|
Sejarah politik menjelang pesta demokrasi di Indonesia tumbuh bersamaan
dengan watak vandalisme para politisi di ruang-ruang publik. Begitu juga
menjelang Pemilu 2014 yang akan datang, vandalisme itu mewujud dalam tindak
komunikasi politik untuk kepentingan kampanye.
Vandalisme mengingatkan kita pada laku seseorang atau sekelompok di kota-kota besar, umumnya dilakoni anak jalanan untuk mengekspresi eksistensi diri di tengah-tengah lingkungan. Laku ekspresif sesungguhnya kreatif, berupa graffiti, tapi dilakoni dengan hal-hal yang menegasikan adap, kepatutan, atau etika publik. Kata-kata tak pantas, kalimat-kalimat makian, dan ekspresi bahasa dari kekalutan atas realitas hidup merusak estetika ruang-ruang publik, karena membangun kesan jorok dan kumuh pada suatu lingkungan.
Tapi ekspresi vadalisme para politisi berbeda. Mereka tidak melakukan graffiti menggunakan cat, atau mencorak-coreti dinding-dinding yang ada di ruang publik. Mereka mengotori lingkungan dengan menempeli poster dan memasang spanduk secara serampangan, sehingga menjadi kumuh dan jorok. Isi poster dan spanduk itu pun tidak berorientasi pada isu (issues-oriented) atau semacam ideologi politis yang ingin diperjuangkan dalam rangka memecahan masalah (problem solving) yang ada, tapi lebih menekankan pada orientasi pengelembungan citra (image-oriented).
Poster dan spanduk itu adalah medium komunikasi, yang menyimpan informasi tentang para politisi dan partai politik. Tanpa kecuali, setiap politisi yang datang dari ragam partai politik dan karenanya memiliki ragam idiologi politik, memasang poster dan spanduk yang isinya memiliki kesamaan.
Serbuan informasi yang sama itu menegaskan betapa para politisi dan partai politik sedang mengeksploitasi ruang publik untuk memanipulasi segala sesuatunya yang tak mendidik. Nilai-nilai yang dimunculkan tidak mengacu pada nilai-nilai kemuliaan publik. Sebut saja, para politisi dan partai politik menawarkan citra-citra paripurna dan berkoak-koak bahwa dirinya adalah “dewa”, atau semacam “mahdi” yang dinubuatkan dalam kitab suci sebagai sosok pembawa keberkahan.
Mereka mengklaim diri sebagai “santo” yang akan membawa pencerahan bagi kehidupan manusia, meskipun semuanya terkesan imajiner dan abstrak. Padahal, apa yang sedang mereka lakukan sesungguhnya menimbulkan persoalan krusial karena perilaku serupa sudah lebih dahulu dilakukan pada kapitalis dunia industri. Bahkan, pemegang regulasi (pemerintah) turut serta di dalamnya, sadar atau tidak, mempercepat proses merubuhkan nilai-nilai estetika yang seharusnya melekat pada ruang-ruang publik.
Dinamika politik harus punya aturan yang jelas. Maka, sebagaimana dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku, perkara menempelkan poster dan memasang spanduk menjelang Pemilu, punya aturan yang jelas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan pengaturnya. Namun, lantaran KPU belum mengeluarkan aturan mengenai kampanye untuk Pemilu 2014, para politisi memilih mengacu pada aturan lama. Peraturan lama menyebut masa kampanye dimulai sejak partai politik dinyatakan sah sebagai peserta Pemilu. Berarti, masa kampanye akan berlangsung 15–16 bulan, lebih panjang dari masa kampanye pada Pemilu 2009. Artinya, merujuk pada UU No 10/2008, peserta Pemilu 2009 berkampanye selama 9 bulan, sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009.
Jangka 15-16 bulan bisa membuat ruang-ruang publik bertambah kumuh dan jorok. Lebih parah lagi, publik akan dicekoki dengan gombal dan propaganda politik yang menjauh dari tradisi literasi politik. Alhasil, Pemilu 2014 yang diniatkan lebih berkualitas karena adanya kedewasaan berdemokrasi pada masyarakat, justru memperkuat eksistensi golongan putih (golput) akibat kemuakan terhadap segala yang berbau politik.
Sebab itu, KPU harus mengeluarkan peraturan baru tentang masa kampanye tersebut. Peraturan baru itu penting bukan saja untuk menjaga lingkungan ruang-ruang publik agar peruntukkannya lebih jelas bagi kepentingan publik, tapi agar proses kampanye caleg dan partai politik mampu menghasilkan pendidikan politik yang baik sekaligus meningkatkan kualitas Pemilu di negeri ini.
KPU memang tak gesit. Gerakannya statis, kinerjanya bagai jalan di tempat. Sebagai pelaksana Pemilu, KPU terkesan tak tanggap dengan dinamika yang ada karena terlalu administratif. Ketika sedang mengurus perkara administrasi calon anggota legislatif, KPU akan focus pada kegiatan itu saja. Sama sekali tidak akan memikirkan bahwa sepak terjang partai politik peserta Pemilu harus diawasi dan diatur karena bisa mencuri star untuk berkampanye.
Kampanye dalam kajian politik sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik untuk memersuasi pemilih (voter) agar mendapatkan dukungan dari banyak kalangan saat pencontrengan. Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), mendefenisikan kampanye sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan, serta dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Inti kegiatan kampanye adalah persuasi. Sebab itu, kampanye yang baik adalah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip Klingemann (2002), ada tiga tahapan dalam kampanye.
Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses harus berorientasi pada isu (issues-oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai soal nyata, faktual, elementer, dan membutuhkan penanganan di masyarakat. Sudah bukan saatnya lagi kampanye hanya menawarkan solusi imajiner yang abstrak, tidak memiliki basis pemecahan masalah (problem solving).
Kedua, pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini, riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran hingga teknik pelaksanaan kampanye yang sesuai. Pada tahap pengelolaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan memengaruhi aspek pengetahuan, sikap, serta keterampilan khalayak sasaran.
Ketiga, tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini, evaluasi diarahkan pada efektivitas kampanye dalam menghilangkan atau mengurangi masalah sebagaimana yang telah diidentifikasi pada tahap prakampanye.
Kampanye dengan demikian bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik, melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah, dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. ●
Vandalisme mengingatkan kita pada laku seseorang atau sekelompok di kota-kota besar, umumnya dilakoni anak jalanan untuk mengekspresi eksistensi diri di tengah-tengah lingkungan. Laku ekspresif sesungguhnya kreatif, berupa graffiti, tapi dilakoni dengan hal-hal yang menegasikan adap, kepatutan, atau etika publik. Kata-kata tak pantas, kalimat-kalimat makian, dan ekspresi bahasa dari kekalutan atas realitas hidup merusak estetika ruang-ruang publik, karena membangun kesan jorok dan kumuh pada suatu lingkungan.
Tapi ekspresi vadalisme para politisi berbeda. Mereka tidak melakukan graffiti menggunakan cat, atau mencorak-coreti dinding-dinding yang ada di ruang publik. Mereka mengotori lingkungan dengan menempeli poster dan memasang spanduk secara serampangan, sehingga menjadi kumuh dan jorok. Isi poster dan spanduk itu pun tidak berorientasi pada isu (issues-oriented) atau semacam ideologi politis yang ingin diperjuangkan dalam rangka memecahan masalah (problem solving) yang ada, tapi lebih menekankan pada orientasi pengelembungan citra (image-oriented).
Poster dan spanduk itu adalah medium komunikasi, yang menyimpan informasi tentang para politisi dan partai politik. Tanpa kecuali, setiap politisi yang datang dari ragam partai politik dan karenanya memiliki ragam idiologi politik, memasang poster dan spanduk yang isinya memiliki kesamaan.
Serbuan informasi yang sama itu menegaskan betapa para politisi dan partai politik sedang mengeksploitasi ruang publik untuk memanipulasi segala sesuatunya yang tak mendidik. Nilai-nilai yang dimunculkan tidak mengacu pada nilai-nilai kemuliaan publik. Sebut saja, para politisi dan partai politik menawarkan citra-citra paripurna dan berkoak-koak bahwa dirinya adalah “dewa”, atau semacam “mahdi” yang dinubuatkan dalam kitab suci sebagai sosok pembawa keberkahan.
Mereka mengklaim diri sebagai “santo” yang akan membawa pencerahan bagi kehidupan manusia, meskipun semuanya terkesan imajiner dan abstrak. Padahal, apa yang sedang mereka lakukan sesungguhnya menimbulkan persoalan krusial karena perilaku serupa sudah lebih dahulu dilakukan pada kapitalis dunia industri. Bahkan, pemegang regulasi (pemerintah) turut serta di dalamnya, sadar atau tidak, mempercepat proses merubuhkan nilai-nilai estetika yang seharusnya melekat pada ruang-ruang publik.
Dinamika politik harus punya aturan yang jelas. Maka, sebagaimana dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku, perkara menempelkan poster dan memasang spanduk menjelang Pemilu, punya aturan yang jelas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan pengaturnya. Namun, lantaran KPU belum mengeluarkan aturan mengenai kampanye untuk Pemilu 2014, para politisi memilih mengacu pada aturan lama. Peraturan lama menyebut masa kampanye dimulai sejak partai politik dinyatakan sah sebagai peserta Pemilu. Berarti, masa kampanye akan berlangsung 15–16 bulan, lebih panjang dari masa kampanye pada Pemilu 2009. Artinya, merujuk pada UU No 10/2008, peserta Pemilu 2009 berkampanye selama 9 bulan, sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009.
Jangka 15-16 bulan bisa membuat ruang-ruang publik bertambah kumuh dan jorok. Lebih parah lagi, publik akan dicekoki dengan gombal dan propaganda politik yang menjauh dari tradisi literasi politik. Alhasil, Pemilu 2014 yang diniatkan lebih berkualitas karena adanya kedewasaan berdemokrasi pada masyarakat, justru memperkuat eksistensi golongan putih (golput) akibat kemuakan terhadap segala yang berbau politik.
Sebab itu, KPU harus mengeluarkan peraturan baru tentang masa kampanye tersebut. Peraturan baru itu penting bukan saja untuk menjaga lingkungan ruang-ruang publik agar peruntukkannya lebih jelas bagi kepentingan publik, tapi agar proses kampanye caleg dan partai politik mampu menghasilkan pendidikan politik yang baik sekaligus meningkatkan kualitas Pemilu di negeri ini.
KPU memang tak gesit. Gerakannya statis, kinerjanya bagai jalan di tempat. Sebagai pelaksana Pemilu, KPU terkesan tak tanggap dengan dinamika yang ada karena terlalu administratif. Ketika sedang mengurus perkara administrasi calon anggota legislatif, KPU akan focus pada kegiatan itu saja. Sama sekali tidak akan memikirkan bahwa sepak terjang partai politik peserta Pemilu harus diawasi dan diatur karena bisa mencuri star untuk berkampanye.
Kampanye dalam kajian politik sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik untuk memersuasi pemilih (voter) agar mendapatkan dukungan dari banyak kalangan saat pencontrengan. Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), mendefenisikan kampanye sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan, serta dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Inti kegiatan kampanye adalah persuasi. Sebab itu, kampanye yang baik adalah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip Klingemann (2002), ada tiga tahapan dalam kampanye.
Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses harus berorientasi pada isu (issues-oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai soal nyata, faktual, elementer, dan membutuhkan penanganan di masyarakat. Sudah bukan saatnya lagi kampanye hanya menawarkan solusi imajiner yang abstrak, tidak memiliki basis pemecahan masalah (problem solving).
Kedua, pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini, riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran hingga teknik pelaksanaan kampanye yang sesuai. Pada tahap pengelolaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan memengaruhi aspek pengetahuan, sikap, serta keterampilan khalayak sasaran.
Ketiga, tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini, evaluasi diarahkan pada efektivitas kampanye dalam menghilangkan atau mengurangi masalah sebagaimana yang telah diidentifikasi pada tahap prakampanye.
Kampanye dengan demikian bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik, melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah, dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar