Sabtu, 12 Oktober 2013

Iklan Politik dan Berita Politik

Iklan Politik dan Berita Politik
Eko Ardiyanto  Mahasiswa S-2 Komunikasi Universitas YAI Jakarta,
Anggota Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
SINAR HARAPAN, 11 Oktober 2013


Data dari Survei Nielsen Media Research seperti dikutip dari buku Iklan dan Politik (2008) menunjukkan partai politik yang paling banyak beriklan di media massa pada Pemilu Legislatif 2004 muncul sebagai pemenang pemilu.

PDIP yang membelanjakan Rp 39,25 miliar memperoleh 109 kursi DPR (21.026.629 suara) dan Partai Golkar yang mengeluarkan dana Rp 21,75 miliar memperoleh 128 kursi DPR (24.480.757 suara).

Dalam Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat yang menghabiskan dana Rp 139.127.628.740 miliar untuk beriklan di media cetak dan elektronik, muncul sebagai pemenang dengan memperoleh 148 kursi DPR (21.703.137 suara).

Apa itu iklan politik? Menurut Sigit Santosa dalam buku Creative Advertising, iklan politik adalah taktik penyampaian pesan, baik pesan verbal (visi dan misi) maupun pesan nonverbal (foto diri) melalui media yang didesain sedemikian rupa secara komunikatif guna menarik hati masyarakat atau audience.

Sejak pemilu di era reformasi, Iklan politik memang merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan popularitas partai politik atau tokoh politik agar nantinya dipilih masyarakat.
Karena itu, saat ini beberapa ketua umum partai sudah berlomba-lomba beriklan di media massa. Sebut saja calon presiden dari Partai Golkar Aburizal Bakrie, pasangan capres-cawapres Partai Hanura Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, serta Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Sejumlah lembaga survei sejak awal 2013 sudah mulai merilis hasil survei calon presiden 2014. Hasilnya antara lain, Prabowo Subianto memperoleh 15,6 persen dan Aburizal Bakrie 7 persen sesuai survei tingkat elektabilitas capres 2014 yang dilakukan CSIS.

Dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Klimatologi Politik (LKP), Wiranto memperoleh 18,5 persen dan Prabowo Subianto 15,4 persen. Hasil survei yang dilakukan Pusat Data Bersatu pimpinan Didik J Rachbini pada 11-18 Juni 2013 juga menyebutkan Prabowo Subianto memperoleh 19,83 persen serta Aburizal Bakrie 11,62 persen.

Bahkan survei yang dilakukan Litbang Kompas juga menunjukkan nama Prabowo (15,1 persen) dan Aburizal Bakrie (8,8 persen). Namun dari semua hasil lembaga survei yang disebutkan di atas diketahui bahwa yang menempati urutan nomor satu untuk capres 2014 adalah Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang juga mantan Wali Kota Solo.

Mengapa Jokowi berada di posisi teratas, meski ia tidak memasang iklan di media massa? Jawabannya, karena Jokowi sering muncul di berita televisi dan koran. Lalu, apakah kini efektivitas iklan politik sudah kalah dengan efektivitas berita? Jawabannya iya.

Sejak nama Jokowi mencuat di kancah nasional saat memperkenalkan mobil Esemka sampai kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, berita tentang Jokowi hampir tiap hari tayang di semua televisi nasional.

Menurut pengakuan seorang produser eksekutif berita dari sebuah televisi swasta, berita tentang Jokowi selalu ditonton pemirsa, yang dibuktikan dari tingginya rating/share yang terekam di minute by minute rating/share yang dikeluarkan lembaga survei AC Nielsen setiap harinya.

Bukan hanya televisi yang setiap hari menyiarkan berita tentang Jokowi, media online Detik.com pun membuat judul khusus yang memberitakan kegiatan Jokowi sebagai gubernur dari hari ke hari. Ini artinya, sosok Jokowi sudah menancap di benak masyarakat.

Antara iklan politik dan berita politik sudah pasti memiliki perbedaan yang tajam dalam memengaruhi masyarakat dalam memilih capres. Ian Ward dalam bukunya Politics Of The Media (1995) menyebutkan bahwa iklan politik terang-terangan menggunakan media massa untuk propaganda dan bertujuan membujuk, sedangkan berita didasari sebuah objektivitas.

Jadi jelas, masyarakat lebih memilih berita karena obyektif dibanding iklan yang sudah direkayasa sedemikian rupa agar menjadi karya atau tontonan yang bagus. Satu faktor lagi yang menyebabkan iklan politik para capres-cawapres yang saat ini muncul menjadi tidak efektif adalah karena iklan mereka hanya ditayangkan di televisi miliknya sendiri.

Sebut saja, iklan ARB hanya muncul di TV One dan ANTV, serta iklan Wiranto-HT hanya tayang di MNC group (RCTI, MNC TV dan Global TV), itu pun paling banyak 10 spot setiap harinya. Hal ini berbeda dengan berita Jokowi yang tayang di semua program berita televisi nasional, lokal maupun televisi berbayar, baik itu berita pagi, siang, petang hingga malam.

Pada Pemilu 2014, efektivitas berita politik bisa jadi bakal jauh meninggalkan efektivitas dari iklan politik. Hal ini karena adanya aturan yang ketat dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Bab VIII tentang Kampanye, di mana pada Pasal 83 Ayat 2 menyebutkan: “kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 huruf e (iklan media massa cetak dan media massa elektronik) dan huruf f (rapat umum) dilaksanakan selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya massa tenang”.

Jika pemilu legislatif digelar 9 April 2014 maka partai politik baru bisa beriklan di media massa pada 16 Maret 2014. Aturan lain yang juga membatasi partai politik untuk beriklan di media massa cetak dan lembaga penyiaran adalah larangan untuk menjual blocking segmen dan/atau blocking time kampanye pemilu kepada partai politik (Pasal 96, Ayat 1 UU Pemilu No 8/2012).

Pembatasan iklan politik di media massa dan lembaga penyiaran ini tentu tak bisa mengganjal berita kegiatan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta. Itu karena sejauh ini berita tentang Jokowi didominasi dengan beritanya yang sering blusukan dan membahas masalah-masalah di Ibu Kota.

Sosok Jokowi yang merupakan kader PDIP tentu sangat menguntungkan bagi partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini. Makin populer Jokowi bisa membuat PDIP semakin populer, apalagi PDIP yang dua periode pemerintahan ini memosisikan diri sebagai oposisi yang dekat dengan aspirasi rakyat.

Pemilu Legislatif masih tujuh bulan lagi, waktu ini tentu harus dimaksimalkan oleh partai politik atau capres-cawapres agar popularitas dan elektabilitas meningkat. Karena itu dituntut kreativitas dari partai politik atau capres-cawapres dalam mengemas kegiatannya sebagai sebuah berita yang menarik sehingga layak muat atau layak siar.

Nanti ketika masa kampanye tiba, barulah “serangan udara” melalui iklan politik yang dikemas dengan menarik bisa menjadi kombinasi yang diharapkan mampu menjadi peluru tambahan bagi partai politik atau bakal capres-cawapres agar elektabilitasnya tinggi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar