|
Data dari Survei Nielsen Media Research seperti
dikutip dari buku Iklan dan Politik (2008) menunjukkan partai politik yang
paling banyak beriklan di media massa pada Pemilu Legislatif 2004 muncul
sebagai pemenang pemilu.
PDIP yang
membelanjakan Rp 39,25 miliar memperoleh 109 kursi DPR (21.026.629 suara) dan
Partai Golkar yang mengeluarkan dana Rp 21,75 miliar memperoleh 128 kursi DPR
(24.480.757 suara).
Dalam
Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat yang menghabiskan dana Rp
139.127.628.740 miliar untuk beriklan di media cetak dan elektronik, muncul
sebagai pemenang dengan memperoleh 148 kursi DPR (21.703.137 suara).
Apa
itu iklan politik? Menurut Sigit Santosa dalam buku Creative Advertising, iklan politik adalah taktik penyampaian
pesan, baik pesan verbal (visi dan misi) maupun pesan nonverbal (foto diri)
melalui media yang didesain sedemikian rupa secara komunikatif guna menarik
hati masyarakat atau audience.
Sejak
pemilu di era reformasi, Iklan politik memang merupakan salah satu cara yang
efektif untuk meningkatkan popularitas partai politik atau tokoh politik agar
nantinya dipilih masyarakat.
Karena
itu, saat ini beberapa ketua umum partai sudah berlomba-lomba beriklan di media
massa. Sebut saja calon presiden dari Partai Golkar Aburizal Bakrie, pasangan
capres-cawapres Partai Hanura Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, serta Ketua Dewan
Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Sejumlah
lembaga survei sejak awal 2013 sudah mulai merilis hasil survei calon presiden
2014. Hasilnya antara lain, Prabowo Subianto memperoleh 15,6 persen dan
Aburizal Bakrie 7 persen sesuai survei tingkat elektabilitas capres 2014 yang
dilakukan CSIS.
Dari
hasil survei yang dilakukan Lembaga Klimatologi Politik (LKP), Wiranto
memperoleh 18,5 persen dan Prabowo Subianto 15,4 persen. Hasil survei yang
dilakukan Pusat Data Bersatu pimpinan Didik J Rachbini pada 11-18 Juni 2013
juga menyebutkan Prabowo Subianto memperoleh 19,83 persen serta Aburizal Bakrie
11,62 persen.
Bahkan
survei yang dilakukan Litbang Kompas juga menunjukkan nama Prabowo (15,1
persen) dan Aburizal Bakrie (8,8 persen). Namun dari semua hasil lembaga survei
yang disebutkan di atas diketahui bahwa yang menempati urutan nomor satu untuk
capres 2014 adalah Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang juga mantan Wali Kota
Solo.
Mengapa
Jokowi berada di posisi teratas, meski ia tidak memasang iklan di media massa?
Jawabannya, karena Jokowi sering muncul di berita televisi dan koran. Lalu,
apakah kini efektivitas iklan politik sudah kalah dengan efektivitas berita?
Jawabannya iya.
Sejak
nama Jokowi mencuat di kancah nasional saat memperkenalkan mobil Esemka sampai
kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, berita tentang Jokowi hampir tiap hari
tayang di semua televisi nasional.
Menurut
pengakuan seorang produser eksekutif berita dari sebuah televisi swasta, berita
tentang Jokowi selalu ditonton pemirsa, yang dibuktikan dari tingginya rating/share yang terekam di minute by minute rating/share yang
dikeluarkan lembaga survei AC Nielsen setiap harinya.
Bukan
hanya televisi yang setiap hari menyiarkan berita tentang Jokowi, media online
Detik.com pun membuat judul khusus yang memberitakan kegiatan Jokowi sebagai
gubernur dari hari ke hari. Ini artinya, sosok Jokowi sudah menancap di benak
masyarakat.
Antara
iklan politik dan berita politik sudah pasti memiliki perbedaan yang tajam
dalam memengaruhi masyarakat dalam memilih capres. Ian Ward dalam bukunya Politics Of The Media (1995) menyebutkan
bahwa iklan politik terang-terangan menggunakan media massa untuk propaganda
dan bertujuan membujuk, sedangkan berita didasari sebuah objektivitas.
Jadi
jelas, masyarakat lebih memilih berita karena obyektif dibanding iklan yang
sudah direkayasa sedemikian rupa agar menjadi karya atau tontonan yang bagus.
Satu faktor lagi yang menyebabkan iklan politik para capres-cawapres yang saat
ini muncul menjadi tidak efektif adalah karena iklan mereka hanya ditayangkan
di televisi miliknya sendiri.
Sebut
saja, iklan ARB hanya muncul di TV One dan ANTV, serta iklan Wiranto-HT hanya
tayang di MNC group (RCTI, MNC TV dan Global TV), itu pun paling banyak 10 spot
setiap harinya. Hal ini berbeda dengan berita Jokowi yang tayang di semua
program berita televisi nasional, lokal maupun televisi berbayar, baik itu
berita pagi, siang, petang hingga malam.
Pada
Pemilu 2014, efektivitas berita politik bisa jadi bakal jauh meninggalkan
efektivitas dari iklan politik. Hal ini karena adanya aturan yang ketat dalam
Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Bab VIII tentang Kampanye, di mana pada
Pasal 83 Ayat 2 menyebutkan: “kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 huruf e (iklan media massa cetak dan media massa elektronik) dan huruf f
(rapat umum) dilaksanakan selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya
massa tenang”.
Jika
pemilu legislatif digelar 9 April 2014 maka partai politik baru bisa beriklan
di media massa pada 16 Maret 2014. Aturan lain yang juga membatasi partai
politik untuk beriklan di media massa cetak dan lembaga penyiaran adalah
larangan untuk menjual blocking segmen
dan/atau blocking time kampanye
pemilu kepada partai politik (Pasal 96, Ayat 1 UU Pemilu No 8/2012).
Pembatasan
iklan politik di media massa dan lembaga penyiaran ini tentu tak bisa
mengganjal berita kegiatan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta. Itu karena
sejauh ini berita tentang Jokowi didominasi dengan beritanya yang sering
blusukan dan membahas masalah-masalah di Ibu Kota.
Sosok
Jokowi yang merupakan kader PDIP tentu sangat menguntungkan bagi partai
pimpinan Megawati Soekarnoputri ini. Makin populer Jokowi bisa membuat PDIP
semakin populer, apalagi PDIP yang dua periode pemerintahan ini memosisikan
diri sebagai oposisi yang dekat dengan aspirasi rakyat.
Pemilu
Legislatif masih tujuh bulan lagi, waktu ini tentu harus dimaksimalkan oleh
partai politik atau capres-cawapres agar popularitas dan elektabilitas
meningkat. Karena itu dituntut kreativitas dari partai politik atau
capres-cawapres dalam mengemas kegiatannya sebagai sebuah berita yang menarik
sehingga layak muat atau layak siar.
Nanti
ketika masa kampanye tiba, barulah “serangan udara” melalui iklan politik yang
dikemas dengan menarik bisa menjadi kombinasi yang diharapkan mampu menjadi
peluru tambahan bagi partai politik atau bakal capres-cawapres agar
elektabilitasnya tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar