakatan politik, dan tak pernah ada
konsensus politik yang bunder-kepleng,
yang bulat sebulat-bulatnya.
Segenap upaya
menampung perbedaan dan keragaman senantiasa berakhir dengan tetap terdapatnya
artikulasi kepentingan yang tak tertampung. Selalu ada para pihak yang
tercecer. Sehubungan dengan itulah, dalam demokrasi selalu terbuka kemungkinan
akan kehadiran ketidakpercayaan (distrust),
lantaran senantiasa terdapat para pihak yang perjuangan kepentingannya tak
terwadahi, atau yang kerangka etikopolitisnya berada di luar orbit politik yang
berkuasa dan, karena itu, merasa terabaikan bahkan tersingkirkan.
Inilah
rasionalitas kebutuhan di balik pemberian kewenangan sedemikian besar kepada
MK. Seperti diungkap JH Ely dalam Democracy
and Distrust; A Theory of Judicial Review (2002), telaah yudisial
perlu dikerangkakan dalam konteks pemaksimalan partisipasi politik publik
semacam ini. Maksudnya, telaah yudisial merupakan upaya memfasilitasi
representasi kelompok ”minoritas”, dalam arti kalangan beperbedaan kepentingan
atau berkeragaman etikopolitis yang tercecer dari arus utama artikulasi
politik, dan tak mungkin lagi diperjuangkan lewat upaya politik reguler karena
berada di luar orbit etikopolitik dari kekuatan-kekuatan politik yang sedang
berkuasa.
Memfasilitasi
representasi kepentingan yang tercecer semacam ini selalu krusial dalam politik
karena demokrasi mudah diformalisasi menjadi sekadar metode optimum untuk
membuat keputusan kolektif bagi kepentingan politik mayoritas belaka.
Dengan
demikian, sebuah mekanisme korektif yang bersifat afirmatif terkadang
dibutuhkan bagi kepentingan minoritas sebagai semacam pintu masuk darurat
manakala jalan-jalan perjuangan reguler konvensional terbuntukan rabun jauh
(miopia) hegemoni politik yang sedang berlangsung.
Jadi, kesadaran
di baliknya adalah bahwa perbedaan terkadang merupakan perkara etikopolitik
prinsipiil, dan bukan sekadar perkara komunikasi atau taktik politik belaka
sehingga tak selalu bisa dikonsensuskan. Dengan begitu, pintu darurat ini
galibnya merupakan demitologisasi lanjut bahwa parpol merupakan agen penyalur
partisipasi politik publik yang sungguh-sungguh representatif, andal, apalagi
satu-satunya.
Mencegah kuasa eksesif
Rasionalitas
kedaruratan kebutuhan inilah yang perlu terus disadari dan diacu.
Permasalahannya, seperti telah dipergunjingkan sejak kemunculan wacana kontrak
sosial, pemberian kuasa kelembagaan yang terlalu besar, apalagi bersifat
pamungkas, memang mempunyai keunggulan praktis, namun sebaliknya selalu
mengundang bahaya tersendiri.
Katakanlah,
ekses-ekses totalitarianisme. Seturut dengan itulah, pewacanaan kontrak sosial
lanjut terus berbicara mengenai pembatasan, pemilahan, dan pengawasan
kekuasaan.
Perlu terus
disadari bahwa setiap peruntukan kuasa, apalagi yang sedemikian besar dan
pamungkas, bukan saja harus mengenal pembatasan materi dan lingkup kewenangan,
melainkan juga butuh tata-laksana saksama dalam pengaturan, penerapan, maupun
pengawasan kewenangannya pula.
Dalam kesadaran
semacam inilah, misalnya saja, telaah yudisial hanya bisa menguji dan
membatalkan produk atau klausul produk hukum tertentu—dengan menguji
keselarasannya terhadap produk hukum lebih tinggi dan dengan konstitusi sebagai
acuan pamungkasnya—namun seharusnya tak berwenang menambahkan, apalagi membuat
klausul hukum baru.
Demi
”kedaruratan” pemaksimalan keadilan partisipatif, segelintir hakim MK
seolah-olah memiliki kewenangan sedemikian besar sehingga bisa membatalkan
keputusan ratusan wakil absah lebih dari dua ratus juta rakyat Indonesia.
Padahal, kenyataannya tidak benar-benar demikian, karena kuasanya dibatasi pada
lingkup pencocokan belaka. Sebuah prosedur kerja yang relatif tak terlalu
kompleks karena tak menyangkut telaah para pihak yang beperkara secara
langsung, yang para pihaknya bisa diuntungkan langsung secara pribadi,
melainkan sekadar perwujudan pertikaian perbedaan kepentingan dan pandangan
mereka secara legal tekstual belaka.
Titik-berat
proseduralnya lebih bersandar pada keahlian dan integritas para hakimnya belaka
sehingga masih masuk akal kalau keputusannya bisa langsung bersifat final.
Dengan demikian, gamblanglah, malapetaka di MK bermula pada pembebanan sengketa
pilkada.
Di satu sisi,
kepelikan materi perkaranya lebih membuka peluang untuk kewayuhan pemutusan
sehingga kurang cocok dengan keputusan berwatak pamungkas.
Di sisi lain,
watak, materi, dan lingkup perkaranya juga relatif tak punya sangkut-paut
langsung dengan kedaruratan pemaksimalan partisipasi publik akibat kebuntuan
jalur perjuangan reguler, karena lebih merupakan perkara manipulatif ketimbang
perselisihan etikopolitik.
Sengketa-sengketa
pilkada bukan hanya tak memerlukan perlakuan kedaruratan, melainkan penerapan
keistimewaan kepamungkasan terhadap perkara semacam ini justru bisa menciptakan
peluang manipulatif. Tak heran kalau MK lalu tampak seksi bagi orang-orang
parpol, yang selanjutnya tentu saja sekurangnya-kurangnya membuka syak wasangka
tersendiri.
Kuasa harus
senantiasa kita rintang agar tak berpeluang menjadi eksesif, apalagi kalau
sedari awal kita sadari potensi kerawanannya. MK akan jauh lebih sehat kalau
dibatasi pada penanganan telaah yudisial semata karena kewenangan istimewanya
yang rawan risiko lantaran bersifat pamungkas tersebut lalu otomatis
mendapatkan pembatasan corak, materi, maupun lingkup perkara yang lebih sesuai
dengan tingkat kerawanan kuasanya itu.
Setiap bentuk
kuasa, apalagi yang sedemikian pamungkas, harus mengenal pembatasan, pemilahan,
dan pengawasan. Persoalannya, sekali lagi, korupsi tak pernah sekadar perkara
moral, tetapi selalu sekaligus perkara politik, perkara ekses kuasa.
Kalau kita
mulai melebar mencari-cari musabab korupsi pada pengenduran tata nilai
masyarakat, itu tanda-tanda bahaya. Bukan lantaran kedua perkara itu sama
sekali tak bersangkut-paut, melainkan lebih lantaran merupakan tanda-tanda kita
mulai putus asa sehingga terus ngoyoworo,
terus mencari-cari tak berkejuntrungan.
Manusia memang
bukan malaikat, tapi kuasa selalu mendahului korupsi. Kuasa yang eksesif
tentunya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar