|
‘Ada tiga macam sumber alam, itu harus
direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita…
Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.’
Gus Dur
Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.’
Gus Dur
SEJARAH selalu berulang. Apa yang
dapat kita pelajari dari peristiwa ’65 selain sejarah itu sendiri dan kepentingan
rekonsiliasi? Bagaimana menempatkan, sekaligus mengambil pelajaran dari, kasus
’65 dalam konteks konflik sumber daya alam (SDA) di Indonesia masa kini dan
yang akan datang? Tulisan ini melihat beberapa kemiripan di antara keduanya,
dan bertolak dari situ tulisan ini merumuskan agenda gerakan.
Asia
Tenggara 1930-65
Dalam buku Moral
Economy of Peasant Rebellion in South East Asia (Scott, 1976)
disebutkan bahwa pada tahun 1930-an terjadi beberapa pemberontakan petani di
Asia Tenggara seperti di Vietnam, Burma, Indonesia, dan Filipina. Prakondisi
sosial-ekonomi yang melatarbelakangi pemberontakan petani adalah kolonialisasi
dan krisis ekonomi di tahun 1930-an yang diikuti oleh kenaikan pajak yang
diberlakukan kepada para petani.
Beberapa dekade kemudian, kaum
pergerakan di masing-masing daerah di Asia Tenggara tersebut menemukan formula
nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme, sekaligus berusaha
merespon eksploitasi yang nyaris tanpa batas oleh para penjarah di kawasan ini.
Indonesia sendiri merdeka sekitar satu setengah dekade sesudahnya.
Pasca kemerdekaan di tahun 1945, di
bawah Soekarno, Republik Indonesia (RI) melakukan gerakan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing antara tahun 1957-59. Politik nasionalisasi ini
berhasil memindahtangankan kepemilikian 90% perkebunan ke tangan pemerintah RI,
62% nilai perdagangan luar negeri, dan sekitar 246 pabrik, perusahaan
pertambangan, bank, perkapalan, dan sektor jasa (Kanumoyoso, 2001).
Zaman terus bergulir, pada tahun 1965,
dalam kondisi perang dingin yang semakin memanas, melalui sebuah kudeta yang
merangkak, Soekarno didongkel dari kursi kepresidenan dan diganti oleh Jenderal
Soeharto yang disokong oleh Amerika Serikat (Klein, 2008). Dan sejak saat
itulah, secara perlahan kekuatan kapital internasional semakin mencengkeramkan
kuku-kukunya untuk menjarah hampir seluruh penjuru negeri. Sampai sekarang.
Peristiwa ’65 telah menyebabkan
hilangnya pekerja-pekerja kebudayaan terbaik di masanya. Lazimnya dalam
semua peradaban, dimana para pekerja kebudayaan adalah penantang terdepan
setiap bentuk eksploitasi dan fasisme, maka kemusnahan mereka secara massal
telah memuluskan rezim birokratik-militeristik otoriter Orde Baru untuk
berkuasa penuh selama 32 tahun (Supartono, 2000) dengan cara menumpuk hutang
luar negeri dan melego kekayaan alam.
Konflik
Sumber Daya Alam di Indonesia pada tahun 2013
Konflik di
bidang SDA adalah salah satu permasalahan besar di Indonesia Pasca-Reformasi.
Sepanjang tahun 2013 saja, telah terjadi 232 konflik SDA di 98
kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik ini selalu yang diiring
dengan jatuhnya korban yang sebagain besar dari kalangan kaum tani. Dari
sebanyak 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69 persen di antaranya
dengan korporasi (swasta), Perhutani 13 persen, taman nasional 9 persen,
pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Kompas, 16/02/2013),
dan sisa 5 persen lainnya tidak dijelaskan oleh Kompas.
Ada beberapa
kemiripan antara apa yang terjadi dalam periode 1930-60-an dengan apa yang terjadi
di Indonesia sejak Reformasi 1998 sampai sekarang. Kemiripan pertama,
tengah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal tata kelola kenegaraan. Pada
kurun 1930-60, gelombang nasionalisme berhasil meruntuhkan penjajahan yang
telah bercokol selama berabad-abad. Kemerdekaan datang; Indonesia beralih dari
sistem kolonial menjadi negara-bangsa. Rupanya, masa pergerakan dan transisi
menuju kemerdekaan ini, seperti yang sudah disampaikan di atas, mempengaruhi
kehidupan kaum tani dalam hal pajak yang meningkat di zaman kolonial.
Disadari atau tidak, semenjak
Reformasi 1998, terjadi pula perubahan besar-besaran dalam hal tata kelola
bernegara di Indonesia. Tonggak yang paling dapat dilihat adalah desentralisasi
yang memberikan kekuasaan lebih besar terhadap pemerintah kabupaten/kota. Akan
tetapi, hal yang jarang disadari adalah bahwa konfigurasi triad lama
‘negara-korporasi-masyarakat’ secara perlahan juga mulai berubah menjadi
‘korporasi+negara-masyarakat.’ Negara Orde Baru yang otoriter telah tumbang,
namun beralih rupa menjadi Negara Pasca-Reformasi yang tetap menjadi
perpanjangan tangan kapital.
Hukum yang tadinya berfungsi untuk
melayani warga negara dan melindunginya dari tindakan kesewenang-wenangan,
telah berubah menjadi instrumen yang memuluskan penetrasi kapital secara lebih
dalam lagi di sektor ekstraksi. Ada beberapa fakta pendukung untuk lahirnya
konfigurasi baru ini.
Contoh pertama lahir dari kasus Lumpur
Lapindo. Pada Agustus 2009, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim)
mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan perkara (SP3) yang membuat
penyelidikan terhadap kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diproses lebih lanjut di
pengadilan (Batubara, 2011). Keluarnya SP3 ini menafikan analisis yang
menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo terjadi karena selubung pengeboran di
sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) dipasang lebih pendek dari yang direncanakan (Tingay et al. 2008; Batubara dan Utomo,
2012; Batubara 2013), sehingga dengan demikian, kasus Lapindo adalah
sebuah bencana industri, alias kejahatan korporasi.
Contoh kedua datang dari kasus
ekspansi PT Semen Gresik (SG) ke Pegunungan Kendeng Utara (PKU) di Kabupaten
Pati, Jawa Tengah (Jateng), dimana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Pati dicoba disesuaikan dengan kepentingan ekspansi PT SG. Kawasan PKU yang
dalam RTRW 1993-2012 Kabupaten Pati, masuk dalam kawasan pertanian dan
pariwisata, mau diubah peruntukannya menjadi kawasan industri dan pertambangan
dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029. Di sini kita melihat bahwa dokumen
RTRW justru mau ‘disesuaikan’untuk kepentingan ekspansi PT SG ke PKU di
Kabupaten Pati (Batubara, dkk. 2010).
Adapun contoh ketiga adalah kemenangan korporasi dalam kasus uji materiil kasus
Lumpur Lapindo dan Sorikmas Mining di Mahkamah Agung (Batubara, 2012).
Dari ketiga contoh di atas, orang
harus menyimpulkan bahwa di bidang hukum, isu sudah bergerak dari ‘tidak adanya
penegakan hukum’ ke ‘hukum yang sudah ditunggangi oleh kepentingan ekspansi
kapital dan pada saat yang bersamaan mengabaikan kepentingan masyarakat.’ Lebih
lanjut, negara sudah tidak lagi berfungsi sebagai regulator dalam formasi
konvensional triad ‘negara-korporasi-masyarakat,’ tetapi sudah berubah menjadi
kacung dalam formasi yang sedang menjadi ‘korporasi+negara-masyarakat.’
Artinya, melihat kemiripan dengan
peristiwa sejarah di tahun 1930-60-an, sekarang ini tengah terjadi perubahan
tata kelola kenegaraan kita dari negara Orde Baru yang sentralistik dan sangat
kuat, menjadi negara yang terdesentralisasi dan secara perlahan berubah menjadi
perpanjangan tangan kapital. Rupanya hal ini bersinggungan juga dengan
kepentingan kaum tani, sehingga memicu munculnya 232 konflik SDA di tahun 2013
yang hingga kini masih berlangsung. Mayoritas di antaranya (65%) adalah konflik
petani versus korporasi (+negara).
Kemiripan kedua adalah
menguatnya politik nasionalis. Pada zaman 1930-60-an, kecenderungan ini
ditandai dengan keberhasilan kaum pergerakan kemerdekaan memformulasikan
permasalahan mereka di dalam konsep nasionalisme—dan cara itu, mereka keluar
dari kungkungan kolonial. Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) menjadi kepala daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI),
adalah salah satu bukti dari penguatan kelompok nasionalis. Jokowi—yang
sebelumnya merangkak dari bahwa sebagai pengusaha mebel, lalu terpilih sebagai
Walikota Solo dan seterusnya sebagai Gubernur DKI—sangat berpeluang besar
memenangkan kursi presiden RI pada pemilu 2014 mendatang. Prediksi ini didukung
oleh elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jokowi sebagai calon presiden yang
sangat tinggi dari berbagai penelitian yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga
survei dan menjadi berita di berbagai media.
Kenaikan Jokowi menjadi tonggak
menguatnya ideologi nasionalisme, yang bahkan pada era Megawati Soekarnoputri
pun kehilangan artikulasinya. Alih-alih melakukan politik nasionalisasi seperti
halnya Soekarno pada tahun 1957-59 sebagaimana yang disinggung di atas,
Megawati malah melakukan hal sebaliknya: melego sejumlah BUMN ke pasar
internasional. Sebaliknya, Jokowi, meskipun baru saja naik menjadi Gubernur
DKI, langsung mencoba menemukan kembali artikulasi ideologi nasionalisme
melalui upayanya mengambil alih perusahaan air minum yang melayani masyarakat
di DKI, Palyja, dari tangan investor internasional asal Prancis (Hidayat,
2013).
Apabila Jokowi berhasil dengan
percobaannya mengambil alih Palyja di DKI, maka skenario yang mungkin adalah,
ketika Jokowi menjadi Presiden RI pada tahun 2014, ia akan lebih luas
menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Dengan kata lain, secara
terus-menerus mengartikulasikan kembali ideologi nasionalisme dalam ranah
ekonomi-politik.
Skenario ini mengantarkan kita pada
prediksi yang lain, bahwa kapital nasional dan internasional pasti tidak akan
tinggal diam. Mereka akan bergerak memobilisasi segala sumber daya yang mereka
miliki untuk menjaga kepentingan ekstraksinya di Indonesia. Dan, di titik ini,
kasus ’65 bukan lagi sejarah, tetapi ia adalah hal yang di depan mata.
Kemiripan ketiga, dalam
diskursus mengenai ’65 yang berkembang, kalangan Nahdliyin terlibat sangat jauh
sebagai mesin penjagal kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun kelompok
yang berafiliasi (secara struktural dan idelogis) dengannya. Tetapi cara
pandang lain bisa juga ditampilkan, bahwa kaum NU (Nahdliyin) juga adalah
korban dari peristiwa ini karena pada kenyataannya, bukan tidak ada korban ’65
dari kalangan santri. Lebih jauh, sebagian besar Nahdliyin pada waktu itu
berasal dari kalangan petani desa yang sedikit sekali melek persoalan. Dengan
demikian, agenda riset yang harus dirangsang pada titik ini adalah menempatkan
kaum Nahdliyin sebagai korban dari skenario politik kalangan yang lebih melek,
mereka yang mengambil untung dari peristiwa ’65.
Pola yang sama sudah memperlihat
bentuknya dalam berbagai konflik SDA di basis Nahdlatul Ulama (NU). Kita dapat
menyaksikan beberapa kasus seperti konflik pembangkit listrik tenaga uap di
Kabupaten Batang, konflik rencana pembangunan pabrik semen di PKU Kabupaten
Pati, konflik tambang pasir besi Urutsewu di Kebumen Selatan, dan konflik bahan
galian C di Kabupaten Mojokerto (FN-KSDA, 2013). Dalam semua kasus yang
disebutkan di atas, pola yang terjadi adalah perbedaan aspirasi (kepentingan)
antara elit NU dengan kelompok akar rumput yang sebagian besar adalah petani.
Di satu sisi, elit NU merestui
ekspansi kapital dan bahkan—dalam beberapa kasus—turut serta dalam proses
ekspansi kapital itu sendiri dengan jalan mengambil posisi perantara. Di sisi
lain, kelompok akar rumput bergerak menolak ekspansi kapital di bidang industri
ekstraktif ini, karena mereka merasa penghidupannya terganggu. Pola seperti ini
juga ditemukan dalam kasus tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi. Bahkan
lebih jauh, dalam kasus eksplorasi beberapa perusahaan minyak dan gas (migas)
di Madura, Kiai bahkan mengambil posisi memuluskan jalan perusahaan migas untuk
membebaskan lahan, lantas memastikan agar proses eksplorasi tidak mengalami
gangguan. Tak pelak, hal ini kemudian memunculkan istilah ‘Kiai Migas’ di
Madura (Hakim, 2010).
Untuk mengenali kemiripan dengan kasus
’65, maka dalam kasus konflik SDA sekarang seperti yang sudah diuraikan dalam
paragraf sebelumnya, yang bisa kita lihat adalah polarisasi kepentingan di
kalangan NU sendiri, yang (kira-kira) mengerucut ke konflik elit vs akar rumpur
di kalangan santri. Jika skenario politik nasional di atas berjalan—dalam
artian Jokowi naik menjadi presiden di 2014 dan konsisten dengan artikulasi
ideologi nasionalismenya, namun harus berhadapan dengan kekuatan kapital di
sektor ekstraktif yang bakal mengamankan asetnya—maka, kasus ’65 bukan sebuah
sejarah masa lalu, melainkan hari esok yang harus siap diantisipasi. Asalkan
ada satu gerakan yang aktif melakukan ideologisasi untuk memperuncing friksi
elit vs akar rumput di kalangan santri, maka konflik berdarah akan terulang.
Ini artinya, kelompok petani-santri di pedesaan akan kembali menjadi korban.
Gus Dur
dan Sumber Daya Alam
Apakah pelajaran yang bisa diambil
dari Gus Dur dalam hal tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia? Gus Dur
adalah seorang nasionalis tulen. Dalam sebuah orasi di hadapan massa Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) di Malang, sehubungan dengan SDA, Gus Dur menyatakan
bahwa ‘Ada tiga macam sumber alam [yang] harus direbut kembali, dipakai untuk
memakmurkan Bangsa kita… Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam
negeri; tiga, sumber kekayaan laut.’
Pesan di atas sebenarnya
terartikulasikan dalam sikap yang lebih konkret dalam kasus pendirian
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara. Waktu itu, Gus Dur mengancam
akan mogok makan apabila PLTN didirikan di Jepara. Pernyataan ini kemudian
memobilisasi kantong-kantong NU untuk mengadakan perlawanan yang lebih masif
menolak pendirian PLTN di Jepara (Fauzan
dan Schiller, 2011).
Dalam kontestasi akses dan kontrol
terhadap sumber daya yang lebih sengit dalam kasus Lumpur Lapindo, Gus Dur
meminta kepada salah satu kiai rakyat agar tidak menjual tanah mereka. Kelompok
ini kemudian yang mengambil sikap paling radikal dalam kasus Lumpur Lapindo,
dengan memilih tidak menjual tanahnya kepada PT Minarak Lapindo Jaya, kasir PT
Lapindo Brantas Inc., seperti yang diperintahkan oleh Peraturan Presiden
14/2007 (Batubara, 2010).
Terhadap
gerakan petani internasional yang menyuarakan kedaulatan petani seperti
organisasi petani se-dunia, La Via Campesina, Gus Dur sangat
menghormati usaha para petani ini dalam membangun gerakan alternatif guna
melawan pengaruh lembaga keuangan dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang sangat merugikan petani (–,
2006).
Dari beberapa nukilan sikap Gus Dur di atas, artikulasinya jelas tanpa tedeng aling-aling. Gus Dur berdiri di belakang Soekarno dalam hal tata kelola SDA.
Dari beberapa nukilan sikap Gus Dur di atas, artikulasinya jelas tanpa tedeng aling-aling. Gus Dur berdiri di belakang Soekarno dalam hal tata kelola SDA.
Agenda
Gerakan
Dari
penjelasan di atas, maka Nahdliyin tidak punya pilihan lain kecuali bergerak.
Miskinnya kontribusi Lesbumi dalam teks ’65 disebabkan oleh dua hal. Pertama, Lesbumi
tidak terlalu aktif pada zaman itu. Kedua, pada zaman sekarang
riset dengan mengambil kontribusi Lesbumi dalam kasus ’65 tidak terlalu banyak.
Kedua argumen di atas pada dasarnya berujung pada satu titik yang sama:
kelompok Lesbumi tidak secara aktif bergerak.
Analisis ini sangat masuk akal,
karena, kalau kita lihat dokumen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),
pembukaannya disebut dengan ‘Muqaddimah.’ Dari pemilihan kata ‘Muqaddimah,’
secara logis sebenarnya lebih mudah ‘menarik’ Lekra untuk bergabung dengan
kalangan agama (santri), daripada untuk menariknya merapat ke kalangan komunis.
Sebaliknya, seandainya ia adalah ‘Manifesto,’ maka secara logis akan lebih
mudah menariknya bergabung dengan PKI. Tetapi, karena kerja pengorganisasian
dan pergerakan yang tidak jalan, Lesbumi dan Lekra kemudian menjadi sangat
jauh, dan justru sebaliknya, Lekra semakin dekat dengan PKI. Artinya,
pengalaman ’65 yang memperlihatkan secara telanjang kurangnya pergerakan di
kalangan santri, seharusnya tidak boleh terulang lagi. Argumen ini tentu saja
masih sangat terbuka untuk didiskusikan.
Dengan
demikian, agenda gerakan yang paling mendesak adalah pengarusutamaan isu
konflik SDA di kalangan santri. Pengarusutamaan (mainstreaming) akan
membuat kalangan santri melek dengan persoalan ini, dan dengan itu diharapkan
akan meminimalisir friksi kepentingan antara elit dengan akar rumput.
Pengarusutamaan tidak boleh terpenjara di kalangan santri belaka, tetapi harus
menjangkau kalangan yang lebih luas seperti kelompok-kelompok ‘nasionalis’
lainnya. Untuk kelompok nasionalis, isu ini sebenarnya bukan isu yang baru,
yang belum dilakukan adalah keluar dari skema korporasi dan negara predatoris
yang sudah menjadi perpanjangan tangan korporasi serta membangun sebuah
anjungan yang dari situ agenda gerakan bersama difusikan.
Keluar dari
skema korporasi bukanlah hal yang mudah, meski tentu saja bukan hal yang
mustahil untuk dikerjakan. Kebangkrutan sistem korporasi datang dari dalam
dirinya sendiri karena terlalu ekstraktif dalam memfasilitasi akumulasi kapital
pada satu atau sekelompok kaum kapitalis. Kapitalisme di sini, mengikut yang
disampaikan Marx (1982), mengambil pengertian yang paling mendasar sebagai proses
yang melibatkan ‘uang yang bergerak’ (money in motion), dimana orang
membeli bukan untuk mengonsumsi, tetapi untuk menjual kembali agar mendapatkan
nilai lebih dari sebuah komoditas. Korporasi, melalui eksploitasi terhadap SDA
dan pekerjanya sendiri untuk mendapatkan nilai lebih komoditas, telah
menjalankan pola ini selama puluhan tahun. Ekstraksi SDA pada dasarnya adalah
sebuah proses yang menceraikan para petani dari akses dan kontrol terhadap SDA
seperti air dan tanah. Proses ini, dalam kajian kontemporer, lazim disebut
sebagai ‘akumulasi lewat jalan perampasan/accumulation by dispossession (Harvey, 2003).
Jika pada zaman pergerakan kemerdekaan
RI, kaum pergerakan telah menemukan rumus gerakan dalam bentuk
nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme—yang menjadi struktur tata
kelola pada waktu itu—maka di era pasca-Reformasi, kita dapat mengajukan
‘kooperasi’ sebagai antitesis terhadap ‘korporasi’ yang melakukan akumulasi
kapital dengan jalan merampas akses dan kontrol SDA dari tangan para pemiliknya
yang sah: kaum tani. Kedaulatan petani dalam tata kelola SDA di sini diartikan
sebagai kemerdekaan penuh di pihak petani untuk menentukan secara politis tata
kelola yang layak bagi SDA yang mereka miliki.
Mengapa
‘kooperasi’? Pertama, kita mulai dari terminologi. Dalam Bahasa
Indonesia, ‘kooperasi’ berarti ‘bekerjasama,’ sedangkan ‘koperasi’ berarti
‘perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya
dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga murah.’ Terma ‘kooperasi’
secara sadar dipilih sebagai antitesis terhadap ‘koperasi’ karena tiga alasan:
(1) Dalam konteks Orde Baru, lembaga-lembaga koperasi sudah dikooptasi oleh
rezim birokratik-militeristik otoriter, sehingga koperasi tidak lagi menjadi
lembaga yang melayani anggotanya, tetapi menjadi lembaga ekonomi tempat korupsi
bersimaharajalela sekaligus menjadi mesin ideologisasi Negara Orde Baru; (2)
Pasca-Reformasi, Undang-undang nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian
membonsai ‘kooperasi’ menjadi lembaga ekonomi semata dengan membaginya menjadi
koperasi produsen, konsumen jasa, dan simpan pinjam. Pembonsaian ini
menyebabkan koperasi kehilangan semangat gerakannya, menyimpang dari apa yang
diharapkan DN. Aidit yang membayangkan koperasi sebagai alat perjuangan kelas
(1963). Spesifikasi lewat UU nomor 17/2012 ini pada dasarnya diambil dari
spirit kapitalisme, yang mengandaikan bahwa spesifikasi dalam berbagai bidang
akan meningkatkan produktivitas sebuah sistem, dalam hal ini koperasi; (3)
Dengan dua argumen di atas, istilah ‘kooperasi’ yang diadopsi dari tulisan
Mohammad Hatta (1954) terasa lebih pas tinimbang ‘koperasi.’ Terlebih, dengan
adanya usaha penegakkan kedaulatan pemilik yang sah SDA lewat pengambilan
kebijakan peruntukkannya yang dimungkinkan melalui rapat tahunan anggota
kooperasi, maka tata kelola yang tersentralisir—atau sekadar menjadi bagian
dari usaha dakwah dalam bentuk kongsi dagang (Jarkom Fatwa, 2004)—dapat dihindari.
Kedua, kita
dapat melihat argumentasi ideologis seperti yang ada dalam UUD ’45. UUD ’45
menyatakan bahwa seharusnya perekonomian negara dikelola dengan azas
kekeluargaan, dalam hal ini kooperasi adalah bentuk yang paling memungkinkan.
Kenyataannya, di era pasca-Reformasi yang menguat justru korporasi. Dengan
demikian, inilah momen untuk mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) ke khittah-nya dengan memberikan ruang pengelolaan SDA lewat kooperasi.
Ketiga, apakah
mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi? Sangat
mungkin, dan hal ini bukanlah tanpa preseden. Kota Santa Cruz, Bolivia,
berpenduduk 1,2 juta jiwa. Pengelolaan suplai air minumnya dilakukan dengan
pola kooperasi sejak tahun 1979, dan hingga saat ini merupakan salah satu
penyedia air minum publik yang terbaik di Amerika Latin. Semua pelanggan adalah
anggota dari Cooverativa de Servicios Publicos Santa Cruz Ltda (SAGUAPAC),
dimana para anggota memiliki hak untuk memilih pengurus kooperasi mereka. Tata
kelola popular seperti ini sudah muncul di beberapa tempat lain seperti
Kemitraan Publik di Ghana, dan Kemitraan Publik-Pekerja di Dhaka (Brennan, et
al. 2004). Di Cochabamba dan La Paz/El Alto, Bolivia, pasca ‘Perang Air’ awal
tahun 2000-an, privatisasi sumber daya air ditolak kehadirannya di kedua kota
itu dan memberikan alternatif berupa tata kelola Kemitraan Publik.
Tak dapat dipungkiri, masih terdapat
kelemahan di sana-sini, seperti efektivitas pelayanan dan pegawai yang tidak
profesional (Spronk, 2007). Namun,
kelemahan yang sama juga sangat mungkin dimiliki oleh sektor privat. Pertanyaan
apakah mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi
pada dasarnya adalah pertanyaan yang menyingkap kemiskinan imajinasi. Sebegitu
bebalnya imajinasi ini, sehingga yang muncul adalah ketidakpercayaan diri.
Jangankan tata kelola sektor SDA dengan kooperasi; apa yang kita sebut sebagai
NKRI sekarang ini adalah hasil dari imajinasi yang kemudian dirumuskan dalam
aturan-aturan. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu merumuskan tata kelola
SDA dengan struktur kooperasi.
Pengarusutamaan tata kelola SDA oleh
kooperasi adalah langkah awal yang perlu dilakukan di tingkatan Nahdliyin untuk
mewujudkan kedaulatan di bidang SDA. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengonsolidasikan berbagai elemen Nahdliyin yang sudah secara jelas menyatakan
sikapnya seperti Pengurus Besar (PB) NU, PB PMII, Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama (ISNU), dan FN-KSDA.
PB NU, pada 2012, melalui Konferensi
Besar (Konbes) di Cirebon, di bidang ekonomi merekomendasikan ‘renegosiasi
kontrak-kontrak karya pertambangan agar memberi manfaat yang lebih besar bagi
pemasukan Indonesia dan kesejahteraan warga’ (PB NU, 2012). Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), malah memiliki tuntutan yang lebih tinggi.
Pada tahun 2012, PMII menuntut dilakukannya nasionalisasi terhadap aset
pertambangan dan energi (Anam, 2013 dan Rasyid, 2013). Sementara, Ikatan
Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), menyatakan bahwa tujuan akhir dari tata kelola
energi adalah kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Bahkan lebih jauh, ISNU
mendukung dilaksanakannya reforma agraria (Syeirazi, 2013). FN-KSDA sendiri
menetapkan ‘tata kelola SDA yang berkedaulatan dan sebesar-besarnya bermanfaat
bagi rakyat Indonesia’ sebagai tujuannya (FN-KSDA, 2013). Akan tetapi secara
organisasional, hampir tidak ada gelombang advokasi yang masif dari kelompok NU
terhadap warga yang mengalami persoalan konflik SDA. PB NU sendiri lebih banyak
bermain di level regulasi seperti judicial review UU Migas, tetapi tidak banyak
mendorong pengurus untuk turun ke bawah.
Pola pengambilalihan perusahaan swasta
seperti Palyja yang sedang dilakukan Jokowi-Ahok di DKI, mungkin tidak akan
berarti banyak karena struktur negara di Indonesia yang masih predatoris,
dimana negara lebih berposisi sebagai akumulator kapital yang menindas ketimbang
distributor. Kalau sukses di internal Nahdliyin, maka dalam konteks NKRI,
tantangan berikutnya adalah menaikkan yang ‘parsial’ ini menjadi sesuatu yang
‘universal.’ Persisnya, menggalang aliansi dengan berbagai kelompok ideologi
yang lain, semisal kaum nasionalis, agar kelompok santri tidak bekerja sendiri
dalam upayanya menerjemahkan ajaran-ajaran Gus Dur menegakkan kedaulatan di
bidang tata kelola SDA. Sebaliknya, bagi kelompok nasionalis, pengalaman
kehilangan artikulasi pasca tahun 1998, dimana terjadi banyak privatisasi
perusahaan negara justru di bawah Megawati Soekarnoputri, harus dijadikan
pelajaran agar tidak terjebak kembali dalam permasalahan yang sama:
ketidaksiapan ideologis dalam mengelola kekuasaan (Ali, 2012).
Akhirnya, menguatnya artikulasi
ideologi nasionalis belakangan ini yang sebenarnya bagus, justru malah
mengundang kekhawatiran. Kekhawatiran muncul bukan karena takut atau
ketidaksukaan atas fenomena ini. Kekhawatiran datang karena kemunculan pemimpin
populis seperti Jokowi, tidak akan membawa Indonesia kemana-mana tanpa disokong
oleh konsolidasi ideologi dan pengorganisasian politik yang kokoh di
belakangnya. Setidaknya sampai sekarang, hal terakhir inilah yang terjadi. ●
KEPUSTAKAAN
–, 2006.
http://viacampesina.org/en/index.php/actions-and-events-mainmenu-26/world-bank-a-imf–out-mainmenu-58/208-social-movements-conference-in-jakarta-qwe-want-wb-and-imf-out-of-our-landsq,
diakses pada tanggal 31 Juli 2013.
Aidit, D.N., 1963. Peranan Koperasi Dewasa Ini. Depagitprop CC PKI. Djakarta
Aidit, D.N., 1963. Peranan Koperasi Dewasa Ini. Depagitprop CC PKI. Djakarta
Ali, A.S., 2012. Ideologi Gerakan
Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan sosial-politik dalam tinjauan ideologis. LP3ES. Jakarta.
Anam, A.K. (redaktur),
23/05/2013. PMII Desak Menteri BUMN Nasionalisasi Tambang. Berita ini dapat dibaca di:
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,38069-lang,id-c,nasional-t,PMII+Desak+Menteri+BUMN+Nasionalisasi+Tambang-.phpx,
diakses pada tanggal 26/07/2013.
Batubara, B. dan Utomo,
P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal bencana industri
pengeboran migas di Sidoarjo. INSIST PRESS, Yogyakarta.
Batubara, B., 2010. Gus
Dur: Jangan jual tanahmu.
Dapat dibuka di:
http://lafadl.org/news/programme-report/gus-dur-jangan-jual-tanahmu-/. Pada
tahun 2013 tulisan ini dimuat ulang di:
http://gusdurian.org/2013/07/gus-dur-jangan-jual-tanahmu/, keduanya diakses
terakhir pada tanggal 31 Juli 2013.
Batubara, B., 2011. When
the Law Betrays, Literature Must Speak. Inside Indonesia Magazine, (105) Jul-Sep 2011. Artikel ini
dapat dibaca di:
http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/review-the-lapindo-titanic;
terakhir dibuka 23 Februari 2013.
Batubara, B., 2012. Hukum
Indonesia yang Memihak Korporasi: Studi kasus Lapindo dan Sorikmas.Artikel ini dapat diakses di:
http://indoprogress.com/hukum-indonesia-yang-memihak-korporasi-dalam-kasus-lapindo-dan-sorikmas/,
diakses pada tanggal 23/9/2013.
Batubara, B., 2013. ‘Perdebatan
tentang Penyebab Lumpur Lapindo,’ dalam A. Novenanto, (2013). Membingkai
Lapindo: Pendekatan konstruksi sosial atas kasus Lapindo, (Sebuah Bunga
Rampai).MedialinK dan
Kanisius. Jogjakarta.
Batubara, B., Utomo, P.W.
dan Sobirin, M. 2010. Integrasi Pengurangan Resiko Bencana ke Dalam
Perencanaan Regional dalam Konteks Otonomi Daerah: Sebuah agenda dari
pembelajaran terhadap kasus-kasus man-made disaster di Pulau Jawa. Makalah ini dipresentasikan pada ‘Seminar
Internasional ke- 11: Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Ada Apa dengan 10
Tahun Otonomi Daerah? Salatiga, Indonesia’.
Brennan, B., Hack., B.,
Hoedeman, O., Kishimoto, S., dan Terhorst, P., 2004. Reclaiming
public water!: Participatory alternatives to privatization. Transnational Institute Corporate Europe
Observatory. TNI Briefing Series No. 2004/7. Amsterdam.
Fauzan, A.U. and Schiler,
J., 2011. After Fukushima: The rise of resistance to nuclear
energy in Indonesia. German Asia Foundation. Artikel ini dapat dibaca di:
http://www.asienhaus.de/public/archiv/resistance-in-indonesia-after-fukushima.pdf,
diakses pada tanggal 31 Juli 2013
FN-KSDA, 2013. Lembar
Kerja Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FN-KSDA). Tidak dipublikasikan.
Gus Dur, –. Ceramah Gus Dur di Singosari, Malang. Rekaman ceramah ini dapat diunduh di Youtube. Diakses terakhir kali pada Juli 2013.
Gus Dur, –. Ceramah Gus Dur di Singosari, Malang. Rekaman ceramah ini dapat diunduh di Youtube. Diakses terakhir kali pada Juli 2013.
Hakim, E., L., 2010. Kiai
Migas. Kompas Jawa
Timur, edisi Selasa 19 Januari 2010. Hlm. D.
Harvey, D., 2003. The
New Imperialism. Oxford
University Press. Oxford. Hlm.: 137-82.
Hatta, M., 1954. Menindjau
Masalah Kooperasi. P.T.
Pembangunan. Djakarta.
Hidayat, A.R., 2013. Jokowi:
pemprov DKI akan ambil alih Palyja. Dapat diakses di:
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/06/04/17491641/Jokowi.Pemprov.DKI.Akan.Ambil.Alih.Palyja,
diakses pada 23 September 2013.
Jarkom Fatwa (tim), 2004. Sekilas Nahdlatut Tujjar. Pustaka Pesantren. Yogyakarta.
Jarkom Fatwa (tim), 2004. Sekilas Nahdlatut Tujjar. Pustaka Pesantren. Yogyakarta.
Kanumoyoso, B., 2001. Menguatnya
Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Klein, N., 2008. The
shock doctrine: The rise of disaster capitalism. Penguin Book. Sydney.
Marx, K. , 1982. Capital
I: A critique of political economy. Penguin Books. London.
PB NU, 2012. Rekomendasi Konbes NU Pondok
Kempek Cirebon, 15-17 September 2012. Tidak dipublikasikan.
Rasyid, Y., 31/03/2013. Mahasiswa
Yogya Tuntut Nasionalisasi Migas. Berita ini dapat dibaca di:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/03/31/m1qn2r-mahasiswa-yogya-tuntut-nasionalisasi-perusahaan-migas,
diakses pada tanggal 26/07/2013.
Scott, J.C., 1976. The
Moral Economy of the Peasant Rebellion and Subsistence in Southeast Asia.Yale University Press. New York. Hlm.
114-56.
Spronk, S.J., 2007. The
Politics of Third World Water Privatization: Neoliberal reform and popular
resistance in Cochabamba and El Alto, Bolivia (dissertation). Graduate Programme in
Political Science, York University, Toronto, Ontario.
Supartono, A. 2000. Lekra
vs manikebu: Perdebatan kebudayaan Indonesia 1950-1965. Skripsi STF Driyarkara. Jakarta.
Syeirazi, M.K. (editor), 2013. Kebangkitan Bangsa Indonesia 1945-2045: Pokok-pokok pikiran sarjana Nahdlatul Ulama. LP3ES, Jakarta, 51-79.
Syeirazi, M.K. (editor), 2013. Kebangkitan Bangsa Indonesia 1945-2045: Pokok-pokok pikiran sarjana Nahdlatul Ulama. LP3ES, Jakarta, 51-79.
Tingay, M., Heidbach, O.,
Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering of the Lusi Mud
Eruption: Earthquake vs. drilling initiation. Geology, 36, p. 639-642.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar