Sabtu, 05 Oktober 2013

Predikat Haji Mabrur

Predikat Haji Mabrur
Dwi Oktaviani Kurniawati  ;  Aktivis Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) IAIN Sulthan Thaha Jambi
SUARA KARYA, 04 Oktober 2013


Haji merupakan ibadah yang selalu dicita-citakan oleh kaum muslimin di Indonesia khususnya dan umumnya bagi umat Islam di dunia. Animo kaum muslimin terutama di Indonesia untuk menjalankan rukun Islam yang kelima ini. Peminat, merelakan ngantre bertahun-tahun, yakni dua tahun, tiga tahun, lima bahkan sampai sepuluh tahun lebih, seperti yang terjadi di sebagian daerah Jawa Timur.

Orang yang sudah haji itu mempunyai daya magis tersendiri dibandingkan dengan orang yang belum haji. Rukun Islam yang lima sudah dijalankan dengan sempurna. Namun ironisnya, ada sebagian oknum yang berlindung dibalik kemulian gelar haji. Untuk menambah nilai kewibawaan mereka di hadapan masyarakat, mereka menjalankan ibadah haji.

Contoh yang sering terjadi adalah ketika akan ada pemilihan umum. Banyak calon legislatif atau pemimpin daerah yang menampilkan gelar hajinya di spanduk atau poster kampanye, tidak seperti hari biasanya ketika mereka mengantor atau membahas bisnis dengan koleganya. Banyak artis menjadi sorotan publik ketika mereka ingin melakukan ibadah haji. Padahal tindakannya setelah pulang dari tanah suci jauh dari nilai-nilai ritual haji. Mereka masih tetap dengan tingkah lakunya yang dahulu. Bahkan, setelah haji mereka masih banyak yang melakukan korupsi dan maksiat tanpa malu.

Melaksanakan ibadah haji tidak lain karena ingin menyempurnakan rukum Islam yang prinsip di dalam keislaman kita. Sehingga kita termasuk orang-orang yang dekat kepada-Nya. Apa artinya haji ditunaikan, jika tenyata bukan mendekatkan diri kepada Allah. Setiap ibadah yang dilaksanakan dengan tujuan sama selain mencari ridha Allah, tidak akan bernilai di sisi Allah SWT, dengan kata lain ibadah hajinya akan ditolak (mardud).

Yang heboh lagi, ada sebagian dari kaum muslimin nekat ngutang untuk membayar ongkos nasik haji (ONH). Mereka sebenarnya belum mampu menunaikan ibadah haji, tetapi mereka memaksakan kehendak lantaran ingin dipanggil Pak Haji atau Ibu Hajah. Tidak sedikit orang menunaikan ibadah haji lantaran ingin mendapat prestise 'haji' sehingga dijadikan sebagai alat memperkuat status sosialnya, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat. Banyak dari mereka melupakan tujuan awal menjalankan ibadah haji yang tidak lain adalah untuk menjadi haji yang mabrur.

Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siradj, kemabruran akan dicapai di samping melaksanakan haji sesuai dengan aturan syariat yang memenuhi syarat dan rukunnya, dia juga mengerjakan ibadah haji dengan ikhlas yang semata-mata karena Allah SWT, bukan alasan lainnya. Sepulang dari tanah suci ia akan mendapatkan ketenangan dan tuma'ninah hawa nafsunya. Jadi, pola pikirnya tidak hanya melulu terdorong oleh nafsu angkara murka, egois, bergelimang kemewahan, dan kepuasan. Walaupun di dalam hati penuh memikirkan segala macam kehidupan dunia tapi ada ruang untuk zikir kepada Allah untuk mendapatkan tempat yang haq (Tabloid Republika, 4 Januari 2008).

Tentang kemabruran telah ditegaskan oleh Rasulullah SWT, "Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal dan kemudian diucapkannya, labbaikallaahumma labbaik," (ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu). Maka berkata penyeru dari langit, "Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Pembekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa."

Salah seorang pakar hadist Al Hafidh Ibn Hajar al Asqalani dalam kitab Fathul Baarii, syarah Shahih Bukhari menjelaskan, "Haji mabrur adalah haji yang maqbul yakni haji yang diterima oleh Alah SWT."
Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim. "Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riyanya, tidak ada sum'ah tidak rafats dan tidak fusuq."

Selanjutnya Abu Bakar Jabir al Jazaari dalam kitab Minhajul Muslimin mengungkapkan, "Haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal saleh dan kebajikan-kebajikan."
Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh para ulama tentang pengertian haji mabrur ini, maka dapat disimpulkan bahwa haji mambur adalah haji yang dapat disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebuah predikat haji yang tidak mendatangkan perasaan riya bersih dari dosa senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal-amal saleh, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.

Menggapai haji mabrur sangatlah sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Siapa sangka, dari setiap 600 ribu jiwa yang berangkat ke tanah suci hanya enam orang yang meraih haji mabrur. Begitulah riwayat yang tertera dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Bahkan siapa sangka pula, ada yang meraih haji mabrur padahal yang bersangkutan sama sekali tidak ke sana, gagal berangkat lantaran menyerahkan ongkos hajinya untuk memberi makan orang miskin. Sebagaimana kisah Abdullah Ibn al-Mubarak dalam riwayat yang lain.

Cerita atau kisah itu entah kapan kejadiannya. Tapi terlepas benar tidaknya kisah tersebut, Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tekad dan niat dapat menjadi sebab diraihnya kebaikan yang sempurna, meskipun perbuatan itu sendiri belum dilakukan. "Maka siapa saja yang bertekad untuk melakukan kebaikan sementara ia belum sempat untuk mewujudkannya Allah SWT telah menuliskannya sebagai sebuah kebajikan yang sempurna (sama seperti telah melaksanakan-nya)."

Meraih haji mabrur itu tidak hanya tergantung dalam rangkaian ritual ibadahnya, tetapi jauh lebih penting adalah penghayatan pelaksanaan ibadah itu sendiri yang dapat melahirkan perubahan perilaku sekembalinya dari tanah suci. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar