|
Haji merupakan ibadah yang selalu dicita-citakan oleh kaum
muslimin di Indonesia khususnya dan umumnya bagi umat Islam di dunia. Animo
kaum muslimin terutama di Indonesia untuk menjalankan rukun Islam yang kelima
ini. Peminat, merelakan ngantre bertahun-tahun, yakni dua tahun, tiga tahun, lima
bahkan sampai sepuluh tahun lebih, seperti yang terjadi di sebagian daerah Jawa
Timur.
Orang yang sudah haji itu mempunyai daya magis tersendiri
dibandingkan dengan orang yang belum haji. Rukun Islam yang lima sudah
dijalankan dengan sempurna. Namun ironisnya, ada sebagian oknum yang berlindung
dibalik kemulian gelar haji. Untuk menambah nilai kewibawaan mereka di hadapan
masyarakat, mereka menjalankan ibadah haji.
Contoh yang sering terjadi adalah ketika akan ada pemilihan
umum. Banyak calon legislatif atau pemimpin daerah yang menampilkan gelar
hajinya di spanduk atau poster kampanye, tidak seperti hari biasanya ketika
mereka mengantor atau membahas bisnis dengan koleganya. Banyak artis menjadi
sorotan publik ketika mereka ingin melakukan ibadah haji. Padahal tindakannya
setelah pulang dari tanah suci jauh dari nilai-nilai ritual haji. Mereka masih
tetap dengan tingkah lakunya yang dahulu. Bahkan, setelah haji mereka masih
banyak yang melakukan korupsi dan maksiat tanpa malu.
Melaksanakan ibadah haji tidak lain karena ingin
menyempurnakan rukum Islam yang prinsip di dalam keislaman kita. Sehingga kita
termasuk orang-orang yang dekat kepada-Nya. Apa artinya haji ditunaikan, jika
tenyata bukan mendekatkan diri kepada Allah. Setiap ibadah yang dilaksanakan
dengan tujuan sama selain mencari ridha Allah, tidak akan bernilai di sisi
Allah SWT, dengan kata lain ibadah hajinya akan ditolak (mardud).
Yang heboh lagi, ada sebagian dari kaum muslimin nekat
ngutang untuk membayar ongkos nasik haji (ONH). Mereka sebenarnya belum mampu
menunaikan ibadah haji, tetapi mereka memaksakan kehendak lantaran ingin
dipanggil Pak Haji atau Ibu Hajah. Tidak sedikit orang menunaikan ibadah haji
lantaran ingin mendapat prestise 'haji' sehingga dijadikan sebagai alat
memperkuat status sosialnya, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari
masyarakat. Banyak dari mereka melupakan tujuan awal menjalankan ibadah haji
yang tidak lain adalah untuk menjadi haji yang mabrur.
Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil
Siradj, kemabruran akan dicapai di samping melaksanakan haji sesuai dengan
aturan syariat yang memenuhi syarat dan rukunnya, dia juga mengerjakan ibadah
haji dengan ikhlas yang semata-mata karena Allah SWT, bukan alasan lainnya.
Sepulang dari tanah suci ia akan mendapatkan ketenangan dan tuma'ninah hawa
nafsunya. Jadi, pola pikirnya tidak hanya melulu terdorong oleh nafsu angkara
murka, egois, bergelimang kemewahan, dan kepuasan. Walaupun di dalam hati penuh
memikirkan segala macam kehidupan dunia tapi ada ruang untuk zikir kepada Allah
untuk mendapatkan tempat yang haq (Tabloid Republika, 4 Januari 2008).
Tentang kemabruran telah ditegaskan oleh Rasulullah SWT,
"Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal
dan kemudian diucapkannya, labbaikallaahumma labbaik," (ya Allah, inilah
aku datang memenuhi panggilan-Mu). Maka berkata penyeru dari langit,
"Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia.
Pembekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak
dicampuri dosa."
Salah seorang pakar hadist Al Hafidh Ibn Hajar al Asqalani
dalam kitab Fathul Baarii, syarah Shahih Bukhari menjelaskan, "Haji mabrur
adalah haji yang maqbul yakni haji yang diterima oleh Alah SWT."
Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam
Nawawi dalam syarah Shahih Muslim. "Haji mabrur itu ialah haji yang tidak
dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riyanya,
tidak ada sum'ah tidak rafats dan tidak fusuq."
Selanjutnya Abu Bakar Jabir al Jazaari dalam kitab Minhajul
Muslimin mengungkapkan, "Haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari
segala dosa, penuh dengan amal saleh dan kebajikan-kebajikan."
Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh para ulama tentang
pengertian haji mabrur ini, maka dapat disimpulkan bahwa haji mambur adalah
haji yang dapat disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah Allah SWT
dan Rasulullah SAW. Sebuah predikat haji yang tidak mendatangkan perasaan riya
bersih dari dosa senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal-amal saleh, tidak
ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.
Menggapai haji mabrur sangatlah sulit, tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Siapa sangka, dari setiap 600 ribu jiwa yang
berangkat ke tanah suci hanya enam orang yang meraih haji mabrur. Begitulah
riwayat yang tertera dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Bahkan
siapa sangka pula, ada yang meraih haji mabrur padahal yang bersangkutan sama
sekali tidak ke sana, gagal berangkat lantaran menyerahkan ongkos hajinya untuk
memberi makan orang miskin. Sebagaimana kisah Abdullah Ibn al-Mubarak dalam
riwayat yang lain.
Cerita atau kisah itu entah kapan kejadiannya. Tapi
terlepas benar tidaknya kisah tersebut, Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa
tekad dan niat dapat menjadi sebab diraihnya kebaikan yang sempurna, meskipun
perbuatan itu sendiri belum dilakukan. "Maka siapa saja yang bertekad
untuk melakukan kebaikan sementara ia belum sempat untuk mewujudkannya Allah
SWT telah menuliskannya sebagai sebuah kebajikan yang sempurna (sama seperti
telah melaksanakan-nya)."
Meraih haji mabrur itu tidak
hanya tergantung dalam rangkaian ritual ibadahnya, tetapi jauh lebih penting
adalah penghayatan pelaksanaan ibadah itu sendiri yang dapat melahirkan perubahan
perilaku sekembalinya dari tanah suci. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar