Sabtu, 12 Oktober 2013

Kampanye Vandalisme

Kampanye Vandalisme
Budi Hatees  Peneliti Matakata Institute, Menetap di Sipirok
OKEZONENEWS, 11 Oktober 2013


Sejarah politik menjelang pesta demokrasi di Indonesia tumbuh bersamaan dengan watak vandalisme para politisi di ruang-ruang publik. Begitu juga menjelang Pemilu 2014 yang akan datang, vandalisme itu mewujud dalam tindak komunikasi politik untuk kepentingan kampanye. 

Vandalisme mengingatkan kita pada laku seseorang atau sekelompok di kota-kota besar,  umumnya dilakoni anak  jalanan untuk mengekspresi eksistensi diri di tengah-tengah lingkungan. Laku ekspresif sesungguhnya kreatif, berupa graffiti, tapi dilakoni dengan hal-hal yang menegasikan adap, kepatutan, atau etika publik.  Kata-kata tak pantas, kalimat-kalimat makian, dan ekspresi bahasa dari kekalutan atas realitas hidup merusak estetika ruang-ruang publik, karena  membangun kesan jorok dan kumuh pada suatu lingkungan.

Tapi ekspresi vadalisme para politisi berbeda. Mereka tidak melakukan graffiti menggunakan cat,  atau mencorak-coreti dinding-dinding yang ada di ruang publik. Mereka mengotori lingkungan dengan menempeli poster dan memasang spanduk secara serampangan, sehingga menjadi kumuh dan jorok.  Isi poster dan spanduk itu pun tidak berorientasi  pada isu  (issues-oriented) atau semacam ideologi politis  yang ingin diperjuangkan dalam rangka memecahan  masalah (problem solving) yang ada, tapi  lebih menekankan pada  orientasi  pengelembungan citra (image-oriented).

Poster dan spanduk itu adalah medium komunikasi, yang menyimpan informasi tentang para politisi dan partai politik. Tanpa kecuali, setiap politisi yang datang dari ragam partai politik dan karenanya memiliki ragam idiologi politik, memasang poster dan spanduk yang isinya memiliki kesamaan. 

Serbuan informasi yang sama itu menegaskan betapa para politisi dan partai politik sedang mengeksploitasi ruang publik untuk memanipulasi segala  sesuatunya yang tak mendidik. Nilai-nilai yang dimunculkan tidak mengacu pada nilai-nilai kemuliaan publik. Sebut saja, para politisi dan partai politik menawarkan citra-citra paripurna dan berkoak-koak bahwa dirinya adalah “dewa”, atau semacam “mahdi”  yang dinubuatkan dalam kitab suci sebagai sosok pembawa keberkahan. 

Mereka  mengklaim diri sebagai “santo” yang akan membawa pencerahan bagi kehidupan manusia, meskipun semuanya terkesan imajiner dan abstrak. Padahal, apa yang sedang mereka  lakukan sesungguhnya menimbulkan persoalan krusial karena perilaku serupa sudah lebih dahulu dilakukan pada kapitalis dunia industri. Bahkan, pemegang regulasi (pemerintah) turut  serta  di dalamnya, sadar atau tidak,  mempercepat proses merubuhkan nilai-nilai estetika yang seharusnya melekat pada ruang-ruang publik.

Dinamika politik harus punya aturan yang jelas.  Maka, sebagaimana dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku,  perkara menempelkan poster dan memasang spanduk menjelang Pemilu, punya aturan yang jelas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan pengaturnya.  Namun, lantaran KPU belum mengeluarkan aturan mengenai kampanye untuk Pemilu 2014, para politisi  memilih mengacu pada aturan lama. Peraturan lama menyebut masa  kampanye dimulai sejak partai  politik dinyatakan sah  sebagai peserta Pemilu.  Berarti, masa kampanye akan berlangsung 15–16  bulan,  lebih panjang  dari masa kampanye  pada Pemilu 2009.  Artinya, merujuk pada UU No  10/2008,  peserta Pemilu 2009  berkampanye  selama 9 bulan, sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April  2009.  

Jangka 15-16 bulan bisa  membuat ruang-ruang publik bertambah kumuh dan jorok.  Lebih parah lagi,  publik akan dicekoki dengan gombal dan propaganda politik yang menjauh dari tradisi literasi politik. Alhasil,  Pemilu 2014  yang diniatkan lebih berkualitas karena adanya kedewasaan berdemokrasi pada masyarakat, justru memperkuat eksistensi golongan putih (golput) akibat kemuakan terhadap segala yang berbau politik. 

Sebab itu, KPU harus mengeluarkan peraturan baru tentang masa kampanye tersebut.  Peraturan baru  itu penting bukan saja untuk menjaga lingkungan ruang-ruang publik agar peruntukkannya lebih jelas bagi kepentingan publik, tapi agar proses  kampanye  caleg dan partai politik mampu menghasilkan pendidikan politik  yang baik sekaligus meningkatkan kualitas Pemilu di negeri ini.
    
KPU memang tak gesit. Gerakannya statis,  kinerjanya bagai jalan di tempat. Sebagai pelaksana Pemilu,  KPU terkesan tak tanggap dengan dinamika yang ada karena terlalu administratif.  Ketika sedang mengurus perkara administrasi  calon anggota legislatif,  KPU akan focus pada kegiatan itu saja. Sama sekali tidak akan memikirkan bahwa  sepak terjang partai politik peserta Pemilu harus diawasi dan diatur karena bisa mencuri star untuk berkampanye.

Kampanye dalam kajian politik sejatinya merupakan  bentuk  komunikasi  politik  untuk memersuasi  pemilih (voter) agar mendapatkan  dukungan dari banyak  kalangan saat pencontrengan.  Michael dan  Roxanne Parrot dalam bukunya  Persuasive Communication  Campaign (1993), mendefenisikan kampanye  sebagai proses  yang dirancang secara sadar,  bertahap  dan berkelanjutan,  serta dilaksanakan pada rentang  waktu tertentu dengan  tujuan memengaruhi khalayak  sasaran yang telah ditetapkan.

Inti kegiatan kampanye  adalah persuasi. Sebab itu, kampanye  yang baik adalah  kampanye berkonsep  dan  tepat pada target yang dibidik.  Dalam pandangan  Leon  Ostergaard, sebagaimana dikutip  Klingemann (2002), ada tiga tahapan dalam kampanye. 

Pertama, mengidentifikasi  masalah faktual  yang dirasakan.  Syarat kampanye  sukses harus berorientasi  pada isu (issues-oriented), bukan  semata berorientasi pada  citra (image-oriented). Kampanye  merupakan momentum tepat  untuk menunjukkan bahwa  kandidat memahami benar  berbagai soal nyata, faktual,  elementer, dan membutuhkan  penanganan di masyarakat. Sudah bukan saatnya lagi  kampanye hanya menawarkan  solusi imajiner yang abstrak,  tidak memiliki basis pemecahan  masalah (problem solving).  

Kedua, pengelolaan kampanye  yang dimulai dari perancangan,  pelaksanaan hingga  evaluasi. Dalam tahap ini, riset perlu dilakukan untuk  mengidentifikasi karakteristik  khalayak sasaran agar dapat  merumuskan pesan, aktor kampanye,  saluran hingga teknik  pelaksanaan kampanye yang  sesuai. Pada tahap pengelolaan  ini, seluruh isi program  kampanye  (campaign content) diarahkan  untuk  membekali  dan memengaruhi  aspek pengetahuan,  sikap,  serta keterampilan  khalayak  sasaran.
    
Ketiga, tahap  evaluasi  pada penanggulangan masalah  (reduced problem). Dalam  hal ini, evaluasi diarahkan pada efektivitas  kampanye dalam  menghilangkan atau mengurangi  masalah sebagaimana  yang telah diidentifikasi pada  tahap prakampanye.
    
Kampanye  dengan demikian bukanlah  sebuah mekanisme janji  palsu atau pembohongan publik,  melainkan sebuah deklarasi  komitmen untuk melakukan  hal-hal terbaik yang bisa  dilakukan sekaligus meyakinkan  berbagai pihak bahwa para  kandidat memiliki berbagai solusi  jangka pendek, menengah,  dan panjang sebagai formula  mengurangi masalah yang ada  di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar