|
MASYARAKAT Indonesia untuk kali ke sekian dihentak
oleh ”tsunami besar ” dalam dunia hukum, ketika Rabu, 2
Oktober malam lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar karena diduga menerima suap terkait
sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah.
Media televisi malam itu saling berlomba menampilkan
informasi paling eksklusif. Hampir semua media cetak mengubah haluan headline
untuk terbitan paginya. Tak sampai 24 jam, KPK pun menetapkan Akil dan beberapa
orang lainnya dari DPR dan kepala daerah sebagai tersangka kasus penyuapan
tersebut.
Kaget dan prihatin, itulah kata yang terlontar dari
berbagai kalangan pada hari-hari ini. Gelombang ”tsunami hukum” yang datang
silih-berganti semakin memorakporandakan hukum dan keadilan di negeri ini.
Sungguh ironi besar, ketika suara publik begitu kuat meneriakkan pengganyangan
korupsi, di sisi lain penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, tercemari oleh kejahatan luar biasa itu.
Lengkap sudah kolaborasi korupsi di negeri ini ketika
tiga pilar negara berjamaah menjalankannya. Gagasan besar John Locke yang
disempurnakan oleh Montesquieu untuk memisahkan kekuasaan ke dalam Trias
Politika agar tercipta negara demokratis yang mampu mencegah penyalahgunaan
kekuasaan dan mendorong mekanisme check
and balances menjadi porak-poranda di negeri ini. Semua justru berbagi
kaveling dalam berladang korupsi.
Tidaklah mengherankan jika kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum dan keadilan makin tergerus. Jabatan sebagai
penyelenggara negara yang pada awal pelantikan mereka katakan sebagai amanah,
berubah menjadi khianat. Masyarakat bertanya-tanya, apakah yang salah dalam
sistem politik, hukum, dan ketatanegaraan kita, sehingga badai korupsi datang
silih-berganti?
Tentu kita masih ingat bagaimana pada awal reformasi,
kemasifan praktik korupsi ditengarai sebagai akibat keminiman kesejahteraan
penyelenggara negara dan penegak hukum. Pemerintah kemudian menaikkan
kesejahteraan atau remunerasi yang cukup signifikan bagi aparat yang rawan dengan
penyalahgunaan kekuasaan, semisal pegawai Ditjen Pajak, Bea dan Cukai, juga
aparat penegak hukum dari polisi, jaksa, dan hakim.
Maka masih banyak dipertanyakan efektivitas kebijakan
tersebut ketika ternyata muncul rentetan kasus yang melibatkan pegawai pajak
Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, jaksa Urip Tri Gunawan, hakim tipikor Kartini
Marpaung dan Heri Kisbandono di Semarang, politikus Angelina Sondakh, Luthfi
Hasan Ishaaq, Irjen Pol Djoko Susilo, Rubi Rubiandini dan berderet kasus lain
yang tak kalah menggemparkan.
Kini masyarakat kembali disuguhi drama terheboh yang
melibatkan Ketua MK. Mahkamah Konstitusi selama ini digadang-gadang sebagai
benteng terakhir keadilan yang masih steril dari praktik kotor. Kamis, 3
Oktober lalu KPK menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka. Tentu bukan hal
sepele, karena lazimnya kasus yang disidik KPK hampir pasti sampai meja
pengadilan karena memiliki bukti kuat permulaan terhadap pelanggaran hukum.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan tesis tentang
keminiman kesejahteraan penyelenggara negara dan penegak hukum sebagai faktor
pemicu korupsi tidak selamanya benar. Pendapatan yang ditingkatkan belum
terbukti efektif mengerem nafsu koruptif. Sebaliknya, menjadi bargaining untuk menaikkan ”tarif” suap
yang harus diberikan kepada mereka. Masyarakat pun seolah-olah telah terbiasa
ketika membaca angka-angka miliaran korupsi.
Proses
Komodifikasi
Dari berbagai peristiwa tersebut, termasuk kasus Akil,
tampaknya dunia hukum di Indonesia mengalami proses komodifikasi. Mengacu
pemikiran kaum Marxian, komodifikasi dapat dilihat sebagai proses mengubah
tujuan dan fungsi suatu aktivitas atau benda yang seharusnya nonkomersial dan
bersih dari kepentingan kapital, menjadi komoditas menggiurkan yang membawa
banyak keuntungan kapital.
Dunia hukum yang seharusnya menjadi sarana menegakkan
kebenaran dan keadilan bagi semua orang, terkomodifikasi sebagai alat untuk
memperoleh keuntungan bagi sebagian aparat penegak hukum. Kapitalisme yang saat
ini menghegemoni kehidupan dunia, merasuk ke ranah hukum, sehingga kini hukum
memiliki fungsi laten menjadi alat transaksi ekonomi.
Penyelesaian kasus-kasus hukum kini cenderung
transaksional, dan proses tersebut tidak pernah dipelajari oleh aparat penegak
hukum ketika mereka masih di fakultas hukum atau Akademi Kepolisian.
Kapitalismelah yang dijadikan guru, sehingga dengan cerdik (bukan cerdas) bagai
kancil, mereka mampu memanfaatkan wewenang hukum untuk pemupukan modal kapital.
Hasilnya, sengketa pilkada disulap sebagai peluang
pemupukan kapital karena sudah menjadi naluri orang yang bersengketa pasti akan
berusaha dan bersaing menjadi pemenang. Inilah peluang kapital yang kemudian
ditangkap dan dimainkan oleh aparat penegak hukum yang amoral.
Inilah ironi dunia penegakan hukum dan kita masih
harus bersabar menunggu karena tampaknya epilog drama korupsi belum juga
kunjung tiba waktunya. Tapi dengan sistem yang baik, didukung keterjagaan
integritas moral individu penegak hukum, kita tetap harus optimistis korupsi
dapat dilawan. Kita berharap, setelah peristiwa Akil, epilog segera datang
untuk mengakhiri drama yang seolah-oleh tak kunjung usai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar