Kamis, 24 Oktober 2013

Korupsi dan Kekuasaan

Korupsi dan Kekuasaan
Budiarto Danujaya  ;  Pengajar Filsafat Politik dan Diskursus Ideologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
KOMPAS, 21 Oktober 2013


BETAPAPUN berkobar, niat untuk korupsi takkan bisa terwujud tanpa peluang. Sehubungan dengan itulah, korupsi tak pernah menjadi sekadar perkara moral, katakanlah sebagai sekadar gejala keserakahan. Korupsi senantiasa mengandaikan kehadiran ekses kewenangan. Dalam pengertian itulah, korupsi selalu sekaligus merupakan perkara politik karena selalu menyangkut kuasa, kuasa yang eksesif, yang berkelebihan.
Di situlah jalan cagak lalu bermula. Kuasa bisa berkembang eksesif lantaran berbagai musabab. Mulai dari akibat corak, materi, dan lingkup kuasa itu sendiri, katakanlah lebih rawan risiko maupun akibat ketaksaksamaan perangkat legal atributifnya, katakanlah tata-laksana pengaturan, penerapan, maupun pengawasannya, yang membuat kerawanan itu bisa berkembang menjadi peluang.
Beranjak dari perspektif ini, tragedi tertangkap-basah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rabu (2/10) lalu maupun peristiwa-peristiwa korupsi pada pucuk pemimpin lembaga negara lain sebelumnya menjadi lebih mudah kita pahami.
Kuasa tak pernah boleh kita biarkan berpeluang menjadi eksesif, apalagi kalau sedari awal kita sadari potensi kerawanannya karena manusia bukan malaikat. Tidakkah kita sayup-sayup sempat mendengar ada pejabat puncak MK yang pernah sedemikian optimistis sesumbar bahwa MK seratus persen bersih?
Seturut dengan itulah, mari kritisisme ini kita mulai lewat beberapa pertanyaan naif: mengapa sembilan sosok hakim di MK, yang pada galibnya mewakili diri mereka sendiri, bisa membatalkan undang-undang yang disahkan beratus anggota parlemen sebagai perwakilan absah lebih dari dua ratus juta rakyat Indonesia?
Mengapa keputusan mereka bahkan bersifat pamungkas, dalam arti mengikat, final, dan tanpa pengawasan kelembagaan di luarnya pula? Apakah rasionalitas di balik pemberian sedemikian besar kuasa kepada lembaga yang rawan risiko ini?
Rasionalitas pemaksimalan partisipasi
Manajemen artikulasi kepentingan dalam memaksimalkan partisipasi publik merupakan perkara politik terpelik. Padahal, inilah makna demokrasi senyatanya, yakni ketika politik dipahami sebagai arena terbuka dan inklusif, tempat perbedaan kepentingan dan keragaman etikopolitis segenap warga di dalamnya bebas (baca: boleh dan bisa) berbaku-saing memberi aksentuasi atas bangunan imajiner bersama sebagai sebuah bangsa.
Semestinya lalu gamblang, pemaksimalan partisipasi merupakan idealitas di baliknya, lantaran sebagai konsekuensinya, politik demokrasi lalu wajib menyandarkan legitimasi kuasanya pada kesepakatan publik. Betapapun, apa boleh buat, pada akhirnya demokrasi adalah perkara membuat kesepakatan politik, dan tak pernah ada konsensus politik yang bunder-kepleng, yang bulat sebulat-bulatnya.
Segenap upaya menampung perbedaan dan keragaman senantiasa berakhir dengan tetap terdapatnya artikulasi kepentingan yang tak tertampung. Selalu ada para pihak yang tercecer. Sehubungan dengan itulah, dalam demokrasi selalu terbuka kemungkinan akan kehadiran ketidakpercayaan (distrust), lantaran senantiasa terdapat para pihak yang perjuangan kepentingannya tak terwadahi, atau yang kerangka etikopolitisnya berada di luar orbit politik yang berkuasa dan, karena itu, merasa terabaikan bahkan tersingkirkan.
Inilah rasionalitas kebutuhan di balik pemberian kewenangan sedemikian besar kepada MK. Seperti diungkap JH Ely dalam Democracy and Distrust; A Theory of Judicial Review (2002), telaah yudisial perlu dikerangkakan dalam konteks pemaksimalan partisipasi politik publik semacam ini. Maksudnya, telaah yudisial merupakan upaya memfasilitasi representasi kelompok ”minoritas”, dalam arti kalangan beperbedaan kepentingan atau berkeragaman etikopolitis yang tercecer dari arus utama artikulasi politik, dan tak mungkin lagi diperjuangkan lewat upaya politik reguler karena berada di luar orbit etikopolitik dari kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Memfasilitasi representasi kepentingan yang tercecer semacam ini selalu krusial dalam politik karena demokrasi mudah diformalisasi menjadi sekadar metode optimum untuk membuat keputusan kolektif bagi kepentingan politik mayoritas belaka.
Dengan demikian, sebuah mekanisme korektif yang bersifat afirmatif terkadang dibutuhkan bagi kepentingan minoritas sebagai semacam pintu masuk darurat manakala jalan-jalan perjuangan reguler konvensional terbuntukan rabun jauh (miopia) hegemoni politik yang sedang berlangsung.
Jadi, kesadaran di baliknya adalah bahwa perbedaan terkadang merupakan perkara etikopolitik prinsipiil, dan bukan sekadar perkara komunikasi atau taktik politik belaka sehingga tak selalu bisa dikonsensuskan. Dengan begitu, pintu darurat ini galibnya merupakan demitologisasi lanjut bahwa parpol merupakan agen penyalur partisipasi politik publik yang sungguh-sungguh representatif, andal, apalagi satu-satunya.
Mencegah kuasa eksesif
Rasionalitas kedaruratan kebutuhan inilah yang perlu terus disadari dan diacu. Permasalahannya, seperti telah dipergunjingkan sejak kemunculan wacana kontrak sosial, pemberian kuasa kelembagaan yang terlalu besar, apalagi bersifat pamungkas, memang mempunyai keunggulan praktis, namun sebaliknya selalu mengundang bahaya tersendiri.
Katakanlah, ekses-ekses totalitarianisme. Seturut dengan itulah, pewacanaan kontrak sosial lanjut terus berbicara mengenai pembatasan, pemilahan, dan pengawasan kekuasaan.
Perlu terus disadari bahwa setiap peruntukan kuasa, apalagi yang sedemikian besar dan pamungkas, bukan saja harus mengenal pembatasan materi dan lingkup kewenangan, melainkan juga butuh tata-laksana saksama dalam pengaturan, penerapan, maupun pengawasan kewenangannya pula.
Dalam kesadaran semacam inilah, misalnya saja, telaah yudisial hanya bisa menguji dan membatalkan produk atau klausul produk hukum tertentu—dengan menguji keselarasannya terhadap produk hukum lebih tinggi dan dengan konstitusi sebagai acuan pamungkasnya—namun seharusnya tak berwenang menambahkan, apalagi membuat klausul hukum baru.
Demi ”kedaruratan” pemaksimalan keadilan partisipatif, segelintir hakim MK seolah-olah memiliki kewenangan sedemikian besar sehingga bisa membatalkan keputusan ratusan wakil absah lebih dari dua ratus juta rakyat Indonesia. Padahal, kenyataannya tidak benar-benar demikian, karena kuasanya dibatasi pada lingkup pencocokan belaka. Sebuah prosedur kerja yang relatif tak terlalu kompleks karena tak menyangkut telaah para pihak yang beperkara secara langsung, yang para pihaknya bisa diuntungkan langsung secara pribadi, melainkan sekadar perwujudan pertikaian perbedaan kepentingan dan pandangan mereka secara legal tekstual belaka.
Titik-berat proseduralnya lebih bersandar pada keahlian dan integritas para hakimnya belaka sehingga masih masuk akal kalau keputusannya bisa langsung bersifat final. Dengan demikian, gamblanglah, malapetaka di MK bermula pada pembebanan sengketa pilkada.
Di satu sisi, kepelikan materi perkaranya lebih membuka peluang untuk kewayuhan pemutusan sehingga kurang cocok dengan keputusan berwatak pamungkas.
Di sisi lain, watak, materi, dan lingkup perkaranya juga relatif tak punya sangkut-paut langsung dengan kedaruratan pemaksimalan partisipasi publik akibat kebuntuan jalur perjuangan reguler, karena lebih merupakan perkara manipulatif ketimbang perselisihan etikopolitik.
Sengketa-sengketa pilkada bukan hanya tak memerlukan perlakuan kedaruratan, melainkan penerapan keistimewaan kepamungkasan terhadap perkara semacam ini justru bisa menciptakan peluang manipulatif. Tak heran kalau MK lalu tampak seksi bagi orang-orang parpol, yang selanjutnya tentu saja sekurangnya-kurangnya membuka syak wasangka tersendiri.
Kuasa harus senantiasa kita rintang agar tak berpeluang menjadi eksesif, apalagi kalau sedari awal kita sadari potensi kerawanannya. MK akan jauh lebih sehat kalau dibatasi pada penanganan telaah yudisial semata karena kewenangan istimewanya yang rawan risiko lantaran bersifat pamungkas tersebut lalu otomatis mendapatkan pembatasan corak, materi, maupun lingkup perkara yang lebih sesuai dengan tingkat kerawanan kuasanya itu.
Setiap bentuk kuasa, apalagi yang sedemikian pamungkas, harus mengenal pembatasan, pemilahan, dan pengawasan. Persoalannya, sekali lagi, korupsi tak pernah sekadar perkara moral, tetapi selalu sekaligus perkara politik, perkara ekses kuasa.
Kalau kita mulai melebar mencari-cari musabab korupsi pada pengenduran tata nilai masyarakat, itu tanda-tanda bahaya. Bukan lantaran kedua perkara itu sama sekali tak bersangkut-paut, melainkan lebih lantaran merupakan tanda-tanda kita mulai putus asa sehingga terus ngoyoworo, terus mencari-cari tak berkejuntrungan.
Manusia memang bukan malaikat, tapi kuasa selalu mendahului korupsi. Kuasa yang eksesif tentunya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar